(IslamToday ID) – Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok blak-blakan soal soal lima orang yang paling menentukan di pusaran penentuan kebijakan BUMN tersebut, termasuk harga bahan bakar minyak (BBM).
Orang pertama, katanya, Presiden Jokowi. Kedua, Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Panjaitan. Ketiga, Menteri BUMN Erick Thohir. Keempat, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati. Sedangkan kelima adalah dirinya sendiri.
“Sebetulnya itu banyak sekali penyimpangan-penyimpangan terjadi. Dan posisi saya itu urutan kelima. Kenapa urutan kelima? Pertama, Presiden. Kedua, Menko Invest (Menko Marves). Ketiga, Menteri BUMN. Keempat, mau eksekusi, Dirut Utama. Saya ini nomor lima,” katanya dikutip dari DetikCom, Senin (7/11/2022).
Meski berada di urutan kelima, Ahok mengatakan dirinya justru yang kerap disalahkan saat pemerintah menaikkan harga BBM.
“Saya boleh sampaikan ya, banyak orang pikir naiknya BBM, turunnya BBM, salahnya Ahok. Pokoknya kalau apa-apa Ahok yang salah. Tapi memang faktanya, kita itu terlalu takut untuk subsidi langsung ke rakyat,” kata Ahok.
Ia bergurau meski hanya menjadi orang nomor lima di Pertamina, ia mengaku senang. Pasalnya, dengan posisinya itu, ia mengaku tak perlu banyak kegiatan seremoni yang harus diikuti. Ia bisa menyerahkan semuanya ke Nicke Widyawati.
“Tapi ya di situ untungnya saya bilang. Setelah saya berpikir balik semua, saya punya banyak waktu, saya bilang juga, bercanda ini bercanda. Saya bilang sekarang enak posisi saya, kenapa paling enak? Kalau ditanya wartawan, ditanya media, sama dirut saja saya bilang,” kata Ahok.
“Gak usah menemani DPR, gak usah menemani menteri, gak ada acara seremoni yang banyak, sama Dirut aja. Nah yang kedua apa? Saya jadi punya banyak waktu. Punya banyak waktu untuk apa? Buat olahraga, punya banyak waktu untuk belajar musik, belajar bahasa, bisa nge-gym. Terus saya pikir ini hal yang baik sekali ya. Saya bisa pelototin saham online sekarang, dulu gak bisa,” tambahnya.
Harga BBM memang sedang menjadi perhatian masyarakat belakangan ini, terutama setelah Presiden Jokowi menaikkan harganya pada awal September lalu.
Saat itu, Jokowi dan pemerintahannya berdalih, harga harus dinaikkan demi mengurangi beban APBN yang melonjak akibat kenaikan subsidi BBM dari Rp 170 triliun menjadi Rp 502 triliun. [wip]