(IslamToday ID) – Kementerian Agama (Kemenag) mengingatkan jamaah calon haji Indonesia 2023 untuk menjaga kesehatan dan mempersiapkan diri agar bisa menjalankan ibadah haji dengan baik. Salah satunya dengan tidak memforsir aktivitas menjelang puncak haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna).
Direktur Bina Haji Kemenag Arsyad Hidayat mengatakan ibadah haji di Armuzna memerlukan aktivitas fisik yang besar. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), angka kematian jamaah haji Indonesia masih relatif tinggi dibanding negara lain.
“Berdasarkan laporan Kemenkes, setiap tahunnya angka kematian jamaah haji meningkat drastis setelah pelaksanaan ibadah di Masyair (Armuzna). Faktor penyebabnya adalah kelelahan. Ini menjadi titik kritis juga dalam pelayanan kepada jamaah haji Indonesia di tahun 2023,” ujar Arsyad di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, dikutip dari Liputan 6, Rabu (12/4/2023).
Apalagi saat ini Indonesia kembali mengirimkan jaemaah haji dengan kuota penuh mencapai 221.000 orang. Dari angka tersebut, 66.943 di antaranya merupakan jamaah lanjut usia. Rekor jumlah lansia terbanyak sepanjang sejarah pemberangkatan jamaah haji Indonesia ini harus menjadi perhatian agar kasus kematian akibat kelelahan bisa diantisipasi.
Arsyad meminta para jamaah tidak memporsir fisik dengan melakukan umrah sunah berkali-kali menjelang puncak haji. Para jamaah diimbau beristirahat yang cukup untuk mempersiapkan fisik yang prima, sehingga bisa menjalankan ibadah rukun haji di Armuzna dengan baik.
“Kami mohon kita semua tidak hanya petugas Kemenkes, pelayanan lansia, tapi semua kita punya kewajiban untuk mengingatkan kepada kelompok atau siapa saja untuk jamaah haji kita supaya bisa diatur betul kondisinya supaya tetap fit, supaya tetap sah ibadah hajinya, dan bisa kembali ke Tanah Air dengan selamat,” tandas Arsyad.
Sebelumnya, Arsyad mengungkapkan, ada lima titik kritis yang harus menjadi perhatian bersama, terutama bagi para petugas haji saat menangani jamaah haji Indonesia selama di Arab Saudi.
Pertama soal perbedaan kultur, budaya, suhu, dan lain-lain antara Indonesia dengan Saudi. Perbedaan ini kerap membuat jamaah haji Indonesia kaget hingga stres.
“Contoh banyak orang syok lihat kultur bicaranya keras karena mereka hidup di padang pasir. Ada yang anggap kok mereka marah-marah ke kami. Ada nenek-nenek yang sampai stres karena susah dicek mukanya oleh imigrasi, merasa dibentak-bentak, padahal bukan. Jadi ini kaitan dengan kultur pun bisa membuat jamaah kita jadi stres. Ini perlu diantisipasi,” ujar Arsyad.
Titik kritis kedua terjadi ketika jaemaah haji baru tiba di Saudi. Jamaah gelombang 1 akan tiba di Madinah dan melaksanakan salat arbain (salat 40 waktu) di Masjid Nabawi. Sementara jamaah gelombang 2 akan mendarat di Bandara Jeddah dan langsung menuju Mekkah untuk melakukan umrah wajib atau umrah haji.
Dalam situasi ini, kebanyakan jaemaah akan sangat bersemangat untuk langsung melakukan ibadah. Saking semangatnya, mereka bahkan lupa melakukan orientasi lokasi tempat tinggalnya, sehingga tidak sedikit yang tersasar dan tidak bisa pulang ke hotel atau pemondokan.
“Ini harus jadi perhatian setiap kali ada kedatangan minta jamaah haji lakukan orientasi lokasi mereka tinggal, pertama hotelnya di mana, jalannya jalan apa, ciri fisiknya apa, setiap jamaah dibekali kartu hotel untuk suatu saat ketika tersasar bisa minta tolong siapapun, termasuk kepada petugas haji Indonesia,” tuturnya.
Arsyad berharap, hal ini bisa menjadi perhatian semua pihak, terutama petugas haji. Apalagi tahun ini merupakan rekor pemberangkatan calon jamaah haji dengan jumlah lansia terbanyak, mencapai 66.000 orang. “Ini titik kritis juga, dengan jumlah lansia yang banyak, potensi jamaah tersasar akan semakin besar.”
Titik krisis ketiga, Arsyad mengungkapkan, umumnya jamaah haji yang berada di Mekkah saat menunggu puncak haji akan memanfaatkan waktu untuk melaksanakan tawaf sunah sebanyak-banyaknya. Bahkan, tak sedikit yang memaksakan tawaf sunah berkali-kali hingga kecapaian dan fisiknya lemah saat puncak haji di Armuzna.
“Kami tidak melarang melakukan umrah sunah berkali-kali untuk mereka yang sehat. Tapi buat mereka yang memiliki keterbatasan-keterbatasan mohon itu jadi perhatian. Tidak kita paksakan mereka berkali-kali umrah sunah, karena menjelang hari H keberangkatan ke Arafah kondisi fisik mereka akan lemah, sehingga tidak bisa melaksanakan wukuf. Padahal wukuf merupakan rukun ibadah haji,” katanya.
“Jangan kita kedepankan yang sunah tapi tinggalkan yang rukun. Cara pandang ini salah. Jadi tolong diingatkan siapa saja untuk tidak memporsir jamaah melakukan kegiatan-kegiatan yang membuat kondisi mereka semakin lemah,” sambung Arsyad.
Keempat, titik kritis jemaah calon haji juga terjadi menjelang keberangkatan dan saat berada di masyair atau di Armuzna. Meski diberi waktu dan tempat untuk istirahat tidur, jamaah masih berpotensi kelemahan saat berada di Armuzna. Sebab, situasi di Armuzna saat puncak haji sangat ramai. Seluruh jamaah haji dari berbagai penjuru dunia berkumpul dalam satu tempat dan waktu bersamaan.
Terakhir, titik kritis jemaah haji terjadi saat pelaksanaan tawaf ifadah. Katanya, setiap tahun suasana di sekitar Kabah dipastikan penuh dan sesak ketika pelaksanaan tawaf ifadah.
“Apalagi kalau ada orang yang sengaja ambil pelaksanaan tawaf ifadahnya pada 10 Dzulhijjah. Sudah kondisi fisiknya capai habis (lempar) jumrah aqabah langsung jalan ke Masjidil Haram, tambah capai dan lelah,” katanya. [wip]