(IslamToday ID) – Pakar otonomi daerah Djohermasyah Djohan menilai penambahan jabatan kepala desa (kades) menjadi delapan tahun di luar pakem dan kembali ke zaman Orde Baru yang otoriter dan sentralistik.
Menurutnya, disahkannya UU Desa ini mencederai semangat reformasi yang mana sudah ada kesepakatan antara pemerintah dan rakyat untuk membatasi masa jabatan pemimpin dari tingkat nasional hingga lokal termasuk kades.
Panjangnya masa jabatan yang diberlakukan untuk kades juga ditakutkan akan menimbulkan banyak penyimpangan.
“Sebab bahaya nambah (masa jabatan) itu banyak sekali. Membahayakan demokrasi di desa, nantinya terjadi penyimpangan-penyimpangan serius dalam pengelolaan keuangan desa, kepegawaian desa, pilkades di desa itu. Lama menjabat akan membuat perubahan perilaku terhadap kekuasaan. Semakin lama seseorang menjabat semakin cenderung merasa powerfull,” kata Djohan dikutip dari YouTube METRO TV, Jumat (29/3/2024).
Orang yang lama berkuasa, sebutnya, juga memiliki kecenderungan anti-kritik. Ini juga perlu diantisipasi.
“Jadi lama-lama masa jabatan sama dengan besarnya kekuasaan. Kemudian orang yang men-challange kita, mengoposisi, mengkritisi itu lama-lama menjadi berkurang, lama-lama hilang sehingga kita menjadi pemain tunggal. Mendominasi, jadi check and balance tidak berjalan,” jelasnya.
Yang terjadi kemudian, ujarnya, apabila kades incumbent kembali mencalonkan sudah pasti akan menang karena telah lama berkuasa, memiliki banyak uang, pengaruhnya kuat, dan tidak ada yang mengkritisi. Jika kemudian menang lagi maka potensi penyelewangannya akan semakin besar. “Kalau begitu asumsinya bisa 16 tahun mereka berkuasa.”
Dengan pengesahan UU Desa ini, Djohan menilai hanya kades di wilayah Jawa yang tertarik karena kades di luar Jawa nyatanya tidak peduli dengan masa jabatan kades.
“Undang-undang ini kayaknya spesial khususnya kepala desa di Jawa yang sebetulnya menikmati ini. Kalau kades luar Jawa sebetulnya tidak begitu tertarik dengan ide ini,” tuturnya. [ran]