(IslamToday.id) — Pada masa abad Imperium, Selat Malaka yang terletak di sebelah timur Sumatera telah tumbuh sebagai urat nadi lalu lintas laut antara laut India dan Cina. Beberapa kerajaan besar yang berada di kawasan semenanjung Malaka ini salah satunya adalah Samudra Pasai. Terletak di pintu masuk jalur perdagangan yang berada diwilayah utara, Samudra Pasai mampu tumbuh menjadi penguasa imperium di kawasan itu hingga puncaknya adalah ketika Sultan Malik Az-Zahir mampu menjadikan Aceh sebagai pusat lalu-lintas perdagangan dan penyebaran agama Islam. Pangaruh Samudra Pasai ini kemudian juga melatar belakangi tumbuhnya kesultanan-kesultanan baru di kawasan pesisir Sumatra salah satunya yang terbesar adalah Kesultanan Malaka.
Kesultanan Malaka, yang memiliki letak strategis di ujung lintasan perairan tersebut, pada masa pemerintahan Sultan Muzaffar Syah (1445-1459) juga berhasil memperoleh puncak kejayaannya. Hal ini tak lain karena Kesultanan Malaka mampu menjadikan daerahnya untuk menjadi bandar perniagaan antara rempah-rempah asal Maluku menuju perdagangan internasional ke wilayah China dan India hingga Arab dan Eropa. Besarnya aktifitas perdagangan internasinal pada masa ini, bahkan mampu mengungguli bandar-bandar Pasai yang sebelumnya banyak terlibat peperangan dengan Majapahit.
Dengan meningkatnya pendapatan Malaka dari sektor perdagangan tersebut, maka secara otomatis kesejahteraan rakyat meningkat dan raja bisa membangun armada yang kuat. Tercatat, hingga penghujung abad ke- 15, Kesultanan Malaka sudah menguasai wilayah Manjong, Selangor, Batu Pahat, Kampar dan Indragiri (sekarang wilayah Malaysia dan Riau). Itu artinya kerajaan ini telah berhasil mengapit dua sisi jalur maritim internasional. Kejayaan Kesultanan Malaka terus berlanjut hingga pada awal abad XVI, kedatangan Portugis mampu mengambil alih kekuasaan di Malaka.
Setelah Portugis berhasil menduduki Goa pada tahun 1510, membuat Portugis semakin percaya diri meluaskan pengaruhnya ke Timur. Alfonso d’Albuquerque mendengar dari seorang pedagang Portugis bahwa Malaka adalah bandar dagang ramai. Sang pedagang ini juga menceritakan bahwa dirinya diberikan cinderamata indah dari Raja Malaka. Setelah mendengar keterangan itu, Alfonso pun tergerak untuk menyiapkan pelayaran selanjutnya untuk menguasai Malaka. Namun keinginannya tersebut sempat terganjal dengan keberadaan Samudra Pasai. Sebagai bangsa yang selalu membawa semangat perang salib dan Pasai sebagai kerajaan Islam yang besar, dianggap bisa sebagai batu sandungan dalam usahanya menguasai Malaka. Namun akhirnya keraguan Portugis hilang setelah mengetahui bahwa Pasai sudah tidak sekuat dahulu, hal ini dikarenakan Pasai sebagai kerajaan di pintu masuk selat sebelah utara, tengah dirong-rong oleh perang saudara memperebutkan mahkota kerajaan. Tiap kali seorang raja meninggal dunia, ahli waris yang banyak jumlahnya, saling mengangkat senjata untuk dapat menjadi raja. Perang saudara seringkali menimbulkan intervensi kekuasaan asing.
Akhirnya dengan memanfaatkan kelemahan Pasai, armada laut Portugis dengan mudah mampu menembus selat malaka dan berhasil menguasai wilayah Kesultanan Malaka pada tahun 1511. Perlawanan yang dilakukan oleh Sultan Malaka Mahmuhsyah tidak berjalan lama, sehingga dirinya terpaksa meninggalkan wilayah kerajaan menuju wilayah Kampar. Tidak lama berada di wilayah kampar, Sultan Mahmudsyah kemudian berpindah lagi ke daerah Pahang dan tak lama kemudian menyingkir kembali ke daerah pinggiran sungai di wilayah Johor, selanjutnya ia menetapkan hatinya dan mulai mendirikan Kesultanan Johor untuk menggantikan Kesultanan Malaka yang pernah ia pimpin.
