(IslamToday.id) — Hingga kini dalam sensus di Pulau Jawa, tercatat lebih dari 80% penduduknya beragama Islam. Tentu hal ini sulit dibayangkan apabila kita menegok sejarah betapa Jawa ini dahulunya merupakan tempat berkuasanya kerajaan-kerajaan besar berhaluan Hindu-Budha. Sebut saja Kerajaan Majapahit dan Padjajaran dua kerajaan yang termahsyur dan konon wilayah kekuasaannya hampir meliputi seluruh kawasan Nusantara.
Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan tersendiri, bagaimana Islam didakwahkan, bagaimana kemampuan intektual yang dimiliki para juru dakwahnya, bagaimana gaya hidupnya sehingga mampu mengilhami generasi-generasi selanjutnya. Adalah keberadaan Walisongo yang dinilai para sejarawan telah memberikan dampak signifikan dalam akselerasi penyebaran agama Islam di Tanah Jawa. Walaupun pada periode-periode sebelumnya telah ada gerakan Islamisasi yang dilakukan, namun pada masa dakwah Walisongo inilah yang dianggap paling sukses hingga mampu mendirikan pemerintahan Islam dari generasi ke generasi.
Keberhasilan dakwah pada era Walisongo, tentu tak mungkin lepas dari beberapa faktor yang menjadi pendukung atas kesuksesan dakwah yang dibangun. Beberapa faktor tersebut antara lain:
Pertama, faktor pribadi anggota Walisongo. Sebagai juru dakwah yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, maka faktor kepribadian dari masing-masing Wali menjadi faktor krusial. Islam merupakan sebuah kebenaran hidup, oleh karena itu akhlak pembawa risalah Islam menjadi cerminan atas nilai apa yang mereka bawa. Disinilah para wali mampu hadir ditengah masyarakat sebagai sosok yang teduh, berahlak mulia dan sangat dicintai oleh siapapun yang sempat berinteraksi. Selain itu, kepiawaian dan pendalaman ilmu keIslaman yang mereka miliki terpancar dalam laku hidup sehari-hari di tengah masyarakat Jawa. Oleh karena itu, banyak para peneliti bahkan mengungkapkan bahwa keberadaan Walisongo ditengah komunitas kehidupan masyarakat Jawa yang dikenal sangat berpandangan spiritualis, menganggap para wali adalah sosok-sosok manusia suci yang hadir dalam kehidupan nyata.
Selain akhlak mulia yang dimiliki, Para wali sebagai pribadi juga merupakan orang-orang dengan kemampuan intelektual dan ekonomi yang bagus. Dari segi ekonomi, para wali pada umumnya hidup berkecukupan karena latar belakang mereka sebagai pedagang. Para Wali pada generasi awal mayoritas berasal dari Timur Tengah adalah sebagai utusan dari Sultan yang dijamin keperluan hidupnya dengan gaji yang cukup. Bahkan kehadiran mereka justru bisa membantu menggerakkan ekonomi masyarakat sekitar. Sedangkan para Wali yang dari kalangan asli Tanah jawa, mereka mayoritas adalah keturunan bangsawan. Oleh karena itu masalah finansial tentu tidak menjadi kendala. Sebut saja seperti Sunan Kalijaga beliau adalah salah satu keturunan Bupati Tuban, di sisi lain ada pula Sunan Giri yang secara ekonomi merupakan pewaris dari seorang tokoh pengusaha besar di jamannya yaitu Nyai Ageng Pinatih. Namun demikian, dengan berbagai kekuatan ekonomi itu, lantas tidak membuat para wali tampil sebagai sosok yang metropolis, sebaliknya mereka tampil sebagai sosok yang zuhud, menyatu dengan masyarakat dan kekuatan ekonomi tersebut justru digunakan seluruhnya untuk kepentingan dakwah yang mereka lakukan.
Setelah akhlak dan latar belakang ekonomi, dalam diri para wali juga ditunjang dengan tingkat intelegensia yang tinggi. Sebagai seorang juru dakwah, mereka dapat dikelompokkan dalam tingkatan manusia dengan level jenius, dimana sebagai sosok pribadi mereka selain memiliki tingkat kognitifitas dalam bidang ilmu agama, para wali juga merupakan seorang ahli atau pakar di bidangnya masing-masing. Sebagai contoh adalah Sunan Giri, selain faqih dalam ilmu agama, beliau juga sangat cakap dalam ilmu di bidang kepemerintahan, sehingga hampir seluruh pangeran majapahit atau calon-calon penguasa di kerajaan Nusantara pernah berguru kepadanya. Di sisi lain adalah Sunan Kudus, ia adalah seorang panglima pasukan yang mumpuni, seingga beliau sering diangkat sebagai Senopati Manggoloyudho dalam ekspedisi militer yang dilakukan oleh Kesultanan Demak. Dengan faktor pertama inilah, maka jalan dakwah Walisongo mampu di kelola dengan mensinergikan masing-masing kekuatan yang dimiliki para Wali hingga puncaknya adalah memperoleh keberhasilan dakwah yang sangat pesat.
