IslamToday ID — Kesultanan Banten merupakan salah satu kesultanan yang mashyur di kawasan Asia Tenggara. Tak hanya dikenal karena kekayaan rempah-rempahnya, dari sisi geostrategis kekuasaan Kesultanan Banten membentang di wilayah Barat Pulau Jawa hingga wilayah Lampung di ujung Selatan Pulau Sumatera.
Dengan menjadi pemegang kedaulatan di Selat Sunda, Banten menjelma menjadi urat nadi pelayaran dan perdagangan internasional yang melalui Samudera Hinda, serta menjadi penghubung pintu gerbang menuju kawasan Asia Timur dan Pasifik. Oleh karena itu, sangat wajar apabila menyebut Banten sebagai salah satu poros maritim di Asia Tenggara.
Supratikno Rahardjo, dalam bukunya Kota Banten Lama: Mengelola Warisan Untuk Masa Depan menyebutkan Banten sebagai bandar perdagangan di pesisir utara Jawa bagian Barat. Pelabuhan Banten pada masa kejayaannya dikunjungi berbagai kapal-kapal dagang dari seluruh penjuru dunia. Selain sebagai kota bandar, wilayah Banten juga merupakan tanah kelahiran ulama dan kaum santri yang mengobarkan api perlawanan terhadap penjajahan.
Banten Dalam Catatan Asing
Dalam catatan perjalana Cheng Ho yang ditulis oleh Ma Huan terbit pada tahun 1416, berjudul Ying-Yai- Sheng-Lan (Catatan Umum Pantai-Pantai Samudera), Banten disebut dengan nama Shun-t’a (Sunda). Sementara itu berbagai sumber catatan China yang dihimpun oleh Groeneveldt, salah satu daerah di nusantara yang mereka kenal pada masa Dinasti Ming adalah Sun-la, yang dianggap lafal Cina untuk Sunda.
Sumber asing lain yang menyebut nama Banten ialah, catatan dari Tome Pires (1512-1515), seorang apoteker Portugis dari Lisbonn. Pires menyebut “Bantam” sebagai salah satu pelabuhan penting Kerajaan Sunda, disamping “Pomdam” (Pontang), “Cheguide” (Cigede), “Tamgaram” (Tangerang), “Calapa” (Sunda Kelapa) dan “Chemano” (Cimanuk).
Letak Banten yang berada di dekat Selat Sunda menjadikan kedudukannya sangat strategis, mengingat kegiatan perdagangan di Nusantara dan Asia serta kedudukan barang dengan rempah-rempah di pasar internasional makin meningkat, seiring dengan berdatangannya para pedagang Eropa ke wilayah ini.
Setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511, Selat Sunda menjadi pintu masuk utama ke Nusantara bagian Timur lewat Pantai Barat Sumatera bagi pedagang-pedagang muslim, dan kemudian bagi para pedagang Eropa yang datang dari arah ujung selatan Afrika dan Samudera Hindia. Hal ini dikarenakan keengganan pedagang-pedagang tersebut karena sistem monopoli Portugis yang dinilai sangat tidak menguntungkan bagi pelayaran mereka.
Islamisasi Banten
Menurut Prof. Hamka, proses interaksi Banten dangan Islam telah terjalin sejak abad ke-7 Masehi, namun proses dakwah baru benar-benar berdampak signifikan pada masa Walisongo dan berdirinya Kesultanan Demak. Adapun, tokoh utama dalam proses penyebaran agama Islam di wilayah ini adalah Syarif Hidayatullah, seorang anggota Walisongo yang berkedudukan di Cirebon. Latar belakang beliau sebagai tokoh yang memiliki hubungan darah dengan Prabu Siliwangi membuat langkah dakwahnya lebih mudah diterima bagi kalangan masyarakat disana.
Melalui Babad Tanah Sunda, pada subjudul Jeng Maulana Insan Kamil Sinerang Ki Kuwu Cirebon Tuminda ing Banten, Menurut Agus Sunyoto, setelah kedatangan Sunan Gunung Jati bersama pamannya Pangeran Cakrabuwana ke ibukota Pakuwan Padjajaran, beliau bertemu dan berhasil meng-Islamkan Prabu Siliwangi beserta Pangeran Raja Sengara. Selanjutnya, Sunan Gunung Jati tak lantas kembali ke Cirebon, melainkan melanjutkan perjalananya menuju Banten.
