IslamToday ID — “Sungguh tragis nasib Timbuktu. Kota terpenting dalam sejarah peradaban Islam di kawasan Afrika Barat itu, kini berubah menjadi wilayah yang terisolasi dan terpencil. Situasi dan pemandangan “Negeri di Ujung Dunia” itu begitu kontras, bila dibandingkan dengan Timbuktu 900 tahun yang lalu, ketika Islam mencapai kejayaannya di wilayah itu.” [Hal.113, “Menyusuri Kota, Jejak Kejayaan Islam”]
Timbuktu merupakan salah satu kota terpenting dalam peradaban Islam di kawasan Afrika Barat. Kota yang kini terletak di wilayah Republik Mali ini, sejak tahun 1988 masuk dalam Daftar Warisan Dunia.
Sebelumnya, Timbuktu yang pernah berjaya sebagai peradaban besar pada Abad ke-12 M, catatan sejarah ini tentu tak bisa disingkirkan begitu saja. Meskipun sejak tahun 2012-an peristiwa kekerasan dan pembantaian di negeri yang kaya akan sumber daya alam uranium ini menjadi kisah kelam nan pilu yang seolah menutupi fakta bahwa negeri ini sempat begitu berjaya dan makmur, khususnya di Kota Timbuktu.
Peradaban Ilmu
Kisah kejayaan Islam di Timbuktu bahkan pernah dikatakan oleh Leo Africanus, seorang sejarawan Abad 16 M. Africanus dalam bukunya menuliskan “Begitu banyak hakim, doktor dan ulama di sini (Timbuktu). Semua menerima gaji yang sangat memuaskan dari Raja Askia Muhammad, seorang penguasa Negeri Songhay. Raja pun menaruh hormat pada rakyatnya yang giat belajar.”
Hal di atas tentu menjadi bukti pernyataan dari Prof. Raghib As-Sirjani dalam bukunya Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia. Ia menuliskan “Sesuatu yang patut dicatat pertama kali dalam peradaban Islam adalah para penuntut ilmu yang meletakan perhatiannya terhadap keilmuan untuk tujuan yang besar. Hal ini tampak pada keunggulan dan ketinggian peradaban mereka sampai di jajaran peradaban dunia. Tujuan ini bukanlah puncak tujuan secara esensinya, karena yang dijadikan ukurannya adalah menuntut ilmu merupakan jalan untuk mendapatkan keridhaan Allah Rabbul Alamin.”
Menurut Leo Africanus pada masa kejayaan Islam itulah ilmu pengetahuan dan peradaban tumbuh sangat pesat di Timbuktu. Saat itu para penduduk sangat gemar membaca buku, mereka pun berlomba-lomba untuk membeli dan mengoleksi buku, sehingga permintaan buku pun membludag pada masa itu. Ia pun menambahkan bahwa bisnis buku pada masa itu jauh lebih menjanjikan dibanding bisnis yang lain.
Pembangunan Kota Tombouctou begitu lidah bangsa Perancis menyebut negeri bekas jajahannya. Kota ini dibangun oleh arsitek muslim dari Kota Djenne, Afrika Barat dan Afrika Utara. Pembangunan dimulai pada awal abad ke-12 ditandai pula dengan berkembangnya ilmu pengetahuan di Kota Timbuktu. Pada saat itu pula Raja Soso beserta para ilmuwan dari Walata pindah ke Timbuktu setelah diserang oleh Kerajaan Ghana.
Pusat Ekonomi dan Pembelajaran Islam
Pada abad ke-12 M, Timbuktu ini telah menjelma menjadi sebuah pusat pembelajaran Islam. Sekaligus menjadi pusat perdagangan, di mana Timbuktu menjadi kota pelabuhan penting bagi perekonomian Afrika Barat dan Afrika Utara. Dari sisi ilmu pengetahuan dan pendidikan kota ini bahkan telah memiliki tiga universitas dan 180 sekolah Al-Qur’an. Tiga universitas yang menjadi saksi kegemilangan Islam di Timbuktu adalah Sankore University, Jingaray Ber University dan Sidi Yahya University.
Kegiatan perekonomian di Timbuktu sangat maju, dimana garam menjadi produk yang sangat mahal, karena bisa ditukar dengan emas. Pada masa ini pula buku, garam dan emas adalah komoditi unggulan dalam kegiatan perdagangan Kota Timbuktu. Kemakmuran kota inilah yang membuat para sarjana kulit hitam, pedagang kulit hitam, saudagar Arab di Afrika Utara tertarik untuk datang ke kota ini.
Gairah keilmuan yang besar membuat banyak perpustakaan tumbuh bermunculan di Timbuktu, selain perpustakaan universitas kehadiran perpustakaan-perpustakaan pribadi pun turut mewarnai denyut nadi Kota Timbuktu di abad ke-12 M. Seorang ilmuwan Timbuktu bernama Ahmad Baba misalnya telah mengoleksi 1.600 judul buku di perpustakaan miliknya. Dan anehnya perpustakaan Ahmad Baba, justru perpustakaan paling kecil di Kota Timbuktu.
Selain berdirinya perpustakaan, di kota ini bahkan turut berdiri pula percetakan buku. Sehingga, tak jarang buku-buku yang dijualbelikan di Timbuktu adalah buah karya para ilmuwan dan sarjana muslim Timbuktu. Selain diwarnai oleh karya-karya ilmuwan lokal, buku-buku di Timbuktu juga didatangkan buku-buku karya penulis lain dari negeri-negeri muslim.
Sejak abad 13-16 M, Timbuktu merupakan rumah bagi 25ribu mahasiswa dan madrasah. Kitab-kitab yang berasal dari negeri-negeri muslim lain yang berisi ilmu astronomi, kedokteran, matematika, hukum di bawa ke Timbuktu, Kitab-kitab tersebut dipelajari oleh para pelajar asing dari Kairo, Baghdad, Persia dan negeri-negeri lainnya. Selain itu, pada masa ini produksi manuskrip yang berisi ilmu-ilmu sains terutama banyak dilakukan demi mendukung dunia pendidikan di Timbuktu.
Adapun ilmuwan dan ulama di Timbuktu yang terkenal adalah Modibo Mohammed Al-Kaburi, seorang hakim dan ahli hukum terkemuka di Timbuktu. Ia juga menjadi ilmuwan yang turut mengembangkan kurikulum di Sankore University. Berikutnya adalah Al-Mochtar Ag Mohammed Ibnu Utman yang pada atau dikenal sebagai An-Nahawi yang artinya seorang ahli bahasa. Dia sosok yang cerdas dan menguasai beragam cabang ilmu ke-Islaman. Adapula sosok Abu Abdallah And Ag Mohammed ibn Al Mochtar’n-Nawahi, putrera An-Nahawi. Ia seorang Imam dan Dekan Sankore University yang juga menulis biografi Nabi Muhammad yang berjudul “Kitab Ashiffa”.
Sebelum menjadi wilayah jajahan Perancis pada tahun 1893, Pangeran dari Kerajaan Mali melakukan ekspedisi pelayaran ke Lautan Atlantik. Pangeran, Mali yang bernama Abu Bakar II ini melakukan penjelajahan samudera hingga menemukan Benua Amerika. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan bahasa, tradisi dan adat Mandika di Brasil. Sayang sekali kisah kejayaan Kota Timbuktu di masa silam, kini tidak banyak dikenal orang, bahkan nyaris dilupakan.
Penulis: Kukuh Subekti
Redaktur: Tori Nuariza