(IslamToday ID) – Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tercatat menjadi provinsi termiskin di Pulau Jawa per September 2022. Hal itu berdasarkan laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) Yogyakarta. Dalam laporan tersebut, tingkat kemiskinan di Yogyakarta tercatat naik 11,49 persen.
Dikutip dari laman BPS, Senin (23/1/2023), persentase penduduk miskin pada September 2022 sebesar 11,49 persen, menurun 0,42 persen poin dibandingkan September 2021, namun naik 0,15 persen poin dibandingkan Maret 2022.
Jumlah penduduk miskin pada September 2022 sebanyak 463.630 orang dan naik 8.900 orang terhadap Maret 2022. Jika dibandingkan September 2021, jumlah penduduk miskin September 2022 turun 10.900 orang.
Kemudian, persentase penduduk miskin perkotaan pada September 2022 sebesar 10,64 persen dan naik 0,08 persen poin dibandingkan Maret 2022. Penduduk miskin pedesaan pada September 2022 sebesar 14,00 persen dan naik 0,35 persen poin dibandingkan Maret 2022.
Tak hanya di desa, jumlah penduduk miskin di perkotaan pada September 2022 sebanyak 321.070 orang, naik sebanyak 5.600 orang dibandingkan Maret 2022. Sementara itu, jumlah penduduk miskin pedesaan pada September 2022 sebanyak 142.570 orang atau mengalami kenaikan 3.300 orang dibandingkan Maret 2022.
Maka BPS mencatat garis kemiskinan pada September 2022 tercatat sebesar Rp 551.342,00 per kapita per bulan dengan komposisi Garis Kemiskinan Makanan sebesar Rp 398.363,00 (72,25 persen) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan sebesar Rp 152.979,00 (27,75 persen).
Selain itu, pada September 2022, BPS juga mencatat secara rata-rata rumah tangga miskin di DIY memiliki 4,20 orang anggota rumah tangga. Apabila ditinjau secara rumah tangga, maka Garis Kemiskinan rumah tangga mencapai Rp 2.315.636,00 per rumah tangga per bulan.
Di sisi lain, pada 2023 UMP Yogyakarta mengalami kenaikan 7,65 persen yakni sebesar Rp 1.981.782 dibanding UMP tahun 2022 sebesar Rp 1.840.915. Namun, UMP tersebut termasuk terkecil kedua setelah Jawa Tengah.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) DIY Budiharto Setyawan menyebut status DIY menjadi provinsi termiskin di Jawa karena pola konsumsi masyarakat DIY cenderung unik, yang relatif berbeda dibandingkan daerah lain. Mayoritas masyarakat DIY memiliki budaya yang kuat dalam menabung dibandingkan dengan konsumsi.
“Hal ini tercermin dari tingkat simpanan masyarakat di bank yang selalu lebih tinggi dibandingkan tingkat kredit. Secara rata-rata rasio kredit dibandingkan dengan simpanan rumah tangga di DIY dalam 10 tahun terakhir berkisar 66,78 persen, yang berarti masih rendah apabila dibandingkan dengan rasio ideal 80-90 persen,” ujarnya dikutip dari Liputan6.com, Senin (23/1/2023).
Kondisi masyarakat DIY yang unik ini terus menjadi problem secara statistik. Sebab penduduk dikategorikan miskin apabila rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.
Dengan demikian, semakin rendah pengeluaran penduduk maka akan semakin dekat dengan kemiskinan.
“Sementara itu, kesenjangan pendapatan yang didekati dengan pengeluaran penduduk lokal dengan penduduk pendatang sangat tinggi. Kesenjangan pengeluaran ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan ketimpangan di DIY menjadi tinggi. Hal tersebut tercermin dari tingkat gini ratio DIY yang mencapai 0,459 (Sep-22) tertinggi se-Indonesia,” ujarnya.
Kemiskinan di DIY mencapai 11,49 persen menduduki peringkat ke-12 provinsi dengan kemiskinan tertinggi di Indonesia. Walaupun mayoritas masyarakat di DIY telah memiliki pekerjaan yang menghasilkan pendapatan, namun secara statistik kemiskinan DIY dianggap masih tinggi atau provinsi termiskin di Jawa.
“Hal ini disebabkan oleh dua hal, yakni pola konsumsi masyarakat DIY cenderung sederhana, dan metode pengukuran statistik belum sepenuhnya bisa menggambarkan purchasing power parity masyarakat DIY yang sebenarnya,” ujarnya.
Menurutnya, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di DIY, terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan, antara lain terus menciptakan lapangan kerja baru. Menjaga keberlangsungan proyek strategis nasional maupun proyek strategis daerah agar dapat menyerap tenaga kerja dari masyarakat sekitar/lokal.
“Mengawal optimalisasi penggunaan dana desa agar memiliki multiplier yang besar, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” kata Budiharto. [wip]