JAKARTA, (IslamToday ID) – Sekretaris Umum (Sekum) Komisi Fatwa MUI,
Asrorun Niam Sholeh menegaskan hukum menutup aurat bagi laki-laki dan perempuan adalah
wajib. Sarana untuk menutup aurat pun beragam.
“Islam mewajibkan
setiap muslim untuk menutup aurat, aurat laki-laki dan perempuan berbeda, jadi
yang diperintahkan adalah menutup aurat,” kata Asrorun, Rabu (22/1/2020).
Namun, lanjutnya, tata cara menutup aurat tersebut bisa beragam modelnya, salah satunya
dengan menggunakan pakaian. Dengan demikian, pakaian itu pada hakikatnya adalah
sarana untuk menutup aurat.
“Apabila kewajiban
menutup aurat itu tidak dapat dilaksanakan kecuali dengan menggunakan sarana
penggunaan pakaian, maka pakaian yang menjadi sarana menutup aurat tadi
hukumnya menjadi wajib,” terangnya.
Yang dimaksud pakaian pun, lanjut Asrorun,
beragam jenisnya. Bisa sarung, celana, jubah, jilbab, ataupun kerudung. Apapun
itu, intinya adalah menutup
aurat.
“Jadi intinya bukan
persoalan pakaian, mau pakai sarung,
celana, jubah, mau pakai kerudung, jilbab, intinya adalah menutup aurat. Yang
diwajibkan adalah menutup aurat. Pakai pakaian itu tidak wajib, tapi kalau
pakai pakaian itu sebagai sarana menutup aurat dan kalau tidak menggunakan
sarana itu enggak bisa melaksanakan kewajiban, maka sarana itu menjadi wajib,” jelasnya.
Dan aurat bagi perempuan adalah seluruh tubuh, kecuali muka dan
telapak tangan. Maka yang menjadi persoalan bukanlah berjilbab atau tidak, tapi
harus menutup aurat.
“Bisa saja orang
jilbaban tidak menutup aurat, atau sebaliknya, enggak jilbaban menutup aurat bisa nggak? Ya bisa,
menggunakan sarung, menggunakan apa (saja) yang bisa menutup aurat. Kuncinya
itu yang harus dipahami,” paparnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Lembaga Bathsul Masail (LBM)
PBNU Abdul Muqsith Gazali mengatakan cara perempuan menutup aurat berbeda-beda. Jilbab
merupakan salah satu cara perempuan tersebut menutup auratnya.
“Yang diperintahkan
oleh Alquran itu untuk menutup aurat, pakaian yang dipakai oleh kaum perempuan muslimah kan
bisa beda-beda. Poinnya yang penting menutup aurat,” katanya.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah An-Nur ayat 31 yang
berbunyi Walaa yubdiina
ziinatahunna illa maa dhoharominhaa, yang artinya “Dan janganlah menampakkan perhiasannya
(auratnya) kecuali yang (biasa) terlihat.”
“Jadi perempuan harus
menutup auratnya kecuali yang boleh dibuka, sesuatu yang tampak pada diri
perempuan. Nah, ulama berbeda-beda dalam menafsirkan ayat ini,” ujarnya.
Muqsith menyatakan perbedaan pendapat tersebut hanya pada
batas menutup aurat itu sendiri. Sedangkan hukum menutup aurat bagi perempuan
para ulama menyepakatinya. “Tapi kemudian ada
hadis yang menyebutkan seluruh tubuh perempuan adalah aurat. Aalmar’atu qulluha aurat, seluruh tubuh perempuan itu aurat,” ujarnya.
Maka dari itu, Imam Syafii mengatakan aurat perempuan di luar
sanad adalah seluruh tubuhnya, termasuk wajah dan telapak tangan harus ditutup.
Tapi ulama lain tidak sependapat dengan mengecualikan yang biasa terlihat
seperti wajah dan telapak tangan.
“Aurat perempuan di
dalam sanad itu sama saja dengan aurat perempuan di luar sanad. Makanya wajah dan
telapak tangan bisa dibuka. Tapi di dalam mazhab Hanafi beda lagi termasuk
separuh lengan, separuh betis, itu bukan aurat sehingga itu bisa dibuka. Jadi
yang disepakati adalah perempuan muslim harus menutup aurat. Yang berbeda adalah mengenai batas auratnya,” ujar Muqsith. (wip)
Sumber: Republika.co.id