(IslamToday.id) — Sebelumnya telah kami sampaikan Aceh Darussalam pada masa kejayaannya menjadi jantung ilmu pengetahuan di Asia Tenggara. Urat nadi pendidikan dibangun mulai dari tingkat Gampong hingga bermuara pada masjid-masjid yang menjadi universitas yang menjadi pusat-pusat penyeduh ilmu pengetahuan.
Tingkatan pendidikan Islam di kesultanan Aceh Darussalam dimulai dari tingkatan meunasah, rangkang, dayah, dayah Tengku Cik, dan jami’ah atau universitas. Lantas bagaimana potret pendidikan itu disuguhkan hingga Islam mendarah daging dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara?
Baca: Menengok Sistem Pendidikan di Kesultanan Aceh Darussalam
Mula-mula, mari kita berkenalan lebih dekat dengan tingkat pendidikan yang paling dekat jangkauannya dengan masyarakat, Meunasah.
Meunasah merupakan jenjang pendidikan yang paling dasar. Meunasah merupakan satu bangunan yang terdapat di setiap gampong (kampung). Pada umumnya, meunasah dibangun ditengah-tengah gampong. Bentuknya seperti rumah, namun tetapi tidak mempunyai jendela. bangunan ini mejadi tempat sholat berjamaah bagi masyarakat gampong, sebab masjid didirikan di wilayah mukim.
Selain menjadi tempat sholat Pada perkembangannya, meunasah bukan hanya berfungsi sebagai tempat beribadat saja, melainkan juga sebagai tempat pendidikan, tempat pertemuan, berdiskusi dan membicarakan masalah-masalah kemasyarakatan. Pendek kata, meunasah menjadi ujung tombak tersampaikannya segala kebijakan pemerintah kepada lapisan masyrakat yang paling bawah, termasuk membangun masyarakat yang terdidik dan beradab.
Pendidikan dasar yang diselenggarakan di meunasah ini tidak mencampur antara anak laki-laki dan perempuan. Meunasah untuk anak laki-laki dipimpin oleh seorang Tengku Meunasah. Sedangkan, pendidikan untuk anak perempuan diberikan oleh tengku perempuan yang disebut Tengku lnong yang dilakukan di rumah sehingga ada pula sebutan Teungku Dirumoh. Dalam proses pendidikan itu teungku meunasah dibantu oleh beberapa orang muridnya yang lebih cerdas yang disebut sida (semacam asisten)
Tidak ada pembatasan tertentu tentang lama pendidikan di Meunasah. Pada umumnya pendidikan berlangsung selama dua sampai sepuluh (2-10) tahun. Prof. Dr. M. Dien Majid mengatakan bahwa para orang tua mulai menyerahkan anaknya untuk belajar pada teungku saat beranjak usia enam tahun.
Pengajaran di meunasah umumnya berlangsung malam hari. Materi pelajaran dimulai dengan membaca Al-Qur’an, kegiatan belajar Al-Quran ini yang dalam bahasa Aceh dikenal dengan istilah Beuet Qur’an. Anak-anak mulanya diajarkan mengajarkan huruf hijaiyah dengan metode mengeja huruf, kemudian merangkai huruf. Setelah itu diteruskan dengan membaca juz amma, sambil menghafalkan surat-surat pendek, lalu ditingkatkan kepada membaca Al-Qur’an besar dan belajar ilmu tajwidnya.
Selain belajar membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar, anak-anak diajarkan juga hal-hal pokok dalam Islam. Antara lain, agama seperti rukun Islam, rukun iman, aqidah, serta rukun rukun ibadah. Metode pembelajaran yang digunakan adalah halaqah. Ringkasnya, seorang teungku memberikan pengajaran dengan posisi duduk di tengah, sementara anak didik mengelilingi teungku. Metode lain yang diterapkan dalam penyampaian materi pelajaran adalah metode sorogan, yang umum dilaksanakan di pesantren yaitu anak didik belajar secara satu persatu di hadapan teungku.
Buku-buku pelajaran yang digunakan adalah buku-buku berbahasa Melayu. Buku-buku pelajaran yang diberikan di lembaga meunasah, bila melihat materi-materi yang diberikan antara lain; Kitab Bidayah al-Hidayah, Kitab Perukunan, Risalah Masail al-Muhtadin karya Syeikh Daud Rumi (Baba Daud) dan karya Syeikh Muhammad Zain Ibn Faqih Jalal al-Din.
Di samping mempelajari Al-Qur’an dan kitab-kitab tersebut, anak-anak juga dididik akhlaq, tata karma dan pantangan-pantangan dalam masyarakat Aceh. Misalnya, yang sudah menjadi adat kebiasaan, seperti larangan memegang kepala orang lain, larangan buang angin hingga terdengar orang lain terutama dalam majelis, mengeluarkan decak suara dari mulut saat makan bersama-sama, duduk di tangga dengan berselimut pada pagi hari, dan banyak lagi yang lainnya. Dengan kata lain pendidikan yang dilakukan oleh teungku, bukan semata mata transformasi pengetahuan tentang ajaran Islam, melainkan membina anak-anak menjadi insan beradab.