Kejatuhan dan penguasaan Malaka oleh Portugis, selain dianggap sebagai usaha penguasaan perdagangan internasional oleh orang-orang Barat juga dianggap sebagai melemahnya kekuasaan Islam atas wilayah utama jalur dakwah. Hal ini didasari dengan fakta yang ada, bahwa penguasaan Portugis selalu dibarengi dengan penyebaran agama Kristen dan semangat memusuhi bangsa Moor (orang Islam) diseluruh dunia. Oleh karena itu, berbagai usaha kerajaan-kerajaan Islam selalu menjadikan pengusiran Portugis dari wilayah Malaka sebagai tujuan yang utama. Aceh Darussalam adalah salah satu kerajaan Islam yang selalu menjadikan usaha pengusiran Portugis sebagai agenda besar yang dilakukan oleh generasi ke generasi.
Sejarah usaha pengusiran Portugis yang dilakukan oleh Aceh dimulai dari lahirnya generasi kerajaan setelah Samudra Pasai pada awal abad XVI. Hampir bersamaan dengan peristiwa jatuhnya Malaka ke tangan Portugis, di wilayah Aceh sedang terjadi awal perubahan besar terhadap arah perpolitikan. Adalah Sultan Ali Mughayat Syah berhasil dilantik sebagai Raja dan mendeklarasikan Kesultanan Aceh Darussalam. Banyak yang berselisih pendapat tentang sejak kapan Sultan Ali Mughayat Syah resmi memerintah Aceh. Namun secara garis besar banyak yang menyatakan tahun 1514, setelah pelantikannya sebagai Sultan, maka beliau menjadikan perebutan Malaka dari tangan Portugis sebagai salah satu kebijakan internasional terpenting.
Selanjutnya, Sultan Ali Mughayat berhasil memanfaatkan keengganan para pedagang internasional yang biasa menggunakan bandar Malaka sebagai tempat berlabuh untuk ditarik singgah dan berteransaksi diwilayah pelabuhan-pelabuhan Aceh Darussalam. Hal ini tentu membuat Portugis tak serta merta dapat menguasai perdagangan di wilayah perairan Malaka secara mutlak.
Mengetahui hal itu, Portugis mulai secara aktif membangun komunikasi dengan kerajaan-kerajaan Melayu lainnya untuk memperkuat reputasi di hadapan para penguasa Melayu. Tercatat beberapa kerajaan menjadi sekutu Potugis, di antaranya adalah Daya, Pedir dan Pasai Terjadi kerjasama yang menguntungkan di antara mereka, baik di bidang politik maupun ekonomi. Para raja Melayu agaknya sudah menyadari bahwa Aceh berencana menjadi yang terdepan di kalangan penguasa Sumatera dan dunia Melayu. Oleh sebab itu, mereka menjalin aliansi dengan kekuatan lain yang dianggap sepadan dengan Aceh.
Dari beberapa catatan, Aceh Darussalam memulai usaha perluasan secara serius pada tahun 1520. Dimulai dari wilayah Daya, yang berada di wilayah Barat laut. Kemudian berturut-turut hingga tahun 1524, menyerang Pasai, Aru, Perlak, Tamiang dan Lamuri. Berbagai penaklukan wilayah-wilayah itu juga secara otomatis mengusir keberadaan Portugis yang sebelumnya telah menjalin kerjasama dengan penguasa wilayah tersebut.
Pada tahun 1537 Sultan Ali Riayat Syah AI Qahhar dilantik menjadi Sultan. Dua tahun berselang salah satu daerah kekuasan Aceh Darussalam dengan hasutan Portugis mulai berani berusaha memisahkan diri, salah satunya adalah kerajaan Aru. Menyikapi hal itu, sebuah ekspedisi perang dikirimkan untuk memberi pelajaran kepada Raja Aru agar menjauhi orang Eropa itu. Sesampainya di sana, segera terjadi pertempuran. Pihak Aru sama sekali tidak menginginkan kedatangan Aceh di negerinya. Beberapa waktu kemudian, datang bala bantuan dari Johor. Johor memandang Aru adalah masih kerabatnya, serangan atasnya, berarti serangan atas dirinya pula. Bantuan ini membuat pasukan Aceh tertahan dan mengundurkan diri. Ini merupakan awal pertemuan Aceh dan Johor.
