(IslamToday ID) – Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia (UI) Prof Hamdi Muluk tidak menampik adanya peran besar Presiden Jokowi dalam proses suksesnya Prabowo Subianto menjadi calon presiden (capres) terpilih 2024-2029.
“Peran Jokowi dalam proses Prabowo-Gibran (jadi capres-cawapres) makin ke sini makin terkonfirmasi. Kira-kira Pak Jokowi punya saham di pasangan yang akan menang ini. Tapi bagaimana deal dari dua orang ini (Prabowo-Jokowi) kita hanya bisa meraba-raba dari luar,” kata Hamdi dikutip dari YouTube Kompas, Rabu (28/2/2024).
Ia mengatakan bisa saja proses deal yang dilakukan Prabowo dan Jokowi sudah terjadi sejak lama. Bahkan sejak Prabowo memutuskan untuk masuk dalam Kabinet Indonesia Maju II.
“Deal-deal apa saja dan secara gradual akan berjalan terus sampai kita tahu sekarang tiba-tiba bahwa Pak Jokowi berada di dalam kubu Prabowo dan meninggalkan partai asalnya agak beyond imagination semua orang,” ungkapnya.
Sinyal selanjutnya yang memperlihatkan dukungan Jokowi terhadap Prabowo yakni dibahasnya salah satu yang akan menjadi program kerja Prabowo saat menjadi presiden terpilih dalam rapat kabinet Jokowi.
“Dibahas di kabinet kemarin tentang ada kemungkinan bahwa program makan siang gratis ini masuk ke APBN. Artinya akan dikunci juga di RAPBN tahun depan ketika Prabowo sudah memerintah. Ini kan semakin jelas bahwa pemerintah ini kalau kita ibaratkan salah satu pemegang saham terbesarnya adalah Joko Widodo,” paparnya.
Mengenai peran Jokowi nantinya di pemerintahan Prabowo-Gibran, Hamdi mengaku belum tahu pasti karena dalam pemerintahan sebelum-sebelumnya hal ini belum pernah terjadi. Presiden sebelumnya akan ikut berkontribusi besar dalam pemerintahan presiden terpilih selanjutnya.
“Di kita kan belum ada presedennya juga. Kalau kita lihat di UU No 39 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabinet kan sepenuhnya hak prerogatif presiden, tapi jumlahnya dibatasi oleh UU. Pak Jokowi tidak mungkin sejajar dengan menteri posisinya, jadi dia harus di atas menteri. Mungkin bayangannya begitu, di atas juga menteri koordinator,” tuturnya.
“Kalau paling logis, menteri utama (sementara), menteri utama itu prime minister, tapi sistem kita bukan parlementer jadi tidak ada prime minister,” sambungnya.
Ia lantas menduga ikut campurnya Jokowi sampai pemerintahan yang baru tidak lepas dari program IKN. [ran]