(IslamToday ID) – Ketua Institut Harkat Negeri, Sudirman Said menanggapi indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia yang berada di titik terendah sejak memasuki era reformasi. Ia menilai merosotnya IPK menunjukkan pemerintah gagal dalam membangun demokrasi yang sehat dan tata kelola negara yang bersih.
Sudirman mengatakan, kemerosotan IPK menandakan ada masalah serius di tingkat makro penyelenggaraan negara. menurutnya, IPK hanya salah satu cermin dari tata kelola pemerintahan.
“Saya melihatnya korupsi itu lebih dari sekadar soal penegakan hukum. Tapi korupsi itu soal perilaku, nilai-nilai, kultur kekuasaan dan soal kesehatan demokrasi dan ada huhungan erat dengan politik keseluruhan,” kata Sudirman dalam keterangannya dikutip dari Tribunnews Kamis (9/2/2023).
Dia menegaskan, pemerintah gagal mengelola lingkungan pengendalian di tingkat makro. Dengan demikian, tata nilai, etika dan aturan-aturan yang berlaku dalam sebuah negara tak berjalan baik.
“Ini yang sedang merosot, lingkungan pengendalian makro. Misalnya, praktik nepotisme di level paling tinggi memberikan contoh. Maka yang di level bawah akan mengikuti. Level paling tinggi bukan hanya pada nasional, tapi juga bisa pada level provinsi, kabupaten dan kementerian terjadi nepotisme,” ucap Sudirman.
Selain soal lingkungan pengendalian makro, kata Sudirman, tata kelola pemerintahan juga masih diwarnai benturan kepentingan. Dia menyatakan, hal itu yang merusak demokrasi dan melanggengkan korupsi.
“Conflict of interest ditunjukkan di mana-mana. Benturan kepentingan antara yang membuat regulasi dan yang mendapat manfaat regulasi. Antara kekuasaan yang harusnya menjaga kepentingan publik, tapi juga ikut menjalankan usaha di dalam kekuasaan,” ujar mantan Menteri ESDM itu.
“Alat-alat kontrol dalam tata negara mengalami penumpukan. Misalnya, apakah parlemen kita masih eksis sebagai alat kontrol? Apakah badan audit negara masih efektif sebagai alat kontrol? Apakah lembaga penegak hukum masih memiliki kewibawaan?,” sambungnya.
Menurut Sudirman, praktik bernegara semakin terkooptasi kekuasaan eksekutif. Dia pun mengkritisi KPK yang dianggap sudah dipreteli dari pelemahan aspek legal hingga penempatan orang-orang bermasalah di level pimpinan. Sementara, sekelompok pekerja yang profesional dan menjaga idealisme digusur secara sistematis.
Dia menjelaskan, IPK yang merosot juga dipengaruhi perilaku yang meminggirkan etika publik para pejabat tinggi negara. Oleh sebabnya, dia berharap, kemerosotan IPK ini bisa diperbaiki secepatnya, dimulai dari mencari lapis baru kepemimpinan melalui Pemilu 2024.
“Setiap perubahan besar selalu memberi harapan bagi lahirnya perbaikan. Inilah kesempatan besar bagi bangsa untuk memperbaiki lingkungan pengendalian makro. Dengan cara mendorong figur-figur yang punya komitmen pada clean government, tata kelola dan penegakan etika publik, untuk maju berkontestasi secara sehat,” pungkasnya.
Seperti diketahui, Transparency International Indonesia (TII) mendata, IPK Indonesia turun 4 poin menjadi 34 pada 2022. Data itu menunjukkan peringkat IPK Indonesia merosot dari 96 menjadi di posisi 110. Yang mengakibatkan Peringkat Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan Negara Malaysia, Singapura, Vietnam, Thailand, dan Timor Leste.
Disisi lain, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD tidak mempermasalahkanya turunnya skor IPK Indonesia tersebut. Menurutnya itu bukanlah fakta hanya persepsi semata, penilaian tiap negara dalam mengukur IPK berbeda-beda. Selain itu, kata dia, hampir semua negara mengalami penurunan IPK.
“Jadi tidak apa-apa, kami hanya ingin menyatakan bahwa itu semua bukan fakta, tapi persepsi dan baru terbatas pada hal-hal tertentu,” kata Mahfud di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (6/2/2023).
“Tapi enggak apa-apa itu hak dari TII untuk membuat agregasi, dan kami menghargai upaya TII sebagai persepsi,” ucap Mahfud.
“Itu bukan fakta, sehingga kami perbaiki juga dari sudut persepsi. Berterima kasih kami kepada TII,” pungkasnya.