(IslamToday ID) – Ekonom senior yang juga tokoh politik Rizal Ramli mengkritik keras keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tidak mengharuskan menteri mundur dari jabatan saat maju sebagai calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres).
Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur ini menilai MK di bawah kepemimpinan Anwar Usman semakin tidak mengerti arti dari etika dan pemerintahan yang baik. Apalagi, kedudukan Anwar yang kini merupakan saudara ipar dari Presiden Jokowi, juga memunculkan potensi konflik kepentingan antara dua lembaga tinggi negara.
Bahkan, usai Anwar menikahi adik kandung presiden, sebutan untuk Mahkamah Konstitusi turut diselewengkan menjadi Mahkamah Keluarga.
“Mahkamah Keluarga makin lama makin tidak tahu malu, semakin memalukan. Tidak mengerti etika dan good governance, tidak mengerti potensi conflict of interest. Wong dirinya harusnya mundur sebagai ketua MK,” tegasnya dikutip dari RMOL, Rabu (2/11/2022).
Rizal mengingatkan bahwa negara yang ingin maju harus bisa membuat rakyatnya semakin cerdas dan makmur. Caranya adalah dengan memastikan para pejabat memiliki etika yang tinggi. Selain itu, para pejabat juga harus bisa mengurangi konflik kepentingan dan memperkuat good governance.
“Nah, keputusan MK memicu kemunduran etika dan good governance. Itulah produk dari Mahkamah Keluarga! Malu-maluin, norak,” tutupnya.
Pada Senin (31/10/2022), permohonan uji materiil norma pencalonan pejabat negara menjadi presiden dan wakil presiden di pemilu oleh partai politik atau gabungan parpol, sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat (1) UU No 7/2017 tentang Pemilu, diputuskan diterima sebagian oleh MK.
Ketua MK Anwar Usman membacakan amar putusan permohonan a quo atas perkara No 68/PUU-XX/2022, dalam Sidang Putusan di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. “Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” ujar Anwar dikutip melalui siaran langsung kanal YouTube MK RI.
Majelis hakim konstitusi menilai alasan hukum para pemohon yang menyatakan ketentuan Pasal 170 ayat (1) bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, sudah tepat. Sebab majelis hakim konsitusi menilai, menteri dan pejabat setingkat menteri merupakan rumpun eksekutif yang tidak bisa dianggap berbeda dari presiden dan wakil presiden.
Selanjutnya, MK tegas menyatakan bahwa jabatan menteri atau pejabat setingkat menteri termasuk dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang menjadi bagian dari kekuasaan yang dimiliki oleh presiden dan wakil presiden.
Oleh karena itu, demi kepastian hukum dan stabilitas serta keberlangsungan pemerintahan, menteri atau pejabat setingkat menteri adalah yang dikecualikan apabila dicalonkan oleh parpol atau gabungan parpol sebagai Capres atau Cawapres, harus mendapat persetujuan atau izin cuti dari presiden. Artinya, menteri tidak perlu mundur saat mencalonkan diri menjadi Capres atau Cawapres. [wip]