IslamToday ID — Seiring bertambah luasnya wilayah kekuasaan Islam maka permasalahan masyarakatnya tentu akan semakin kompleks, salah satunya di bidang peradilan. Keberadaan seorang hakim tidak lagi cukup untuk memutuskan sebuah perkara. Dibutuhkan lembaga peradilan yang dengan tugas utama membela rakyat dari segala macam bentuk kezhaliman.
Menurut Ibnu Khaldun dalam karyanya Al-Ibar wa Diwan Al-Mubtada’ wa Al-Khabar menjelaskan tentang pentingnya keberadaan lembaga peradilan. Ia menuliskan
“Tugas tersebut merupakan perpaduan dari kekuatan penguasa dan keadilan hakim. Ia membutuhkan kekuasaan yang tinggi dan kewibawaan yang besar yang mampu melumpuhkan orang yang berbuat zhalim dan mencegah orang yang melampaui batas. Seolah ia meneruskan apa yang tidak mampu dilaksanakan oleh para hakim dan selain mereka. Tugas pokoknya adalah memeriksa bukti, ketetapan, dan indikasi-indikasi, menjalankan eksekusi ketika hukum telah berkekuatan tetap, mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa, dan menyumpah para saksi. Dengan demikian, tugasnya lebih luas daripada tugas seorang hakim.” (Ibnu Khaldun)
Prof. Raghib As-Sirjani melalui karyanya Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia mengungkapkan tentang fungsi lembaga peradilan di masa peradaban Islam yang bertanggungjawab menangani masalah tindakan-tindakan zhalim yang sangat besar dan berat. Contohnya adalah penanganan kesewenang-wenangan para penguasa terhadap rakyat, keangkuhan tingkah laku mereka, dan kecurangan para gubernur terhadap negara yang mereka dapatkan.
Selain memeriksa gubernur, tugas lembaga peradilan saat itu juga memeriksa para sekretaris negara. Memastikan tugas mereka dalam mendistribusikan upah, gaji apakah terkurangi atau terlambat kepada para pasukan (prajurit, pasukan perang kala itu).
Lembaga Peradilan Islam
Pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705 M) telah mempraktikan keberadaan lembaga peradilan yang profesional. Ketika Negara Perancis yang kini terkenal dengan sebutan negara undang-undang, baru menerapkannya pada tahun 1872. Lembaga peradilan di era peradaban Islam sudah diterapkan sejak 13 abad lalu, sementara Perancis baru-baru ini di Abad 19 M.
Menjadi orang yang memutuskan perkara pada masa kekhalifahan bukan hal yang mudah. Khalifah Abdul Malik bin Marwan adalah orang yang paling masyhur dalam menjalankan keputusan peradilan yang adil. Karena untuk menjalankan fungsi lembaga peradilan dibutuhkan keahlian dalam penguasaan hukum-hukum syara’ dan kemampuan untuk berijtihad. Sederhananya untuk menjalankan tugas ini dibutuhkan juga seorang ahli fikih. Maka, wajar jikalau para khalifah yang menjalankan tugas ini memiliki pengetahuan yang mendalam tentang ilmu fikih dan cabang-cabangnya.
“Abdul Malik bin Marwan termasuk para khalifah Bani Umayyah yang berada di garda depan dalam menangani kasus-kasus penganiayaan. Mereka dalam menangani masalah tersebut tidaklah tanpa dasar ilmu atau memberikan hukuman sebelum mengerti seluk beluk permasalahan,” ujar Prof. Raghib.
Kasus Perampasan Tanah Gubernur Bashrah
Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz berkuasa terjadi kasus perampasan tanah yang dilakukan oleh Gubernur Bashrah, Adi bin Arthah yang wafat pada 102 H. Suatu hari warga yang tanahnya dirampas mendatangi Khalifah Umar di Damaskus. Kisah ini diriwayatkan oleh Ibnu Abdul Hakam,
“Suatu hari Umar bin Abdul Aziz keluar dari rumahnya. Tiba-tiba seseorang datang dengan mengendarai untanya. Ia turun lalu bertanya tentang Umar. Dikatakan kepadanya bahwa Umar sedang keluar dari rumah, dan ia akan kembali sekarang. Umar datang. Melihat itu, orang tersebut berdiri menghadap Umar lalu mengadukan perbuatan Adi bin Arthah kepadanya.
Umar berkata, “Ingatlah, demi Allah, kita tidak tertipu dengannya kecuali karena surban hitamnya. Ketahuilah, sesungguhnya aku menulis wasiat kepadanya. Namun, ia menyimpang dari wasiatku. Dalam wasiat itu aku berkata, “Sesungguhnya orang yang datang kepadamu dengan bukti atas suatu haknya, maka serahkanlah hak itu kepadanya.” Kemudian ia telah membuatmu susah payah untuk datang kepadaku.”
Umar memberikan perintah agar tanah tersebut dikembalikan kepada pemiliknya. Lalu Umar berkata kepada pemiliknya, “Berapa biaya yang kamu habiskan untuk datang ke sini?”
Ia berkata, “Wahai Amirul Mukminin, engkau bertanya kepadaku tentang biaya yang aku habiskan sedangkan engkau telah mengembalikan tanahku? Itu adalah lebih baik daripada seratus ribu dirham?” Umar berkata, “Sesungguhnya aku hanya mengembalikan hakmu. Maka beritahu kepadaku, berapa biaya yang telah kamu habiskan?” Pemilik tanah berkata, “Enam puluh dirham.” Lantas Umar memerintahkan agar biaya tersebut diambilkan dari Baitul Mal.”
Sesungguhnya orang-orang yang memikirkan keberadaan kisah tersebut akan merasa kagum pada tindakan Amirul Mukminin. Ia adalah sosok pemimpin besar yang tidak segan-segan menghukum pejabatnya, Gubernur Bashrah yang terbukti berbuat zhalim. Sekaligus ia meminta agar gubernur mengembalikan hak kepada pemiliknya. Ia bahkan tidak segan-segan mengganti biaya transportasi yang dikeluarkan oleh rakyatnya yang melakukan perjalanan jauh dari Bashrah ke Damaskus untuk menuntut haknya. Hal ini menunjukkan keluhuran peradaban Islam dan solidaritas yang tinggi di antara sesama anggota masyarakat, baik penguasa atau pun rakyat.
Penulis: Kukuh Subekti
Redaktur: Tori Nuariza