ITD NEWS — Sikap penolakan terhadap RUU Omnibus Law Kesehatan juga datang dari dua ormas Islam terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah. Keduanya mengkritisi tentang adanya pasal karet dan dan warning keras agar pemerintah tidak sembarangan membagikan data kesehatan milik rakyat Indonesia ke pihak luar.
Dilansir dari tvonenews (8/5/2023), pembahasan terkait RUU Omnibus Law Kesehatan juga memanas di kalangan para kyai-kyai NU termasuk forum Bahsul Masail Kiai dan Bu Nyai se-Indonesia Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Mereka khawatir dengan munculnya pasal karet yang memasukan tembakau sebagai salah satu jenis narkotika.
“Ini bisa menimbulkan kegaduhan dan dikhawatirkan akan menjadi pasal karet karena menyamakan petani tembakau dengan petani ganja,” kata Katib Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH. Sarmidi Husna.
Kyai Sarmidi pun memberikan analogi penyamaan tersebut dengan bungkus rokok dengan visualisasi menakutkan dan botol minuman keras yang mudharatnya lebih besar.
“Kemasan rokok diberi peringatan besar dan visual yang menakutkan. Tapi kenapa alkohol tidak diberi peringatan yang sama padahal keharaman dan madharat-nya jauh lebih besar?,” tandasnya.
PP Muhammadiyah melalui Ketua Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Trisno Rahardjo. Ia memberikan warning kepada pemerintah yang memberikan peluang kepada para nakes asing atau bahkan perusahaan asing.
“Kami menilai hal ini bisa menjadi penyalahgunaan kondisi kesehatan di Indonesia, yang bisa jatuh ke perusahaan asing atau mereka yang perlu data kesehatan bangsa ini. Ini sebaiknya tidak diatur dan memag tidak boleh ada izin apapun untuk data milik bangsa diminta oleh asing,” ungkap Trisno dilansir dari republikaco, Senin 8 Mei 2023.
Trisno juga mengingatkan dengan keberadaan UU Kesehatan pada masa Orde Baru. Ia juga mengungkapkan bahwa spirit omnibus artinya bukan menyatukan undang-undang tapi memperbaiki undang-undang.
“Dulu memang pernah aturan kesehatan disatukan di masa Orde Baru, tahun 92 ada UU Kesehatan. Di dalamnya ada penyatuan, yang mana saat reformasi dibuat terpisah mulai dari UU Praktik Kedokteran, UU Keperawatan, sampai 2019 paling terakhir UU Kebidanan,” ujar Trisno.
“Metode omnibus law yang sebenarnya caranya bukan menyatukan, tapi melakukan perbaikan. Kenapa bukan itu yang dilakukan? Metodenya disebut omnibus, tetapi cenderung tidak menggunakan asas omnibus,” tegasnya.