IslamToday ID — Sebagaimana diketahui, sosok Raden Ja’far Shadiq atau yang kemudian disebut sebagai Sunan Kudus adalah seorang ulama besar anggota Walisongo yang begitu berpengaruh atas perkembangan kota Kudus. Tak hanya mewarnai dalam hal sosio-kultural, Sunan Kudus juga meninggalkan sebuah bangunan sarana dakwah yang kini menjadi ‘landmark’ utama kota tersebut. Adapun bangunan bersejarah itu adalah Masjid Al-Aqsha, Kudus.
Kiprah dakwah Sunan Kudus dimulai dari kedatangan beliau ke daerah Tajug untuk menghindari konflik politik di Demak yang semakin meningkat. Di daerah Tajug tersebut, Ja’far Shadiq berjumpa dengan seorang ulama senior setempat bernama Kyai Tlingsing, seorang Ulama asal Cina yang bernama asli The Ling Sing. Kyai Tlingsing ini di masyarakat selain banyak menyeru tentang agama Islam, beliau juga dikenal sebagai ahli arsitek dan pemahat yang ulung.
Menurut Solichin Salam, keahlian ukir Kyai Tlingsing termasuk dalam aliran Sun Ging dengan hasil pahatan bercorak bunga dan daun-daunan. Keahlian memahat yang dimiliki olah Kyai Tlingsing tersebut juga diajarkan kepada santri-santri dan masayarakat sekitar. Oleh karena itu adanya sebuah kampung yang bernama Singgingan di kawasan Kudus, diduga kuat dulunya merupakan kawasan sentra industri kerajinan pahat.
Waktu berjalan dengan cepat, mengingat usia Kyai Tlingsing sudah berusia sangat lanjut, maka amanah dakwah di Tajug kemudian diserahkan kepada Raden Ja’far Shodiq. Setelah mendapatkan amanah tersebut, lalu beliau mulai membangun sebuah masjid.
Masjid Sunan Kudus, didirikan pada tahun 956 H yang berlokasi di Desa Kerjasan, Kudus Kulon, yang kini terkenal dengan nama Masjid Agung Kudus dan masih bertahan hingga sekarang. Hal ini diketahui dari inskripsi pada batu pualam yang terdapat di atas mihrab masjid bertuliskan:
“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Telah membangun Masjid al-Aqsha dan negeri Kudus, khalifah abad ini… telah merintis pembangunan Masjid ini yang penuh berkah dan diberi nama al-Aqsha, khalifah Allah dimuka bumi ini… sesepuh Islam dan kaum muslimim, tokoh para ulama dan para mujtahid, yang alim, pengamal ilmu, sempurna, utama, dan diberi kekhususan oleh pertolongan Tuhannya, yang Maha Pencipta, yaitu Qadli Ja‟far ash-Shadiq, semata-mata demi keridlaan Allah, berpegang pada KitabNya, dan berpijak pada sunnah Rasulullah SAW, dan tarikhnya adalah tanggal kesembilan belas dari bulan Rajab pada tahun sembilan ratus lima puluh enam dari Hijrah Nabi (19 Rajab 956 H), semoga Allah melimpahkan RahmatNya kepada Junjungan kita Muhammad SAW, kepada keluarga dan para sahabat beliau seluruhnya.”
Sejak berdirinya Masjid ini, maka Desa Tajug kemudian diganti namanya oleh Raden Ja’far Shadiq dengan Kudus, sehingga beliau lebih dikenal masyarakat dengan sebutan Sunan Kudus. Sekarang Masjid ini telah berkembang menjadi sebuah masjid yang megah dengan arsitektur unik sehingga menjadi daya tarik wisata bagi masyarakat Indonesia maupun dunia.
