IslamToday ID — Kerajaan Banjar adalah kerajaan Islam terbesar dan pertama dalam sejarah perkembangan Islam di kawasan Pulau Kalimantan. Pada masa era emporium, Kesultanan Banjar memegang peranan penting sebagai salah satu bandar pelabuhan yang menghasilkan komuditi lada. Selain itu, wilayah Kesultanan Banjar juga dikenal sebagai daerah penghasil batu-batu mulia yang bernilai sangat tinggi.
Dengan komoditas andalannya tersebut, Kesultanan Banjar mampu mengambil peranan penting dalam percaturan politik perdagangan internasional pada abad ke 17 Masehi. Oleh karena itu, sangat menarik untuk mengetahui sejarah lahirnya kerajaan Islam di ujung pulau Borneo ini.
Istilah Banjar dan Banjarmasih
Ahmad Suriadi dalam tulisannya yang berjudul Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari Dalam Dinamika Politik Kerajaan Banjar Abab XIX mengungkapkan, istilah banjar muncul sekitar Abad ke-15 atau 16 Masehi beriringan dengan terbentuknya Kerajaan Banjar yang didirikan oleh Pangeran Samudera atau Sultan Suriansyah pada tahun 1526 M.
Menurut Hooykaas, Asisten Residen Belanda dan merangkap sebagai ketua Dewan Banjarmasin di tahun 1930-an, yang sempat menulis sebuah buku tentang peringatan tiga lustrum keprajaan daerah kota Banjarmasin (1919 M – 1934 M ) di mana sebagian tulisannya mengutip dari buku karangan J. Hageman Joz ; “In 1520 werd de negeri Bandjermasin in de benedenlanden gesticht“, “Pada tahun 1520 negeri Banjarmasin didirikan di daerah hilir”. Daerah “hilir” yang dimaksud oleh Hageman tidak lain merujuk pada daerah yang sekarang bernama Kampung Kuin.
Kata banjar berasal dari sebutan awal untuk Bandarmasih yaitu nama suatu kampung orang Melayu yang ada di muara Sungai Kuin yang dipimpin oleh Patih Masih. Menurut Noer’id Haloei Radam, istilah banjar sebagai sebuah sungai yang merupakan anak Sungai Barito. Banjar’ merujuk kepada nama perkampungan di kawasan muara Barito di mana tetuhanya adalah Masih yang kemudian diberi gelar Patih, lalu menjadi Patih Masih. Jadi kata banjar bukan terambil dari kata Melayu bandar yang artinya tempat pemukiman di tepi sungai atau pesisir, tetapi kata tersebut asli berasal dari khazanah kata penduduk asli setempat.
Dalam perkembangan selanjutnya, nama ‘Banjarmasin’ timbul akibat kesalahan pengucapan orang-orang Eropa terutama Belanda. karena logat mereka, perkataan ‘Banjarmasih‘ dilafalkan menjadi Bandjarmassing, lalu ‘Bandjemasin‘.
Sampai sekitar tahun 1664 M, arsip-arsip Belanda berupa surat-surat yang dikirim ke wilayah Nusantara untuk sultan-sultan yang memerintah di Kerajaan Banjarmasih tetap menyebut Kerajaan Banjarmasih dalam versi ucapan Belanda ‘Bandzermash’. Kemudian sesudah tahun 1664 M menjadi ‘Bandjermassingh‘, dan ‘Bandjarmasing‘ (tanpa huruf ‘s’ dan ‘h’).
Dari sebuah bentuk bandar atau kampung, ‘Banjarmasih’ – menurut sebutan penduduk Ngaju yang banyak dihuni orang Melayu, berkembang menjadi sebuah bandar besar yang tidak hanya dihuni warga Melayu tetapi juga suku Ngaju, Maanyan, Bukit, Jawa serta suku lainnya. Dan setelah Raden Samudera diangkat menjadi raja oleh beberapa pemimpin/penguasa wilayah muara dan pesisir Sungai Barito, ‘bandar Patih Masih’ makin bertambah ramai.
Sosok Pangeran Samudera
Lalu siapakah sosok Pangeran Samudera tersebut? Dalam buku Sejarah Kesultanan dan Budaya Banjar, tulisan dari Sahriyansyah mengungkapkan, bahwa Pangeran Samudera ialah sosok Raja Pertama sebagai pendiri Kesultanan Banjar. Beliau merupakan Cucu dari Raja Kerajaan Daha Maharaja Sukarama. Ayahnya bernama Raden Alu Mantri dan ibunya adalah putri Raja Sukarama yang bernama Galuh Banarakan.
