(IslamToday ID) – Analis politik yang juga dosen di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun menilai wajar ada gugatan laporan terhadap Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka dan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman ke KPK terkait dugaan nepotisme.
Menurut Ubed, salah satu bentuk nepotisme adalah dinasti politik. Dan Jokowi, katanya, wajar jika diduga atau dianggap sedang membangun dinasti politik. “Kasus dinasti Joko Widodo di Indonesia ini masuk kategori dinasti demokrasi itu,” katanya dikutip dari CNN Indonesia, Kamis (26/10/2023).
“Tetapi kasus keluarga Joko Widodo ini lebih parah karena terjadi saat Joko Widodo masih berkuasa, justru membiarkan bahkan mendukung anak dan menantunya menjadi walikota, menjadi ketua umum partai, dan kini menjadi calon wakil presiden,” imbuhnya.
Salah satu indikasi Jokowi sedang membangun dinasti politik, disebut Ubed, terlihat saat Ketua MK Anwar Usman yang juga merupakan adik iparnya mengeluarkan putusan tentang syarat usia capres-cawapres. Pasalnya, lewat putusan itu MK menambah ketentuan capres-cawapres boleh berusia di bawah 40 tahun asal mempunyai pengalaman menjadi kepala daerah.
Putusan itu dikeluarkan jelang pendaftaran Gibran yang belum berusia 40 tahun sebagai cawapres Prabowo Subianto. “Jadi secara umum putusan MK itu mudah terbaca terang benderang bahwa putusan MK itu dapat ditafsirkan sebagai penyempurna dinasti politik Jokowi,” jelasnya.
Usai diubah, Gibran kini telah resmi mendaftar sebagai cawapres mendampingi Prabowo di KPU. Ubed berpendapat putusan MK yang menjadi indikasi dinasti politik ini membuat demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran. Padahal, katanya, dinasti politik secara historis dan substantif sesungguhnya telah ditolak sejak abad ke-18 ditandai dengan peristiwa Revolusi Perancis
“Artinya jika politik dinasti terus ditumbuhkan, republik ini secara substantif seperti mundur kembali ke abad 18, meskipun berwajah baru melalui pemilihan umum,” tuturnya.
Menurut Ubed, penolakan terhadap dinasti politik itu penting. Sebab, dalam dinasti politik siklus kekuasaan hanya berputar di lingkaran yang sama. “Artinya lingkaran kekuasaan yang sama karena memiliki sumber daya yang besar akan cenderung berkuasa lama,” tuturnya.
Ubed mengungkapkan dalam sejumlah riset terpercaya, kekuasaan yang berlangsung lama turun temurun itu cenderung korup dan berpotensi kuat melakukan cara-cara baru praktik otoriter.
Bahkan, katanya, sebenarnya sudah diingatkan sejak akhir abad ke-19 oleh ilmuwan sosial Lord Acton (1833-1902). Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely. “Kekuasaan itu cenderung korup, kekuasaan yang absolut pasti korup,” ucapnya.
Dalam perkembangannya, kata Ubed, para ilmuwan seperti Christhope Jaffrelot (2006) dan Nandini Deo (2012) menyebut fenomena itu sebagai dynastic democracy. Artinya, suatu pemerintahan demokrasi yang menjalankan pemilu tetapi yang selalu terpilih adalah mereka yang memiliki hubungan darah atau hubungan kekeluargaan dengan penguasa sebelumnya atau darah biru atau dinasti. [wip]