(IslamToday.id) — Secara politik, Sultan Agung adalah raja Mataram yang menggagas konsep keagungbinataraan, yaitu sebuah konsep kekuasaan raja Mataram yang bersifat tunggul (utama) utuh dan bulat. Kekuasaan yang tidak tertandingi, tidak tersaingi, tidak terkota-kotak atau terbagi-bagi dan mencakup keseluruhan piranti hidup. Dengan letak keuasaan yang berada di daerah pedalaman, maka sumber pendapatan dan mata pencaharian masyarakat adalah bercorak agraris.
Dalam kacamata Sultan Agung, pertanian adalah sumber ekonomi, sekaligus sebagai sumber kejayaan sebuah negara. Oleh karena itu, landasan pikir awal untuk memahami pola penguasaan tanah pertanian di Jawa pada masa Sultan Agung adalah bahwa penguasaan tanah tidak lepas dari otoritas raja sebagai penguasa. Raja adalah penguasa mutlak atas tanah. Kemudian, dalam pengelolaannya raja memiliki bawahan untuk mengatur tanah-tanah tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Ong Hok Ham yakni menurut tradisi mutlak raja adalah satu-satunya pemilik tanah dalam arti secara teoretis ialah yang berkuasa atasnya.
Sementara itu, Wasino dalam bukunya “Tanah, Desa, dan Penguasa: Sejarah Pemilikan dan Penguasaan Tanah di Pedesaan Jawa” menyebutkan ada beberapa jenis tanah pada masa tradisional yakni tanah narawita dan tanah lungguh/bengkok/apanage. Tanah narawita merupakan tanah yang dikuasai secara langsung oleh raja, sedangkan tanah lungguh adalah tanah yang merupakan tanah gaji yang diberikan raja untuk dikelola oleh bangsawan atau pejabat.
Suhartono dalam bukunya Apanage dan Bekel menerangkan secara detail tentang pembagian tanah tersebut. Keberadaan tanah narawita dan lungguh terletak di daerah yang disebut dengan Negara Agung. Daerah Negara Agung merupakan daerah luar benteng yang berada di antara Kuthagara dan Mancanegara. Daerah Negara Agung terdiri atas beberapa daerah yakni daerah Sewu di Kawasan Bagelen, Bumi (di daerah Kedu Barat), Bumija (di daerah Kedu Timur), Numbak Anyar (di daerah Bagelen timur), Penumping (daerah sebelah barat Surakarta), serta Panekar di daerah Sukawati dan Pajang.
Tanah narawita terbagi atas beberapa jenis, yakni bumi pamajegan, pangrembe, dan gladag. Bumi pamajegan merupakan tanah-tanah raja yang menghasilkan pajak uang. Sementara itu daerah pangrembe merupakan tanah yang ditanami padi atau tanaman lain untuk istana. Sedangkan gladag merupakan tanah yang penduduknya mendapat tugas transportasi.
Tanah lungguh atau apanage adalah tanah raja yang hak gunanya diberikan kepada para pejabat. Pejabat-pejabat birokrasi tidak mendapat imbalan jasa berupa gaji, teapi sebagai pengganti jerih paya dari raja mereka mendapat ganduhan atau peminjaman tanah, sebagai tanah lungguh. Dari hasil bumi tanah tersebut para pejabat dapat membiayai keperluan hidupnya. Hasil dari tanah sebagian diberikan kepada kas kerajaan. Jumlah tanah yang diberikan berbeda-beda. Dalam Serat Pustaka Raja Purwara misalnya disebutkan bahwa ibu raja dan istri raja masing-masing mendapat tanah lungguh 1000 karya, Adipati Anom seluas 8000 karya, Wedana Lebet mendapat tanah seluas 5000 karya, dan sebagainya. Ukuran luas yang digunakan pada masa itu adalah karya atau cacah, yakni jumlah petani penggarap sawahnya. Berkaitan hal tersebut, ukuran apanage adalah jung kira-kira 28.386 m2 yang dikerjakan oleh empat cacah/karya.
Berkaitan dengan adanya tanah lungguh ada beberapa istilah yang terkait dengan pengelolaan tanah lungguh tersebut. Seorang yang diberi hak tanah lungguh disebut patuh. Patuh dalam pelaksanaannya tidak turun langsung ke daerah Negaragung karena mereka tinggal di Kuthagara untuk memudahkan kontrol raja terhadap para patuh. Patuh dibantu oleh bêkêl sebagai pengelola tanah lungguh. Bêkêl bertugas sebagai penebas pajak yang dibayar secara teratur ataupun okasional.
Di dalam perkembangannya, bêkêl kemudian berkembang menjadi penguasa tunggal di suatu desa. Dialah yang bertindak sebagai penghubung antara masyarakat petani dan penguasa. Dalam pelaksanaan tugasnya menjelaskan bahwa Bêkêl bertindak pula sebagai kepala desa atau kepala dukuh yang bertanggung jawab pula dalam bidang ketertiban dan keamanan desa. Sebagai pemimpin masyarakat desa mereka dibantu oleh tua-tua desa, mancapat-manca lima, serta mancakaki desa. Bêkêl berhak mendapat 1/5 (seperlima) bagian dari hasil sawah, sementara itu 2/5 untuk raja dan 2/5 untuk patuh. Seperlima bagian inilah yang dikemudian hari berkembang menjadi tanah bengkok.
Selain terdapat struktur patuh dan bêkêl, di kalangan petani muncul pula penggolongan-penggolongan berkaitan dengan sistem apanage. Golongan pertama disebut sikêp atau kuli kenceng. Kuli kenceng merupakan orang-orang pertama yang memiliki hak untuk mengerjakan serta hak atas tanah yang ditempati bangunan rumahnya. Para petani ini memiliki hak penuh sebagai penduduk desa, dan sebagai konsekunsinya mereka harus melakukan tugas-tugas yang berat. Selain itu ada pula yang disebut dengan numpang atau bujang. Para numpang inilah yang nantinya menggarap tanah desa atau tanah persekutuan (tanah lanyah).
Apabila ditinjau dari perspektif petani ada beberapa penguasaan tanah (Ong Hok Ham, 1984:7). Tanah tersebut adalah tanah pusaka yakni tanah yang digarap secara turun temurun, tanah yasa yakni tanah baru yang dibuka oleh sikêp. Tanah yasa inilah yang kemudian berkembang menjadi tanah milik perorangan. Tanah ketiga adalah tanah lanyah atau tanah desa, yakni tanah yang dikelola secara komunal.
Penulis: Muh Sidiq HM
Editor: Tori Nuariza