Perananya begitu besar bagi perkembangan Islam di bumi Borneo tersebut. Masuknya Islam berlangsung dengan damai di kawasan ini melalui tangan pedagang dan para ulama. Dalam salah satu makalah Pra Seminar Sejarah Kalsel (1973) disebutkan, Sunan Giri juga pernah singgah di Pelabuhan Banjar. Sunan Giri melakukan transaksi pedagang dengan warga sekitar dan bahkan memberikan secara gratis barang-barang kepada penduduk yang fakir. Di samping itu juga terdapat keterangan mengenai salah seorang pemuka Kerajaan Daha, yakni Raden Sekar Sungsang yang menimba ilmu kepada Sunan Giri. Melalui jalur inilah Pangeran Samudera mengenal ajaran Islam dan berikutnya diketahui secara intensif menjalin hubungan dengan Kesultanan Demak Bintoro.
Untuk mengetahui sejarah Banjar lebih lanjut, dapat dilacak pada historiografi tradisional Hikayat Lambung Mangkurat, atau Hikayat Banjar. Berdasarkan sumber tersebut, di daerah Banjar telah berdiri Kerajaan Hindu, yaitu Negara Dipa yang berpusat di Amuntai. Kemudian berdiri Negara Daha yang berpusat di daerah sekitar Negara sekarang. Menurut Hikayat Banjar tersebut, Negara Dipa adalah kerajaan pertama di Kalimantan Selatan.
Cikal bakal Raja Dipa bisa dirunut dari keturunan Aria Mangkubumi. Ia adalah seorang saudagar kaya, tapi bukan keturunan raja. Oleh sebab itu, berdasarkan sistem kasta dalam Hindu, ia tidak mungkin menjadi raja. Namun dalam pratiknya, ia memiliki kekuasaan dan pengaruh yang dimiliki oleh seorang raja. Ketika ia meninggal, penggantinya adalah Ampu Jatmika, yang kemudian menjadi raja pertama Negara Dipa. Untuk menutupi kekurangannya yang tidak berasal dari keturunan raja, Jatmika kemudian banyak mendirikan bangunan, seperti candi, balairung, keraton dan arca berbentuk laki-laki dan perempuan yang ditempatkan di candi. Segenap warga Negara Dipa diwajibkan menyembah arca ini.
Ketika Ampu Jatmika meninggal dunia, ia berwasiat agar kedua anaknya, Ampu Mandastana dan Lambung Mangkurat tidak menggantikannya, sebab mereka bukan keturunan raja. Tapi kemudian, Lambung Mangkurat berhasil mencari pengganti raja, dengan cara mengawinkan seorang putri Banjar, Putri Junjung Buih dengan Raden Putera, seorang pangeran dari Majapahit. Setelah menjadi raja, Raden Putera memakai gelar Pangeran Suryanata, sementara Lambung Mangkurat memangku jabatan sebagai Mangkubumi.
Setelah Negara Dipa runtuh, muncul Negara Daha yang berpusat di Muara Bahan. Saat itu, yang memerintah di Daha adalah Maharaja Sukarama. Ketika Sukarama meninggal, ia berwasiat agar cucunya Raden Samudera yang menggantikan. Tapi, karena masih kecil, akhirnya Raden Samudera kalah bersaing dengan pamannya, Pangeran Tumenggung yang juga berambisi menjadi raja.
Atas nasehat Mangkubumi Aria Tranggana dan agar terhindar dari pembunuhan, Raden Samudera kemudian melarikan diri dari Daha, dengan cara menghilir sungai melalui Muara Bahan ke Serapat, Balandian, dan memutuskan untuk bersembunyi di daerah Muara Barito. Di daerah aliran Sungai Barito ini, juga terdapat beberapa desa yang dikepalai oleh para kepala suku. Di antara desa-desa tersebut adalah Muhur, Tamban, Kuwin, Balitung dan Banjar. Kampung Banjar merupakan perkampungan Melayu yang dibentuk oleh lima buah sungai yakni Sungai Pandai, Sungai Sigaling, Sungai Karamat, Jagabaya dan Sungai Pangeran (Pageran). Semuanya anak Sungai Kuwin. Desa Banjar ini terletak di tengah-tengah pemukiman Oloh Ngaju di Barito Hilir.
