(IslamToday ID) – Politisi PDIP Masinton Pasaribu mengaku kecewa terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batas usia capres-cawapres, yang akhirnya meloloskan Gibran Rakabuming Raka menjadi bakal cawapres 2024.
Saat ditanya alasan PDIP tidak langsung memecat Gibran ketika menjadi rival pasangan capres-cawapres yang diusung PDIP, Masinton menyebut otomatis walikota Solo itu tidak lagi menjadi kader partai banteng.
“Di dalam PDIP, kalau tidak mengikuti aturan partai, sudah bukan lagi menjadi kader partai. Itu otomatis (dipecat), artinya ada minimum dan maksimum sanksi. Ada yang disampaikan tertutup, ada yang terbuka, tertutup itu dikirimkan, ada yang di-publish. Jadi itu biasa dalam mekanisme partai,” kata Masinton dalam diskusi Polemik Trijaya bertajuk ‘Suhu Politik Pasca Putusan MK’, Sabtu (28/10/2023).
Ia menyampaikan dengan telah diusungnya capres-cawapres dari PDIP dan partai koalisi, yakni Ganjar Pranowo-Mahfud MD, otomatis para kader seharusnya mendukung pasangan itu untuk maju dalam kontestasi Pilpres 2024. Sebaliknya, yang tidak mendukung, bahkan menjadi rival tentu tidak menjadi bagian dari PDIP.
“Ketika partai sudah memutuskan capres-cawapres Ganjar-Mahfud, maka di luar itu bukan putusan partai, dan yang tidak ikut putusan partai otomatis sudah meninggalkan PDIP, apalagi nyalon dari partai lain,” tuturnya dikutip dari Republika.
Diketahui, Gibran diusung menjadi cawapres Prabowo Subianto oleh Partai Golkar pada 21 Oktober 2023, setelah MK memutuskan soal batas usia capres-cawapres pada 16 Oktober 2023 lalu. Pasangan Prabowo-Gibran pun maju sebagai capres-cawapres melalui Koalisi Indonesia Maju (KIM) dan telah mendaftarkan diri di KPU pada 25 Oktober 2023.
Masinton mengatakan, melenggangnya Gibran menjadi cawapres dari KIM pasca putusan MK, PDIP mengkawatirkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan di Indonesia. Menurutnya, hal itu tidak hanya dikhawatirkan oleh partainya, tetapi oleh masyarakat Indonesia.
“Yang saya khawatirkan adalah adanya upaya pemaksaan. Putusan MK saja bisa dipaksakan. MK saja bisa memaksakan dengan cara-cara yang sudah tidak wajar. Kemudian apalagi dalam proses elektoral ini. Kalau terjadi penggunaan tangan-tangan kekuasaan, dan itu akan mempengaruhi hasil. Kalau bermasalah maka kepemimpinan yang dihasilkan juga bermasalah, lalu gimana legitimasinya? Belum lagi kalau ada sengketanya,” pungkas Masinton. [wip]