(IslamToday ID) – Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan menyebutkan pemerintah akan fokus pada pengendalian emisi di tiga sektor yaitu transportasi; industri dan pembangkitan listrik; serta lingkungan hidup, guna memperbaiki kualitas udara di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek).
Hal itu disampaikan Luhut dalam Rapat Koordinasi bertajuk “Upaya Peningkatan Kualitas Udara Kawasan Jabodetabek” di kantor Kemenko Marves, Jumat (18/8). Rapat itu dihadiri lintas kementerian/lembaga (K/L) serta Pemda DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten.
“Dari yang kami pelajari, untuk meningkatkan kualitas udara, pengendalian emisi harus berfokus pada tiga sektor yaitu transportasi, industri dan pembangkitan listrik, serta lingkungan hidup. Kami akan bergerak dari sektor hulu hingga hilir. Pengawasan kualitas udara yang komprehensif dan partisipasi aktif masyarakat juga dibutuhkan sebagai bagian dari upaya bersama,” kata Luhut dalam keterangannya, Jumat (18/8/2023).
Luhut menegaskan komitmen pemerintah dalam mengatasi masalah ini, dan pentingnya solusi lintas sektor untuk menurunkan emisi di Jabodetabek. Oleh karena itu, diperlukan tindakan dari hulu hingga hilir guna mencapai solusi yang holistik.
Untuk mengurangi polusi dari sektor industri dan pembangkit listrik, pemerintah akan mewajibkan industri menggunakan scrubber untuk industri berat dan PLTU batu bara, serta meningkatkan standar emisi PLTU.
Selanjutnya, penggunaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara juga perlu dikurangi dengan pensiun dini atau pengurangan faktor kapasitas PLTU. “Percepatan transisi energi dengan mendorong bauran energi baru terbarukan juga dibutuhkan, termasuk insentif seperti kredit karbon dan pajak karbon,” ungkap Luhut Binsar Panjaitan.
Sementara di sektor transportasi, dorongan untuk menggunakan transportasi publik akan membantu mengurangi emisi yang mayoritas disebabkan oleh kendaraan pribadi, termasuk pembatasan mobilitas kendaraan pribadi yang perlu diperluas untuk mendorong adopsi transportasi publik (road space rationing).
Selain itu, uji emisi pada proses perizinan dan pengawasan lalu lintas perlu diperketat, termasuk dengan pemberian penalti bagi pelanggar. Terakhir upaya mendorong perusahaan untuk menerapkan pembagian jam kerja guna mengurangi kemacetan yang berkontribusi pada peningkatan jumlah polutan di jalan juga akan segera diterapkan.
“Kami terus mendorong penggunaan transportasi publik dan meningkatkan kapasitas transportasi publik pada jam sibuk. Kami akan memberikan insentif kepada pengguna agar mereka beralih dari kendaraan pribadi. Selain itu, kami akan terus mempercepat proses elektrifikasi kendaraan untuk mengurangi emisi pembakaran,” ujar Menko Luhut.
Menurut Luhut, upaya-upaya ini sebenarnya sudah banyak diadopsi oleh negara lain, seperti Beijing yang berhasil menurunkan polusi udara secara signifikan dengan fokus pada penanganan tiga sektor tersebut.
Luhut pun menyampaikan, hal yang perlu dicontoh dari negara-negara tersebut adalah faktor pengawasan dan tindakan tegas bagi pihak yang melanggar.
Oleh karena itu, kata Luhut, untuk memastikan pelaksanaan langkah-langkah yang telah disiapkan, akan dibentuk Satuan Tugas (Satgas) yang akan mengkoordinasikan upaya perbaikan kualitas udara lintas instansi di wilayah Jabodetabek.
“Dengan arahan langsung dari Presiden Jokowi, kami berkomitmen untuk mencapai perubahan nyata dalam penanganan kualitas udara, guna meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup seluruh masyarakat. Bukan hanya untuk hari ini atau besok, tapi untuk anak cucu kita nanti,” tegas Luhut.
Sebelumnya, Laporan data perusahaan teknologi kualitas udara Swiss IQAir menunjukan ibukota Indonesia, Jakarta menduduki puncak daftar sebagai kota dengan udara paling tercemar di dunia pada Kamis (10/8/2023).
Berdasarkan situs pemantau kualitas udara IQAir pada Kamis (10/8/2023) pukul 07.00 WIB, kualitas udara di Jakarta dikategorikan sebagai tidak sehat. Indeks kualitas udara (AQI) Jakarta berada di angka 161, dengan konsentrasi partikulat (PM2.5) 74 mikrogram per meter kubik atau 14 kali lipat dari standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Angka setinggi itu sudah tercatat pada pagi hari, yang artinya bisa lebih parah pada siang hari saat pergerakan warga lebih sibuk.(hzh)