(IslamToday ID) – Indonesia Corruption Watch (ICW) turut berkomentar terkait pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD yang menyebut Presiden Jokowi pernah akan mengeluarkan Perppu untuk membatalkan revisi UU KPK namun diancam DPR. Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menilai pernyataan Mahfud itu hanya untuk meraih simpati masyarakat.
“Jadi sudahlah, apapun yang disampaikan oleh Menko Polhukam terkait dengan sikap presiden tidak akan mengubah pemikiran masyarakat bahwa isu antikorupsi hanya sekadar dijadikan alat oleh presiden untuk meraup simpati masyarakat saat masa kampanye,” kata Kurnia dikutip dari Kompas, Sabtu (22/10/2022).
“Setelah terpilih, alih-alih dijalankan, presiden malah membonsai pemberantasan korupsi di Indonesia,” tambahnya.
Kurnia mengaku tidak bisa memahami apa maksud pernyataan Mahfud terkait dengan sikap presiden terhadap revisi UU KPK dan sengkarut Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang pada akhirnya memberhentikan penyidik Novel Baswedan serta puluhan pegawai lembaga antirasuah tersebut.
Ia menilai, pembentukan peraturan perundang-undangan seperti revisi UU KPK bukan hanya dikerjakan oleh DPR, melainkan bersama-sama dengan pemerintah. “Jadi, jangan seolah-olah menggambarkan bahwa presiden tidak sepakat dengan substansi perubahan UU KPK,” ujar Kurnia.
“Bagi kami, baik DPR maupun presiden, sama saja. Dua lembaga itu menjadi dalang di balik robohnya lembaga utama pemberantasan korupsi,” kata Kurnia.
Lebih lanjut, ia berpendapat jika rencana presiden mengeluarkan Perppu UU KPK benar dan ada ancaman dari DPR, maka kesimpulan ICW adalah Jokowi memang tidak berani atau takut berhadap-hadapan dengan politisi Senayan.
“Sederhananya, presiden hanya mengakomodir suara petinggi partai politik, ketimbang kehendak rakyat dalam isu pemberantasan korupsi,” katanya.
Sementara, anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP Arsul Sani juga buka suara soal tudingan Mahfud MD terkait Perppu KPK. Mahfud sebelumnya menuding Arsul sebagai salah satu anggota Komisi III yang mengancam Jokowi jika menerbitkan Perppu KPK.
Arsul menegaskan, tidak ada pihak yang mengancam Jokowi menerbitkan Perppu KPK untuk membatalkan UU KPK hasil revisi. “Yang disampaikan oleh Mahfud MD itu kan tafsir dia atas situasi yang ada terkait dengan ribut-ribut soal UU KPK yang merevisi UU KPK sebelumnya,” kata Arsul.
“Tidak ada itu ancam mengancam, yang ada adalah kemungkinan yang bisa terjadi kalau Perppu dikeluarkan, yakni adanya penolakan dari DPR,” lanjutnya.
Ketika UU direvisi, Arsul mengatakan, Mahfud belum berada di pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. Oleh karena itu, ia menilai Mahfud hanya sekadar menafsirkan apa yang terjadi.
Menurut Arsul, dengan demikian tafsiran Mahfud tidak mencerminkan persis seperti apa situasi yang sebenarnya terjadi. “Itu tidak mencerminkan dengan persis proses yang pasti akan terjadi di tengah tarik menarik antara keinginan sejumlah kalangan agar presiden menerbitkan Perpu KPK dengan fraksi-fraksi di DPR yang baru saja menyetujui UU revisi atas UU KPK,” terangnya.
“Mahfud tidak mengikuti detail proses pembicaraan maupun pembahasan revisi UU KPK maupun respons presiden terhadap UU No 19 Tahun 2019 yang berasal dari inisiatif DPR tersebut, karena belum di pemerintahan,” sambungnya.
Wakil Ketua Umum PPP itu mengingatkan, DPR tidak sendirian ketika membahas proses revisi UU KPK, melainkan juga pemerintah ikut di dalamnya. “Kalau pemerintah waktu itu tidak setuju (revisi UU KPK), maka tidak akan jadi UU hasil revisinya,” tuturnya.
Lebih lanjut, Arsul menilai tidak ada gunanya mengungkit proses yang sudah terjadi terhadap revisi UU KPK. Untuk itu, ia menyarankan agar Mahfud menginisiasi revisi UU KPK yang saat ini berlaku. “Kalau UU ini dianggap melemahkan KPK, daripada memutar kembali jarum jam ke belakang sekadar menerjemahkan apa yang dipahaminya terjadi,” pungkasnya. [wip]