Faktor kedua, adalah Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin. Dalam alam pikir masyarakat Jawa sebelum kedatangan Islam. Mayoritas mereka adalah penganut kepercayaan terhadap roh-roh leluhur dan agama Hindu Budha. Dalam kosmologi agama mereka, sering dijumpai diskriminasi tentang keberadaan status sosial yang berupa kasta. Hal ini tentu berbanding terbalik dengan konsep keimanan yang dibawa oleh Islam. Islam sebagai agama yang baru di masyarakat pada waktu itu, hadir dalam bentuk hikmah yang sangat luar biasa. Selain tercermin dalam laku para pemeluknya, Islam juga memberikan opsi baru bagi masyarakat Jawa tentang sebuah ajaran monoteisme serta wujud tatanan masyarakat yang berbasis ketundukan mutlak terhadap satu-satunya penguasa didunia yaitu Allah SWT.
Ajaran Islam merupakan ajaran yang bersifat simpel, mudah, murah serta jauh dari kerumitan dan kemewahan. Islam juga merupakan sebuah agama dengan konsep yang egaliter, tidak ada pembagian kasta. Satu-satunya penentu derajat seorang hamba di hadapan Tuhannya adalah ketaqwaan yang mereka lakukan, bukan karena harta, juga bukan karena faktor garis keturunan. Seorang budak bisa jadi lebih mulia dari tuannya jika ia mampu beribadah lebih giat. Harta yang berlimpah akan menjadi pemberat langkah menuju surga jika tak digunakan untuk menyantuni mereka yang lemah. Tolong menolong adalah kewajiban, dicelalah bagi umat muslim yang memiliki sifat egois dan ekskulsif. Demikianlah konsep-konsep Ilahiah yang dapat ditemukan masyarakat Jawa dari agama Islam yang tidak pernah mereka temui dalam kepercayaan mereka sebelumnya.
Faktor lain adalah kondisi sosial politik Majapahit yang kian menurun. Majapahit berangsur-agsur mengalami penurunan, sejak terjadinya polemik suksesi kepemimpinan yang berlangsung panjang, adapun Perang Paregreg adalah salah satu yang dianggap paling menjadi penyebabnya. Menurut Agus Sunyoto dalam Atlas Walisongo, sejak pecah Perang Paregreg pada awal abad XV (1401-1405), armada laut yang pernah mengalami masa kejayaan telah lumpuh dan tidak mampu lagi digerakkan ke wilayah-wilayah jauh di luar Jawa. Faktor utama dari mandegnya eskpedisi jarak jauh tersebut tak lain dikarenakan sumber daya keuangan negara telah jatuh dalam keadaan yang menghkawatirkan, sedangkan perwira-perwira terbaik terfokus pada perang lokal. Dalam keadaan yang tidak terkontrol, tersebut lama-kelamaan wilayah jauh dari Majapahit berserpihan menjadi kadipaten-kadipaten kecil yang mandiri. Bahkan wilayah Palembang sempat dikuasai bajak laut China, walaupun mampu direbut kembali dibawah kepemimpinan Arya Damar.
Sementara itu, Kehidupan sosial religi di Majapahit pasca kemunduran kerajaan menunjukkan sebuah perubahan yang signifikan. Kehidupan dan kemakmuran yang dimiliki oleh para keluarga kerajaan sama sekali tidak dirasakan oleh lapisan masyarakat bawah. Sebagai gambaran, bila keluarga kerajaan bisa mengenakan pakaian yang baik, maka rakyat di pedesaan hampir semua tidak berpakaian. Apabila para bangsawan mampu makan dengan menu yang selalu berganti sesuai selera, maka belum tentu rakyat bisa makan rutin dua kali sehari. Faktor inilah yang mendorong masyarakat mencari alternatif lain di luar hegemoni Majapahit yang terus mengalami kemerosotan. Alhasil, Islam mampu tampil sebagai pembawa solusi.
Bagi masyaraat kelas menengah, Islam tampail dalam bentuk progresifitas mereka dalam hal hubungan internasional dalam jalur perdagangan. Bagi kaum pemikir Islam mampu tampil sebagai solusi kejumudan pengelolaan tatanegara yang dirasa tidak mampu lagi menghasilkan kemakmuran bagi rakyatnya. Terbukti setiap hadirnya juru dakwah ke Majapahit, selalu mendapat sambutan terbuka dari Raja karena memang apa yang mereka kerjakan mampu membawa perubahan yang berarti ditengah masyarakat. Sebagai contoh adalah kehadiran Sunan Gresik, yang tak hanya mampu memberi pengajaran pada masyarakat dan para pangeran, beliau juga mampu mengatasi kekeringan dan meningkatkan hasil panen di kawasan Majapahit.
Tiga faktor inilah yang dahulu menjadi modal utama bagi keberhasilan dakwah Walisongo. Kiranya saat ini perlu kita jadikan contoh bagi proses pengembangan dakwah Islam kedepan. Asas-asas progresifitas (kemajuan) dan empowerment (pemberdayaan) yang dibalut dengan sinergisitas antar lini perlu dibangun dan didasari oleh pribadi yang kokoh. Sehingga akan diperolah gerak dakwah yang simultan (serentak) dan melahirkan tokoh-tokoh utama pembangun peradaban.
Penulis: Muh Sidiq HM
Editor: Tori Nuariza
Sumber:
Agus Sunyoto. 2016. Atlas Walisongo. Tangerang Selatan:Pustaka IIIMaN
Rachmad Abdullah. 2015. Walisongo, Gelora dakwah dan Jihad Di Tanah Jawa (1404 – 1482M). Sukoharjo: Al Wafi
Zainal Abidin bin Syamsuddin. 2018. Fakta Baru Waligongo. Jakarta: Pustaka Imam Bonjol