(IslamToday ID) – Tiga warga negara Indonesia (WNI) bernama M Helmi Fahrozi, Ramos Petege, dan Leonardus Magai menggugat UU Parpol ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ketiganya meminta periode pengurus partai politik (parpol) maksimal 2 kali.
Sebagaimana dikutip dari website MK, Senin (8/5/2023), gugatan itu sudah terdaftar dengan No AP3:50/PUU/PAN.MK/AP3/05/2023. Ketiganya menggugat Pasal 2 ayat (1b) UU Parpol. Pasal itu berbunyi: Pendiri dan pengurus Partai Politik dilarang merangkap sebagai anggota Partai Politik lain.
Helmi dkk meminta pasal di atas dimaknai: Pengurus Partai Politik memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 (satu) kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut, serta pendiri dan pengurus Partai Politik dilarang merangkap sebagai anggota Partai Politik lain.
Ketiganya memberikan kuasa ke Zico Leonard Djagardo Simanjuntak dan Aldo Pratama Amry. Mereka merupakan WNI yang sudah berusia 17 tahun dan sudah punya hak pilih. Ketiganya tertarik masuk ke parpol tapi merasa tidak punya kans menjadi pengurus parpol dengan aturan yang ada.
“Namun bilamana ke depannya para pemohon menjadi anggota partai politik, hak-hak konstitusional dan hak politik para pemohon di internal partai dalam hal ini menjadi ketua umum tereduksi akibat tidak adanya pembatasan atau larangan bagi ketua umum partai politik untuk terus menerus menjabat sebagai ketua umum,” urai ketiganya dikutip dari DetikCom.
Menurut pemohon, desain UU Parpol cenderung menempatkan partai politik sebagai organisasi superior tanpa adanya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah maupun pihak internal dari partai itu sendiri. Jikalau pun terdapat pengawasan internal, namun hanya diatur melalui AD/ART partai yang bersangkutan dengan memunculkan organ internal yang penamaannya berbeda-beda setiap partai politik.
“Namun demikian, organ internal tersebut pun tunduk kepada pimpinan partai politik, dalam hal ini ketua umum,” ungkapnya.
Secara mayoritas, ucap pemohon, sistem pemerintahan internal organisasi partai politik di Indonesia menganut sistem demokrasi terpimpin (sistem satu komando). Di mana seluruh kebijakan dan keputusan partai politik berada di tangan pemimpin tertinggi, sedangkan anggota hanya mengikuti dan melakukan apa yang telah diputuskan oleh pimpinan partai.
“Tidak adanya pembatasan masa jabatan pimpinan partai politik telah menyebabkan satu figur atau kelompok bahkan keluarga tertentu memegang kekuasaan di tubuh partai politik dengan begitu panjang,” bebernya.
Menurut pemohon, ketiadaan batasan masa jabatan pimpinan partai politik juga menyebabkan institusional disaster. Sebab aturan ini bertentangan dengan prinsip konstitusionalisme, prinsip proporsionalitas, Pasal (1), Pasal 28B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28I ayat (2).
“Bahwa dengan kekaburan dan ketidakpastian norma pasal a quo selain menghambat proses regenerasi juga tidak memberikan kesempatan dan kesetaraan bagi anggota partai politik dalam memimpin partai politik,” pungkas pemohon. [wip]