Orang-orang Dayak Ngaju menyebut orang yang berbahasa Melayu dengan sebutan Masih. Oleh karena itu, desa Banjar tersebut kemudian disebut Banjarmasih, dan pemimpinnya disebut Patih Masih. Desa-desa di daerah Barito ini semuanya takluk di bawah Daha dengan kewajiban membayar pajak dan upeti.
Suatu ketika, Patih Masih mengadakan pertemuan dengan Patih Balit, Patih Muhur, Patih Balitung, Patih Kuwin untuk berunding, agar bisa keluar dari pengaruh Daha, dan menjadikan kawasan mereka merdeka dan besar. Keputusannya, mereka sepakat mencari Raden Samudera, cucu Maharaja Sukarama yang kabarnya sedang bersembunyi di daerah Balandean, Sarapat. Kemudian, mereka juga sepakat memindahkan bandar perdagangan ke Banjarmasih. Selanjutnya, di bawah pimpinan Raden Samudera, mereka melawan kerajaan Daha. Peristiwa ini terjadi pada abad ke-16 M.
Aliansi Militer Dengan Kesultanan Demak
Dalam Hikayat Banjar disebutkan, bahwa untuk menunjang perlawanannya terhadap Daha, Raden Samudera mengirim duta ke Demak untuk mengadakan hubungan kerjasama militer. Utusan tersebut adalah Patih Balit, seorang pembesar Kerajaan Banjar. Utusan menghadap Sultan Demak dengan seperangkat hadiah sebagai tanda persahabatan berupa sepikul rotan, seribu buah tudung saji, sepuluh pikul lilin, seribu bongkah damar dan sepuluh biji intan. Pengiring duta kerajaan ini sekitar 400 orang. Demak menyambut baik utusan ini, dan sebagai persyaratan, Demak meminta kepada utusan tersebut, agar Raja Banjar dan semua pembesar mau memeluk agama Islam. Atas bantuan Demak, Pangeran Samudera berhasil mengalahkan Pangeran Tumenggung, penguasa Daha, sekaligus menguasai seluruh daerah taklukan Daha.
Setelah berhasil meruntuhkan dan menguasai kerajaan Daha, maka Raden (Pangeran) Samudera segera menunaikan janji untuk memeluk Islam. Setelah masuk Islam, ia memakai gelar Sultan Suriansyah. Gelar lainnya adalah Panembahan atau Susuhunan Batu Habang. Dialah Raja Banjar pertama yang memeluk Islam, dan sejak itu, agama Islam berkembang pesat di Kalimantan Selatan.
Pangeran Samudera (Sultan Suriansyah) diislamkan oleh wakil penghulu Demak, Khatib Dayan pada tanggal 24 September 1526 M, hari Rabu jam 10 pagi, bertepatan dengan 8 Zulhijjah 932 H. Khatib Dayan merupakan utusan Penghulu Demak Rahmatullah, dengan tugas melakukan proses pengislaman raja beserta pembesar kerajaan. Khatib Dayan bertugas di Kerajaan Banjar sampai ia meninggal dunia, dan dikuburkan di Kuwin Utara.
Sultan Suriansyah telah membuka era baru di Kerajaan Banjar dengan masuk dan berkembangnya agama Islam. Kerajaan Banjar yang dimaksud di sini adalah kerajaan pasca masuknya agama Islam. Sementara era Negara Dipa dan Daha merupakan era tersendiri yang melatar belakangi kemunculan Kerajaan Banjar. Diperkirakan, Sultan Suriansyah meninggal dunia sekitar tahun 1550 M.
Seiring masuknya kolonial kulit putih Eropa, Kerajaan Banjar kemudian dihapuskan oleh Belanda pada 11 Juni 1860 M. Dalam perjalanannya, Kerajaan Banjar telah mengalami berbagai kesulitan dan ancaman baik dari eksternal maupun internal, terutama masa- masa setelah datangnya bangsa kolonial. Pusat kerajaan atau Keraton Banjar harus berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain tidak kurang dari 5 (lima) kali. Akan tetapi, sayangnya tak satupun sisa-sisa tinggalan Keraton Banjar tersebut yang dapat diwariskan kepada generasi selanjutnya.
Penulis: Muh Sidiq HM
Redaktur: Tori Nuariza