IslamToday ID — Berikut adalah sebuah uraian singkat mengenai sosok Ibnu Sina yang ditulis berdasarkan ulasan dua intelektual yakni, Dr. H. Arip Rahman, LC.DESA, Dekan Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Tazkia (Institut Tazkia) dan Prof. Dr. Syihabuddin Qalyubi, Lc, MAg Guru Besar Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang masing-masing dimuat dalam Republika Online (28/4/2020) dan RMOL ID (3/5/2020). Keduanya mengomentari kehadiran film Avicenna yang tayang di Rusia pada 64 tahun silam.
Sumbangsih pemikiran, kebijaksanaan dan kecerdasan Ibnu Sina atau Abu Ali Husain bin Abdullah bin Sina (370-428H/ 980-1037) begitu dibutuhkan dunia saat dilanda wabah virus mematikan. Di dunia Barat namanya lebih dikenal dengan Avicenna.
Bahkan, atas totalitasnya dalam berkarya dalam bidang kedokteran, ia menjadi inspirasi pembuatan film yang sesuai dengan namanya Avicenna. Film yang terbit di Rusia pada tahun 1956 mengisahkan tentang bagaimana sosok Ibnu Sina, hidup ketika wabah Black Death telah menewaskan jutaan orang. Kisahnya sangat mirip dengan fenomena wabah Covid-19.
Bapak Kedokteran Modern ini bahkan telah memberlakukan pelarangan aktivitas di luar rumah, seperti berkumpul di jalan, aktivitas di pasar dan beribadah di masjid. Bisa jadi ia adalah seorang ilmuwan di bidang kedokteran yang pertama kali mempraktikan social distancing dan no social panic. Ia pun berpesan agar setiap orang selalu merasa gembira, optimis ketika wabah itu muncul. Karena rasa takut hanya akan membuat imunitas seseorang menurun.
Ibnu Sina termasyhur dengan kata-kata mutiaranya yang berbunyi “kepanikan adalah separuh penyakit, ketenangan adalah separuh obat, dan kesabaran adalah awal kesembuhan”.
Metode psikologis klinis, langkah yang dilakukan oleh Ibnu Sina sangat berguna untuk membantu menenangkan masyarakat. Bagi seorang pasien, hanya pasien bermental optimis sajalah yang dapat merespon pengobatan dan ini berbanding terbalik dengan pasien yang diliputi oleh rasa takut.
Dalam film tersebut juga terdapat sebuah adegan ketika Ibnu Sina dan muridnya datang berkunjung ke rumah salah seorang tokoh yang bernama Abu Raihan Al-Biruni (873-1048 M). Ketika itu Ibnu Sina meminta diberikan sanitizer, pakaian bersih serta ember berisi air yang dicampur cuka untuk membersihkan tangan dan mukanya, sebelum akhirnya ia bisa bercakap-cakap dengan Al-Biruni.
Ketika itu al-Biruni pun bertanya pada Ibnu Sina, “kebiasaan ini berasal dari bangsa mana dan dari negeri mana?” Ibnu Sina menjawab, “Tradisi ini harus berlaku di negara-negara tempat ‘Wabah Hitam’ (Black Death) agar dapat menghalau virus”. Apa yang dipraktikan oleh Ibnu Sina di masa lalu sangat mirip dengan protokol kesehatan modern dalam menghadapi COVID-19.
Saat itu mungkin akan sangat sulit menjelaskan keberadaan virus kepada masyarakat. Karena ia menyampaikan masalah virus ketika alat-alat kesehatan belum secanggih saat ini. Namun, identifikasi Ibnu Sina terhadap virus telah melampau zamannya, seolah-olah ia telah memiliki laboratorium ilmiah modern.
Kecerdasannya dalam bidang kedokteran diperolehnya sejak ia berusia 16 tahun. Ia pun senang menambah pengetahuan dan keahliannya dengan senantiasa menjalin silaturahmi dengan dokter-dokter senior, saat itu. Adapun dokter-dokter tersebut adalah Al-Husein Bin Nuh Al-Qomari dan Abi Sahal Al-Musayyab.
Sebagai seorang dokter ia berprinsip “Kedokteran adalah ilmu yang sulit ataupun berduri, seperti matematika dan metafisika, sehingga segera membuat kemajuan besar, saya menjadi dokter yang sangat baik dan mulai merawat pasien, menggunakan obat yang disetujui”.
Bahkan ketika virus itu melanda, ia dengan sukarela mendatangi rumah-rumah pasien. Pada zaman itu mungkin jumlah dokter tidak sebanyak saat ini. Bahkan ia tidak meminta imbalan atas kerja kerasnya berjuang merawat pasien-pasien yang terkena wabah, terutama pasien dari kalangan yang tidak mampu.
Seorang penulis Anne Rooney dalam bukunya berjudul The Story of Medicine dan penulis lain seperti Edward Curtis melalui bukunya The Bloomsbury Reader on Islam in the West. Kedua penulis tersebut mengatakan bahwa konsep penyakit menular tidak ditemukan dalam ilmu kedokteran kuno. Konsep ini baru dikenal setelah Rasulullah Muhammad bersabda tentang perintah menghindari pengidap penyakit tertentu. Sejak saat itu para ilmuwan muslim terpacu untuk melakukan penelitian.
Ibnu Sina, di abad ke-11 atau pada sekitar tahun 1020’an memperkenalkan konsep al-Arba’iniya yang artinya empat puluhan. Sebagai seorang dokter ia mempraktikkan konsep karantina 40 hari. Sebuah konsep tentang pemisahan pasien pengidap penyakit menular seperti kolera, campak ,kusta, dan lain-lain untuk mencegah penularan.
Bangsa Eropa di abad ke-14 mempraktekan konsep serupa ketika wabah pes melanda kota Venecia, Italia. Venesia merupakan kota pelabuhan yang sangat akrab dengan kebudayaan Islam. Mereka mempraktekan konsep karantina 40 hari milik Ibnu Sina. Di Italia konsep ini bernama quarantena (40 hari), yang kemudian menjadi quarantine dalam bahasa Inggris dan dalam bahasa Indonesia disebut karantina.
Karyanya yang terkenal adalah al-Syifa (Penyembuhan, terdiri dari 18 jilid berisi tentang berbagai macam ilmu pengetahuan) dan al-Qānūn fī al-Ṭibb (Canon of Medicine, Aturan Pengobatan). Kitab-kitab inilah yang kemudian menjadi rujukan dunia kedokteran dan kesehatan selama beberapa abad lamanya. Ia juga menjelaskan tentang pola persebaran wabah virus yang bisa menyebar melalui tangan (jabat tangan), wajah, rambut bahkan pakaian bagi orang-orang yang terpapar oleh virus.
Film tentang Ibnu Sina ini menunjukan bagaimana kiprah dokter muslim yang ini telah mempengaruhi dunia kedokteran di Eropa. Inovasi yang dilakukan oleh Ibnu Sina dalam dunia medis, khususnya dalam mengatasi wabah sangat relevan dengan protokol kesehatan modern yang digunakan untuk membatasi laju persebaran COVID-19.
Penulis: Kukuh Subekti
Editor: Tori Nuariza