(IslamToday ID) — Sebelum menetap di Giri Kedaton, Gresik, Sunan Giri pada masa muda telah melakukan perjalanan keilmuan bersama Sunan Bonang ke wilayah Pasai. Keduanya berguru pada Maulana Ishaq ayah kandung dari Sunan Giri atau waktu itu masih dipanggil dengan nama Raden Paku. Selama proses belajar di Pasai, Raden Paku menunjukkan prestasi yang luar biasa. Tak hanya disegani sesama santri dan masyarakat, namun para ulama sebagai gurunya juga mengakui kelebihan-kelebihan Raden Paku, sehingga di Pasai dirinya dianugerahi gelar Maulana ‘Ainul Yaqin.
Setelah kurang lebih tiga tahun, Makdum Ibrahim dan Raden Paku berguru di Pasai, maka ilmu yang diberikan oleh beberapa guru terutama Maulana Ishaq dirasa telah cukup. Maka keduanya diperintahkan untuk kembali ke Jawa. Adapun secara khusus, Raden Paku diberikan segenggam tanah oleh ayanya dengan pesan agar sesampainya di Jawa, Raden Paku bisa mendirikan pesantrennya di tempat yang memiliki tanah yang serupa.
Sesampainya di Jawa, Maulana Makdum Ibrahim memutuskan untuk berhenti di wilayah Tuban. Selanjutnya beliau memulai dakwahnya dari sana hingga kelak dirinya dianugerahi sebutan Sunan Bonang. Sedangkan Raden Paku terus melanjutkan perjalanan menuju Gresik. Dengan berbekal segumpal tanah yang diberikan oleh ayahandanya, Maulana ‘Ainul Yaqin berkelana untuk mencari dimana letak tanah yang sama dengan tanah yang diberikan oleh ayahanya. Dengan bertafakkur dan meminta petunjuk dari Allah SWT maka ditemukanlah tempat yang memiliki kecocokan dengan tanah pemberian Syekh Maulana Ishaq. Tempat tersebut letaknya berda di sebuah perbukitan.
Kawasan itulah yang kemudian oleh Raden Paku dibuka untuk mendirikan sebuah pesantren. Lokasi ini tepatnya berada di wilayah sebuah perbukitan di Desa Sidomukti, Kebomas, Gresik. Pesantren ini oleh Raden Paku diberi nama Giri. Menurut catatan, pesantren ini merupakan pondok pesantren pertama yang ada di kota Gresik. Dalam bahasa Jawa, giri berarti gunung. Sejak itulah, Raden Paku dikenal masyarakat dengan sebutan Sunan Giri.
Dari keberadaan pesantren inilah, kemudian dakwah yang dilakukan Sunan Giri dengan cepat meluas. Jumlah santrinya berjumlah ribuan orang yang berasal tak hanya dari Jawa, melainkan dari seluruh kawasan Nusantara baik dari Sumatra hingga kepulauan Maluku. Dalam mengajarkan berbagai ilmu agama, Sunan Giri juga tidaklah sendirian, namun juga dibantu beberapa murid atau bahkan mendatangkan para ulama asal Pasai, Minang dan daerah-daerah lainnya. Mengetahui betapa dalamnya ilmu yang dimiliki oleh Guru Besarnya, maka para santri maupun rekan-rekan ulama lainnya sering menjuluki Sunan Giri dengan sebutan Sultan Abdul Faqih.
Di masa berdirinya Kesultanan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Tanah Jawa, Sunan giri juga memiliki peran dan andil yang sangat besar. Salah satu peran besar yang beliau lakukan adalah menyusun Angger-Angger Suryangalam sebagai sebuah buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ataupun Hukum Perdata bagi Kesultanan Demak. Sementara itu, dalam majelis para Wali, Sunan Giri juga pernah ditunjuk sebagai pemimpin menggantikan Sunan Ampel yang telah wafat.
Solichin Salam dalam bukunya Sekitar Walisanga, mengisahkan, bahwa ketika wafatnya Sunan Ampel sebagai mufti dan sesepuh wali di Jawa. timbul permasalahan baru setelah pembangunan Masjid Demak. Hal ini disebabkan oleh kaum “putihan” diwakili Sunan Giri dan kaum “Tubanan” diwakili Sunan Kalijaga. Kelompok Putihan dituduh oleh kaum Tubanan sebagai orang yang kurang bijaksana dalam menjalankan dakwah Islam, karena dikenal tidak mau berkompromi dalam usaha dakwahnya, tetapi di dalam mengatasi masalah Majapahit adalah hal yang lain lagi.