Keluhuran Teungku Menasah
Tiap tahun ajaran baru kita selalu dikejutkan dengan biaya masuk sekolah dan biaya semesteran yang nominalnya sangat fantastis. Hal ini terjadi mulai dari taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah hingga perguruan tinggi, termasuk institusi pendidikan Islam. Alhasil, yang tampak justru sebuah bisnis pendidikan.
Di sisi lain, iming-iming tunjangan profesi yang tinggi diakui atau tidak menjadi daya tarik sebagian kalangan untuk menjajaki profesi guru. Tidak heran jika fakultas-fakultas keguruan banyak diburu.
Alih-alih mendidik, para guru disibukkan dengan capaian jam mengajar dan berbagai strategi dan model pembelajaran untuk memenuhi syarat sertifikasi. Kenyataannya, yang terjadi bukan proses pendidikan, melainkan tranformasi pengetahuan yang diukur dengan angka-angka. Berbagai mata pelajaran dijejalkan, menuntut anak didik untuk ‘tuntas’ pada semua bidang. Roda pendidikan yang berjalan seolah memaksa kita menuruti nafsu keduniaan.
Kita tentu pernah mendengar orang-orang tua dahulu mengatakan bahwa menyekolahkan anaknya dengan agar menjadi ‘orang’, ‘dadi uwong’ dalam istilah Jawa. Pernyataan ini tentu selaras dengan perspektif Islam, bahwa memang Allah akan meninggikan derajat orang-orang beriman dan berilmu.
Akan tetapi, sistem pendidikan yang berorientasi pada nafsu keduniaan menyebabkan terjadinya penyempitan makna. Pendek kata, ‘Jadi Orang’ diartikan sebagai kaya, berpangkat, memiliki jabatan. Atau lebih sederhana lagi jadi orang adalah menjadi Ambtenar pada jaman kolonial atau dalam sitilah saat ini menjadi Aparatur Sipil Negara atau jika ini tidak tercapai maka paling tidak diartikan sebagai kaya harta. Alhasil tujuan pendidikan itu untuk memenuhi nafsu dunia.
Mari kita mengenal siapa Teungku Menasah dan dedikasinya dalam pendidikan. Mudah-mudahan mengetuk jiwa kita, agar kembali meletak pendidikan pada posisinya yang luhur, untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Pada masa Kesultanan Aceh Darussalam, untuk menjadi seorang teungku di gampong harus memenuhi sejumlah syarat. Syarat utama seorang teungku adalah mempunyai pengetahuan yang cukup tentang agama. Minimal ia lulusan rangkang atau dayah, paling tidak selama di Rangkang mereka belajar di rangkang telah mendapat bekal ilmu fikih, ilmu tauhid, akhlak, dan bahasa Arab. Mereka juga dibimbing membaca kitab tafsir, hadist, dan fikih yang berbahasa Arab, serta menterjemahkannya ke dalam bahasa Melayu.
Seorang Teungku adalah tokoh pemuka agama di gampong yang diharapkan dapat menjadi teladan bagi masyarakat. Oleh karena itu, juga harus alim dan ikhlas dalam beribadah kepada Allah SWT. Pendek kata menjadi teungku berarti menjadi seorang pejuang Islam. Bukan tanpa alasan, karena tengku tidak mendapat gaji atau upah dari masyarakat atas tugas-tugas yang dilakukannya. Ia sekedar menerima hadiah yang tidak rutin, sekedar cukup untuk makan.
Padahal, disamping mengajar anak-anak, dan menjadi tempat bertanya masyarakat tentang agama, Teungku meunasah juga menjalankan tugas kemasyarakatan, seperti menjadi imam shalat, mengurus jenazah, memimpin do’a pada kenduri-kenduri di wilayahnya, mengurus masalah pernikahan, mengurus kegiatan-kegiatan bulan ramadhan, seperti mempersiapkan berbuka puasa bersama di meunasah, memberikan nasehat kepada masyarakat. Eksistensi Teungku Meunasah, sangat penting bahkan laksana samudera ilmu bagi masyarakat.
Dengan kata lain pendidikan yang dilakukan oleh teungku, bukan semata mata transformasi pengetahuan tentang ajaran Islam, melainkan membina anak-anak dan masyarakat gampong menjadi insan beradab.
Oleh karena itu, keberadaan meunasah sebagai lembaga pendidikan tingkat dasar sangat berarti bagi masyarakat Aceh. Tidak mengherankan jika semua orang tua memasukkan anaknya ke meunasah. Dapat dikatakan, bahwa semua anak Aceh waktu itu tidak ada yang tidak mengecap pendidikan meunasah ini.
Di situ pula, awal kesadaran Islam itu disemai dalam jiwa manusia sejak dini. Maka tidak mengherankan apabila orang Aceh memiliki semangat yang tinggi dalam menjaga martabat agama dan negeri.
Sekali lagi, berbeda dengan sekolah-sekolah yang membandrol pendidikan dengan harga tinggi, atau guru-guru yang bermandikan rupiah dari tunjangan sertifikasi, Teungku Meunasoh tidak digaji. Mereka memaknai bahwa guru memiliki tugas dan tanggung jawab berat sekaligus mulia. Bukan semata-mata berorientasi pada transformasi ilmu, melainkan membina masyrakat.
Penulis: Arief Setiyanto
Editor: Tori Nuariza