(IslamToday ID) – Chairman Indonesia Cyber Security Forum Ardi Sutedja mengatakan aplikasi Sirekap yang digunakan KPU dalam penghitungan suara tidak menggunakan teknologi baru. Bahkan, aplikasi tersebut sudah digunakan sejak dirinya duduk di bangku perkuliahan.
“Kekisruhan ini banyak terjadi di mana-mana, secara teknis sebetulnya semua ini mungkin terjadi karena teknologi yang digunakan, terus terang saja buat saya bukan teknologi baru. OCR itu digunakan sejak saya masuk kuliah dulu,” kata Ardi dikutip dari YouTube CNN Indonesia, Selasa (19/2/2024).
Sementara, untuk perbedaan jumlah yang diinput juga bukan merupakan keanehan karena yang mengoperasikan aplikasi tersebut adalah sistem.
“Karena itu sistem yang mengolah hasil penglihatan optikel karakter ini bisa saja terjadi perubahan. Bagi saya bukan sesuatu yang aneh. Ini bisa terjadi, tapi kalau ini terjadi di semua tempat, ini menjadi tanda tanya. Kalau terjadi di beberapa tempat bisa kita lihat masalah teknis, tapi kalau terjadi generik di semua daerah ini menjadi tanda tanya tersendiri,” jelasnya.
Ditanya mengenai unsur kesengajaan hingga mengakibatkan adanya perbedaan jumlah suara antara aplikasi Sirekap dangan TPS, Ardi mengaku tidak ingin berandai-andai.
Tapi ia justru mempertanyakan apakah Bawaslu sebagai pengawas mampu tidak menyelidiki hal tersebut. Demikian juga dengan peran Polri untuk menyelidiki adanya kasus dugaan kecurangan yang terjadi.
“Itu ada koridornya tersendiri yaitu tugasnya Bawaslu untuk melihat. Pertanyaannya Bawaslu punya gak kemampuan, kapabilitas untuk menyelidiki ini secara forensik. Mau tidak mereka melakukan pengaduan kepada Polri untuk masuk,” katanya.
“Karena yang memiliki kemampuan forensik digital itu Polri. Mau tidak? Ini kan sudah ada kecurigaan-kecurigaan atau harus menunggu laporan dari kontestan peserta pemilu. Ini memang perlu dilakukan audit forensik digital yang lebih komprehensif untuk menelusuri permasalahannya,” sambungnya.
Karena, katanya, selama ini tidak ada transparansi yang menjelaskan kepada masyarakat mengenai adanya kesalahan maupun keterbukaan mengenai aplikasi yang digunakan.
“Padahal namanya KPU merupakan lembaga publik, artinya ini menggunakan duit masyarakat, duit pajak. Kita berhak tahu yang namanya transparansi penggunaan teknologi dan siapa yang menggunakannya. Ini yang jadi masalah,” tutupnya. [ran]