Kelompok Tuban agak bersikap keras dalam menghadapi Majapahit, namun sebaliknya dengan Giri yang terkesan lebih lunak, berhati-hati dan tidak tergesa-gesa. Dengan begini maka aliran Tuban menuduh lagi terhadap pribadi Sunan Giri dan Sunan Ampel sebagai berkompromi dengan Majapahit, karena memang nyatanya Sunan Ampel dan Sunan Giri dianggap sebagai pembesar kerajaan oleh Majapahit sendiri. Karena alasan itulah mereka disebut sebagai kaum feodal oleh aliran Tubanan.
Lepas dari itu semua, nyatanya Sunan Ampel dan Sunan Giri berhasil dalam menjalankan siasat, yaitu bahwa orang-orang kerajaan dan orang-orang istana termasuk para pembesar-pembesar kerajaan dan keluarga istana telah banyak memeluk agama Islam. Bahkan raja Kertabhumi (Brawijaya ke- V) sendiri dengan sembunyi-sembunyi masuk Islam. Sampailah saat Sunan Ampel Wafat, tahun 1487 M, perlu diketahui bahwa Sunan Ampel adalah ketua para wali, dan sebagai penasehat Pangeran Bintoro Demak, atau penasehat bagian politik Demak. Setelah Sunan Ampel Wafat, maka dalam segi-segi politik, di samping sunan Giri sebagai sesepuh yang selalu dimintai pertimbangannya.
Suatu ketika saat para wali sedang mengadakan rutinitas. Kebetulan ada acara mengganti kedudukan Sunan Ampel sebagai ketua para wali di Jawa karena Sunan Ampel baru wafat. Di dalam permusyawaratan itu para wali membicarakan pula masalah Majapahit dan taktik Demak. Namun sebelum Sunan Giri datang ke Demak, para wali yang mendukung aliran Tubanan telah bermusyawarah terlebih dahulu, untuk menentukan sikap, sebagai persiapan untuk menghadapi Sunan Giri nanti. Dan keputusan telah disepakatati, yaitu tidak ada gunanya sama sekali bila perbedaan pendapat yang menjadikan pertentangan berlarut-larut diteruskan. Sebab tujuan kedua belah pihak sama. Yaitu untuk kepentingan dakwah dan syiar Islam.
Maka harus ada pihak yang bertugas mendekati kerajaan dan harus ada yang mempersiapkan mental rakyat untuk menghadapi segala kemungkinan yang terjadi dan bersedia menyokong cita-cita Demak dalam menyiarkan agama Islam. Sedikit perbedaan mengenai politik demak ini pun menjadi masalah yang perlu kiranya untuk diselesaikan, maka untuk menyelesaikan perbedaan pendapat yang berlarut-larut, Sunan Kalijaga mengusulkan pada majelis musyawarah dari aliran Tuban itu, agar Sunan Giri diangkat untuk menggantikan kedudukan Sunan Ampel, juga sebagai kepala dan penghulu dari sekian wali dan sebagai mufti, pemimpin agama Islam di seluruh Jawa, ujar sunan Kalijaga. Dengan hasil akhir majelis menyetujui usulan Sunan Kalijaga tersebut.
Selepas itu Sunan Giri pun sampai di Demak. Permusyawaratan dari sekian wali dimulai dengan santai tetapi serius. Usulan Sunan Kalijaga itu pun di ajukan kepada yang hadir di sidang para wali. Para wali menerima dengan keputusan bulat. Sunan Giri pun menerima keputusan musyawarah.
“Dengan demikian maka kanjeng Sunan kita percayakan untuk memimpin kita dalam bidang keagamaan, sebagai mufti dan sebagai penghulu dari kita sekalian. Hal itu semua telah kita sepakati. Namun kami akan mengusulkan satu lagi, yaitu kanjeng sunan hendaknya diberi gelar Prabhu Satmata, sesuai dengan kedudukan beliau,” demikian ujar Sunan Kalijaga.
Peserta sidang menyetujui dengan suara bulat lagi dan Sunan Giri menerima dengan baik. Maka dengan ini selesai perkara yang selama ini menjadi masalah antara kaum Putihan dan kaum Tubanan. Mulai saat itu pula Sunan Giri secara resmi menjadi pemimpin majelis Walisanga.
Penulis: Muh Sidiq
Editor: Tori Nuariza
Sumber:
Agus Sunyoto. 2016. Atlas Walisongo. Tangerang Selatan:Pustaka IIIMaN
Solichin Salam. 1989. Sekitar Walisongo. Kudus : Menara Kudus
Umar Hasyim. 1978. Sunan Giri dan Pemerintahan Giri Kedhaton . Kudus :Menara Kudus