(IslamToday ID) – Akademisi yang juga pengamat politik Ubedilah Badrun mengatakan kondisi demokrasi Indonesia semakin mengkhawatirkan. Bahkan, ia menyebut kini Indonesia sudah menjadi negara kekuasaan.
“Saya kira sejak kita merdeka kita memilih jalan apa yang disebut dengan rechtsstaat, negara hukum. Yang terjadi hari ini, saya bisa menyimpulkan adalah machtstaat, negara kekuasaan,” kata Ubed sapaan akrabnya dikutip dari YouTube Diskursus Net dengan judul “Aktivis ’98 Bergerak, Pemilu akan Tanpa Jokowi”, Rabu (22/11/2023).
“Apa bukti paling empirik yang memperkuat argumen itu? Kita bisa melihat bahwa apa yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi yang di dalam amar putusan MKMK (Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi) itu disebutkan bahwa ada pelanggaran berat yang dilakukan oleh Anwar Usman,” lanjutnya.
Menurutnya, MKMK telah menyebutkan tentang adanya intervensi kepada putusan Anwar Usman. Sehingga fakta yang perlu digali lebih dalam yaitu siapa yang melakukan intervensi tersebut. Ia menyarankan kepada DPR untuk menyelesaikan permasalahan ini dengan pedoman konstitusi.
“Ini celah yang memungkinkan parlemen mengamalkan konstitusi. Itu ada di pasal 7, pasal 7A, pasal 7B, dan pasal 24 tentang pemakzulan,” ujar Ubed.
Ia menekankan bahwa jalan yang paling rasional dan terhormat dalam mengatasi kebuntuan politik dan permasalahan MK adalah melalui mekanisme hukum. Selain itu, ia menggambarkan bahwa kondisi demokrasi Indonesia saat ini seperti abad 18.
Dijelaskan Ubed, pada abad 18 kondisi Indonesia masih belum memiliki satu perspektif tentang demokrasi konstitusional. “Hari ini dijungkirbalikkan. Artinya kita kembali mundur ke abad 18, ke belakang. Ini kan bahaya. Nah, apa (isi) argumen konstitusional di dalam pasal 7 itu? Pasal 7, 7a, 7b, dan pasal 24 bahwa presiden itu bisa diberhentikan ketika dia melakukan pengkhianatan terhadap negara,” jelasnya.
Ubed menambahkan, bahwa upaya intervensi untuk meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres adalah sebuah penghinaan terhadap MK.
“Bagi saya pengabaian, penghinaan terhadap Mahkamah Konstitusi, terhadap lembaga negara itu adalah pengkhianatan konstitusi. Apalagi kemudian mengobok-obok konstitusi sampai Mahkamah Konstitusi menjadi roboh. Ini kan satu pengkhianatan terhadap konstitusi sebetulnya, karena dia mengakali,” tegas Ubed.
Lebih lanjut, ia juga menyebutkan kondisi lain seorang presiden bisa dijatuhkan seperti terlibat dalam penyuapan. “Kalau penyuapan kita sudah laporkan ke KPK, ya kan. Ada nepotisme kita sudah laporkan ke KPK dan seterusnya. Ada korupsi kita sudah laporkan ke KPK,” pungkasnya.
Terakhir, Ubed menyebut bahwa rezim saat ini sudah terlalu banyak memiliki catatan-catatan jika sesungguhnya presiden telah melanggar konstitusi. [res]