Menurut Solichin Salam, awalnya bangunan Masjid Menara Kudus tidaklah sebesar dan sebagus sekarang. Adapun bangunan yang didirikan mula-mula dan sejaman adalah Bangunan utama masjid, tempat wudhu dan menara masjid. Pendapat ini, didukung dengan keterangan Nur Riza Takmir Masjid Menara Kudus yang menyatakan, bahwa pernah dilakukan penelitian tentang usia batu bata antara bangunan Masjid, tempat wudhu dan menara di laboratorium dan hasilnya menunjukkan usia yang sama. Namun karena Masjid Menara Kudus memiliki halaman yang luas, maka beberapa keturunan Sunan Kudus maupun generasi-generasi berikutnya terus melakukan pengembangan disesuaikan dengan kebutuhan jamaah yang jumlahnya terus meningkat.
Desain Kompleks Masjid Menara Kudus ini sangatlah unik, tidaklah serupa dengan kompleks masjid pada umumnya, terutama pada bangunan menara, tempat wudhu maupun pintu-pintu gerbangnya. Seperti kita ketahui, bahwa sosok Sunan Kudus sendiri adalah anggota Walisongo yang memilih metode dakwahnya dengan cara Hikmah. Beliau tidak ingin proses dakwahnya dilakukan secara frontal yang sangat beresiko menimbulkan gesekan sosial. Oleh karena itu, beliau memilih untuk menciptakan wasilah-wasilah dakwah yang dekat dengan kehidupan mayoritas penduduk disana yaitu dengan mendirikan kompleks bangunan yang mirip dengan bangunan ala Hindu Budha, sehingga mereka tidak merasa canggung datang ke Masjidnya Ja’far Shodiq dan proses dialog akan berjalan lebih mudah.
Bangunan utama Masjid Menara ini terdiri atas 5 buah pintu sebelah kanan, dan 5 buah pintu sebelah kiri, jendelanya semuanya ada 4 buah pintu, pintu besar terdiri 5 buah dan tiang besar di dalam masjid yang berasal dari kayu jati berjumlah 8 buah. Di dalam masjid terdapat dua buah bendera yang terletak di kanan kiri mihrab. Bendera tersebut berwarna hijau tua, diikat masing-masing pada sebuah tombak, berbahan kain sutra dan di sekelilingnya dihias dengan benang-benang emas. Panjang bendera itu berkisar panjang 1 meter dan lebar 50 centimeter. Bendera tersebut adalah lambang kabilah dari satuan perang Demak dibawah kepemimpinan Sunan Kudus.
Di sebelah selatan, Sunan Kudus membuat padasan atau tempat berwudhu dengan pancuran yang berjumlah delapan. Masing-masing pancuran diberi ornamen semacam arca. Bagi penganut Budha mereka akan langsung tahu bahwa model ornamen itu adalah simbol ajaran“Asta Sanghika Marga” yang berarti “Jalan Berlipat Delapan” atau yaitu : Harus memiliki pengetahuan yang benar, Mengambil keputusan yang benar, Berkata yang benar, Hidup dengan cara yang benar, Bekerja dengan benar, Beribadah dengan benar, Dan Menghayati agama dengan benar.
Konon dari adanya tempat wudhu tersebut, banyak umat Budha di kawasan itu menjadi tertarik dan sering menanyakan kenapa orang Islam juga mengerti dengan ajaran Budha. Dan dengan penuh kebijaksanaan Sunan Kudus menjelaskan, bahwa Islam adalah agama yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW, ajaran Asta Sanghika Marga secara prinsip tidak bertentangan dengan Islam, tapi tentu masih ada kebaikan-kebaikan lain yang jauh lebih luas dari pada ajaran delapan prinsip tersebut, maka kenapa kisanak tidak belajar Islam? Maka dari sanalah banyak penganut Budha mulai memberanikan diri untuk menghadiri ceramah-ceramah Sunan Kudus.
Selanjutnya adalah bangunan Menara, Menara Kudus ini memiliki tinggi 18 m dengan luas 100 m2, dibangun dengan material batu bata yang disusun tanpa perekat, namun dengan di gosok-gosok hingga lengket. Di sekelilingnya dihias dengan piringan-piringan keramik yang diduga berasal dari Cina atau Timur Tengah berjumlah 32 buah bermotif masjid, suasana Timur Tengah dan bunga. Sedangkan diatasnya terdapat sebuah bedug dan kentongan. Menurut Solichin Salam penampilan bangunan Menara Masjid Kudus searah vertikal mempunyai empat tingkatan yang menyimbolkan tahapan tasawuf sebagai syariat, tarikat, ma‟rifat, dan hakikat.
