(IslamToday ID) – Konsultan politik Eep Saefulloh Fatah mengatakan pernyataan Jokowi yang membolehkan presiden berkampanye dan memihak bisa dilihat dari dua sisi.
Dari sisi undang-undang jelas melanggar apabila presiden berkampanye dengan menggunakan fasilitas negara dan dalam keadaan tidak cuti. Ini sesuai dengan UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pasal 281 dan 282.
“Cuti presiden itu ada aturannya dan ketika mendukung (salah satu paslon) dan dalam keadaan cuti itu ada prosedurnya. Artinya Wapres dalam waktu itu sedang bertugas menjadi presiden, karena presiden cuti. Begitu pula dengan menteri yang mengajukan cuti,” kata Eep dikutip dari YouTube Bisikan Rhoma, Sabtu (27/1/2024).
“Presiden bukanlah penafsir undang-undang tunggal. Presiden boleh berpendapat tapi kita boleh berbeda pendapat dengan presiden. Acuannya undang-undang,” sambungnya.
Yang menjadi persoalan bangsa ini, kata Eep, undang-undang selalu ditafsirkan sesuai dengan kepentingan pemegang kekuasaan.
“Dalam soal undang-undang ini tidak terlalu bersayap, padahal tidak dalam keadaan cuti. Perlu tidaknya tafsir itu sesuai kepentingan. Jadi kita itu tidak setia kepada teks, tidak setia pada undang-undangnya, tapi setia pada kepentingannya. Akhirnya banyak sekali kasus di mana undang-undang dibuat untuk dilanggar,” tuturnya.
Sementara dari sisi etik, pernyataan Jokowi yang membolehkan presiden ikut kampanye tidak ada perdebatan, jelas tidak boleh. “Tidak etis. Kalau dari sisi undang-undang masih bisa diperdebatkan, kalau dari sisi etis tidak bisa,” tegasnya.
“Ketika seseorang menjadi presiden dia bukan sekedar pemenang pemilu dan penghuni Istana. Dia kepala pemerintahan dan kepala negara. Sebagai kepala negara yang harus dijaga bukan hanya non partisan tapi beyond partisan. Mengatasi pengelompokan itulah fungsinya kepala negara,” paparnya.
Eep lantas mencontohkan tumpulnya fungsi presiden sebagai kepala negara saat menghadapai kasus cicak versus buaya.
“Presiden mengatakan tidak bisa mengintervensi tapi presiden lupa bahwa kedudukannya adalah kepala negara. Sebagai kepala negara dia harus beyond pengelompokan dan pertisipan, apalagi ketika ada dua institusi yang bertarung. Di situlah kita tunggu presiden bersikap,” tuturnya.
“Ketika presiden tidak mampu bersikap berarti dia hanya pemenang pemilu dan penghuni Istana, tapi tidak menjalankan fungsi kepala negara. Kearifan inilah yang diperlukan. Ini perlu kita tegakkan,” pungkasnya. [ran]