Pada tahun 1547 timbul usaha Aceh untuk mengakhiri kuasa Portugis di Malaka. Setelah pasukan siaga, diberangkatkanlah mereka langsung ke jantung pertahanan Portugis di benteng Malaka. Pasukan lawan yang sudah mengetahui, sudah siap menyongsong serangan Aceh. Perang pun pecah dengan sengitnya. Pasukan Aceh menggempur dan mendorong mundur lawannya. Pada edisi kali ini, pasukan Aceh segera mengambil alih keadaan. Pasukan lawan dibuat bertahan di dalam bentengnya, bahkan sempat muncul kabar bahwa Portugis tidak lagi ingin melanjutkan pertempuran. Mengetahui musuhnya terdesak, pasukan Aceh pun memasang barikade pengepungan untuk semakin menyudutkan lawannya. Saat itu begitu sulit bagi Portugis, hingga bayang- bayang kekalahan sudah amat dekat di depan mata.
Tanpa diketahui Aceh, dari tempat yang luput dari pengawasan, datang bantuan logistik ke dalam benteng Portugis. Bantuan itu diberikan oleh Johor, Perak dan Pahang. Setelah pasukan Portugis mendapat asupan makanan dan senjata yang cukup, mereka pun bersiap kembali menyongsong lawan di depan pintu benteng. Dari arah laut, kapal-kapal kerajaan Melayu menerjang dan menyerang armada Aceh. Kali ini Aceh terpaksa harus mundur dan membiarkan Portugis tetap menguasai Malaka.
Dengan gagalnya penyerangan yang pertama, maka Sultan AL Qahhar memanfaatkan hubungan baiknya dengan pusat pemerintahan Islam di Turki. Dengan adanya hubungan tersebut Aceh mendapatkan bantuan 40 orang perwira/tentara ahli barisan meriam (artileri) dan kuda (kavaleri). Serangan kedua ke wilayah jantung kekuasaan Malaka kembali dilancarkan pada tahun 1568, namun kembali Aceh belum bisa meruntuhkan Portugis yang berhasil memanfaatkan benteng-benteng tangguh mereka.
Setelah beberapa pertempuran besar yang belum mampu mengalahkan Portugis, masih terjadi beberapa bentroan kecil yaitu pada tahun 1573, 1575, 1582, 1587 dan 1606. Beberapa bentrokan kecil itu terjadi karena Aceh dan Portugis secara militer sama kuat dan tidak bisa saling mengalahkan. Aceh menguasai wilayah barat perairan Selat Malaka dan Portugis menguasai bagian wilayah Timur.
Usaha berbeda ditempuh oleh Kesultanan Aceh Darussalam sejak naiknya Sultan Iskandar Muda sebagai raja. Sultan Iskandar Muda merupakan sosok raja yang visioner. Ia percaya bahwa besarnya suatu kerajaan amat ditentukan sejauh dan sedalam mana pengaruhnya atas negeri-negeri lain. Untuk itu, kebijakan awal yang ditempuh adalah dengan menata ulang armada perang Aceh. Angkatan perang Iskandar Muda terdiri dari angkatan laut, angkatan darat, kavaleri, pasukan gajah dan grup meriam.
Berbeda dengan pendahulunya yang langsung menyerang ke Malaka, Iskandar Muda lebih memilih untuk menyisir wilayah-wilayah yang bersinggungan erat dengan Portugis untuk dikuasai. Hal ini bertujuan agar keberadaan Portugis tidak dapat bergerak sebebas biasanya. Berbekal bala pasukan yang kuat, ia menyambangi dan memberi perhitungan kepada mereka yang menolak untuk diajak berdamai dan bersama melawan Portugis. Nuruddin ar-Raniri dalam Bustanussalatin menyebut beberapa di antara negeri Melayu yang ditaklukkan seperti Deli, Johor, Bintan, Pahang, Kedah, Nias dan bahkan Iskandar Muda.
Portugis memiliki keinginan untuk mencegat setiap kapal Aceh yang mau melewati perairan kawasan Malaka. Namun yang terjadi justru sebaliknya, karena jumlah armada Portugia tidak terlalu banyak, patroli di wilayah perairan tidak bisa secara penuh dilakukan selama 24 jam. Justru Acehlah yang mampu mencuri beberapa kesempatan untuk menenggelamkan kapal-kapal Portugis yang lengah dan masuk dalam jangkauan tembak meriam-meriam Aceh yang disiagakan di sepanjang pesisir barat perairan Malaka.
Penulis: Muh Sidiq HM
Editor: Tori Nuariza
Sumber
Johan Wahyudi. Model Diplomasi Kuno di Nusantara: Kasus Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI – XVII. Buletin Al-Turas Vol. XXIII No.1, Januari 2017
Said, Mohammad..Aceh Sepanjang Abad. 1981Medan: Waspada
Sartono Kartodirdjo. Pengantar Indonesia baru 1500-1900. Dari Emporium Sampai Imperium. 1993. Gramedia: Jakarta