Adanya Menara Kudus yang mempunyai bentuk seperti candi Hindu ini dimaksudkan oleh Sunan Kudus, agar supaya tidak terjadi Cultural Shock yang berakibat pada terasingnya orang-orang Islam baru (Muallaf). Adapun secara filosofis, dengan didirikannya menara ini, bisa diartikan sebagai tanda untuk masa yang baru dimana Sunan Kudus berusaha mematikan sumber kepercayaan lama, mengakhiri masa untuk penyembahan dewa-dewa sebagai Tuhan. Kemudian setelah mematikan kepercayaan yang lama, maka digantilah dengan pemahaman yang baru yaitu kepercayaan terhadap Allah SWT yang tunggal.
Perubahan ini juga terlihat dari bergesernya pola kegiatan sehari-hari yang dilakukan pada bangunan itu, dimana pada masa pengabdian kepada dewa, bangunan model demikian dijadikan tempat pemberian sesaji serta berbagai bentuk ritual jahil lainnya. Memasuki era Islam, simbol bangunan tersebut diubah dengan nama baru, yaitu “Menara” kata yang berasal dari bahasa Arab “Manaruh” yang berarti tempat menaruh cahaya di atas (mercusuar).
Adapun bangunan tersebut difungsikan sebagai sarana muazin melakukan Adzan. Sebuah seruan kepada manuisa sebanyak lima kali dalam sehari dalam rangka mengabdikan diri sepenuhnya kepada Allah SWT.
Setelah wafatnya Sunan Kudus, banyak terjadi pemugaran terhadap kompleks masjid ini. Diantaranya adalah penambahan luas bangunan pokok masjid, penggantian kubah yang konon rusak setelah dimakan usia serta penambahan serambi atau selasar yang hampir sejajar dengan bangunan Menara. Bangunan lain yang cukup eksentrik juga ditambahkan untuk melengkapi arsitektur masjid yaitu adanya sepasang pintu gapura kecil dan di serambi paling depan terdapat pintu gapura yang dikenal dengan sebutan “lawang kembar”. Di bagian atas gapura ini juga terdapat inskripsi yang menandakan tahun pembuatannya, yaitu pada bagian sisi barat bagian atas tertulis dengan Aksara Jawa yang artinya kurang lebih : “Pada waktu didirikan nama (yang memrintah) Kanjeng Raden Tumenggung Panji Ario Pangeran dan diberi tahun “candra sengakala” “Pandita Karno Wulanganing Jalma”, yang menunjukkan angka tahun 1727 Saka atau 1215 Hijriah atau 1800 M. Sedangkan, sisi timurnya terdapat inskripsi dalam bahasa dan tulisan Arab yang berbunyi “ Tahun Hijriah Seribu dua ratus lima belas pada hari Senin bulan Haji tahun Dal pada zaman Penghulu Tambak Haji”.
Demikian tadi potret kecil sebuah peninggalan wasilah dakwah yang didirikan Sunan Kudus, dimana semangat dan ghirah perjuangannya terhadap tersebarnya Islam kepada seluruh manusia tanpa terkecuali tetap bisa terasa hingga sekarang. Semoga Allah senantiasa memuliakan hambanya yang Ikhlash.
Penulis: Muh Sidiq HM
Redaktur: Tori Nuariza
Sumber:
Agus Sunyoto. 2016. Atlas Walisongo. Tangerang Selatan:Pustaka IIIMaN
Solichin Salam. 1986. Ja’far Shadiq, Sunan Kudus. Kudus: Menara Kudus.
Solichin Salam. 1977. Kudus Purbakala dalam Perjoangan Islam.Kudus: Menara Kudus.
Solichin Salam . 1986. Sekitar Wali Songo. Kudus: Menara Kudus