ITD NEWS — Sejumlah kasus besar seperti kasus korupsi yang banyak terkuak dalam beberapa tahun terakhir dinilai telah mengkhianati tujuan dari reformasi. Menjelang 25 tahun reformasi, berbagai catatan muncul mulai dari tingkat korupsi yang mempengaruhi skor indeks persepsi korupsi, pelanggaran HAM, indeks demokrasi masih bermasalah.
Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun menilai sejumlah catatan merah dalam 25 tahun terakhir menjadi catatan serius. Bahkan ia mengusulkan agar 25 tahun reformasi pada bulan Mei mendatang menjadi bulan perlawanan.
“Bukankah di antara cita-cita reformasi itu korupsi diberantas? demokrasi ditegakkan? pelanggaran HAM diadili? hukum tidak boleh tebang pilih? rakyat sejahtera? Datanya menunjukkan bahwa korupsi merajalela, indeks korupsi anjlok dengan skor 34, Indeks Demokrasi kita juga masih di bawah 70 atau flawd democracy atau demokrasi yang cacat,” kata Ubedilah dilansir dari RMOL, Senin, 20 Maret 2023.
Ubedilah memaparkan lebih lanjut terkait raport merah 25 tahun reformasi. Mulai dari angka pengangguran yang terus naik, banyak rakyat menderita namun di saat yang sama pejabatnya mengalami kenaikan kekayaan.
“Jumlah orang miskin dan pengangguran terus bertambah. Rakyat menderita tetapi pejabat kekayaanya bertambah 70,3 persen. Para oligarki makin berkuasa bahkan ada 0,2 persen warga negara menguasai 72 persen luas tanah di Indonesia. Rezim ini juga berwajah otocratic legalism, otiriter berselimut regulasi,” ungkap Ubedilah.
Ia menegaskan berbagai situasi di atas mendorong perlunya momentum perlawanan bagi rakyat. Rakyat dinilai sudah merasa jenuh dengan janji-janji kampanye hingga kasus korupsi yang kian merajalela.
“Bulan Mei 2023 ini di usia 25 tahun reformasi ini bisa menjadi momentum perlawanan rakyat, karena rakyat sudah muak dengan korupsi yang merajalela dan muak dengan janji-janji manis politik,” tegas Ubedilah.