Setelah sampai Banten, Syarif Hidayat dan Sri Mangana (Pangeran Cakrabuana) berhasil mengislamkan Ki Gedeng Kawunganten beserta pengikut dan seluruh rakyatnya. Setelah masuk Islam, Ki Gedeng Kawunganten sangat mengagumi sosok Syarif Hidayat. Ia menilai sosok ini kelak akan membawa kebaikan yang besar bagi rakyatnya. Oleh karena itu, Syarif Hidayatullah kemudian dinikahkan dengan putrinya yang disebut dengan Nyai Kawunganten. Dari perkawinan mereka, lahirlah dua anak yang diberi nama Ratu Winaon (dalam sumber lain disebut Wulung Ayu) dan Maulana Hasanuddin.
Maulana Hasanuddin melanjutkan Islamisasi, setelah Sunan Gunung Jati kembali ke Cirebon. Ia berdakwah dari satu daerah ke daerah lain yang merupakan tempat-tempat keramat dimana para ajar bersemayam, mulai dari Gunung Pulosari, Gunung Karang, Gunung Aseupan, sampai ke Pulau Panaitan di Ujung Kulon. Istilah Ajar sendiri adalah sebutan berasal dari bahasa Jawa kuno (Kawi) yang merupakan panggilan bagi para pertapa atau orang-orang yang menjauhkan diri dari keramaian untuk berkhalwat, dalam hal ini kaum ajar merupakan para pemimpin agama yang bersemayam di tempat-tempat keramat.
Pilihan Maulana Hasanuddin untuk meng-Islamkan kaum ajar bertujuan untuk melukiskan penguasaan rohani atas wilayah politik Banten Girang. Hal ini dilatar belakangi karena adanya tradisi di wilayah Banten yaitu bila suatu masyarakat atau golongan rakyat berpindah agama, maka para pemimpin agama yang harus terlebih dahulu memeluk agama baru. Metode ini dirasa cukup efektif dilakukan. Sebagai contoh, ketika Maulana Hasanuddin berdakwah di wilayah Gunung Pulosari bersama dengan Ayahnya Sunan Gunung Jati, beliau mengadakan dialog dan mengajak pemimpin agama disana untuk memeluk Islam. Dialog berjalan cukup alot, bahkan dari beberapa kisah tutur, Maulana Hasanuddin juga harus beradu kesaktian dengan pemuka agama tersebut. Namun, setelah dilakukan beberapa waktu, ajar tersebut mengakui keunggulan ilmu ayah dan anak tersebut sehingga menyatakan diri masuk Islam. Setelah masuknya pemimpin agama mereka, maka selanjutnya seluruh penduduk Gunung Pulosari menyatakan masuk Islam dan bersumpah setia kepada Maulana Hasanudin. Dengan keberhasilan dakwah di Pulosari membuat langkah dakwah di daerah-daerah selanjutnya menjadi relatif tidak seberat yang pertama. Hal ini lantaran kaum ajar di wilayah Gunung Pulosari dinilai memiliki kesaktian yang tinggi diantara ajar-ajar lainnya.
Setelah memiliki banyak pengikut setia dan dirasa memiliki kemampuan militer yang kuat, Maulana Hasanuddin mulai melakukan gerakan politik dengan mencoba menaklukkan penguasa Banten Girang yang berada di pedalaman Banten dengan nama Prabu Pucuk Umun. Menurut sumber kisah lokal, dalam penaklukan Banten Girang, terdapat perjanjian bahwa jika Maulana hasanuddin mampu mengalahkan Prabu Pucuk Umun, dirinya bersedia memeluk Islam dan menyertakan seluruh kekuasaan yang dimilikinya. Tetapi setelah pertarungan dilakukan dan Prabu Pucuk Umun menerima kekalahan dirinya mengingkari perjanjian tersebut dan lebih memilih untuk menyingkir ke daerah pelosok Banten Selatan bersama pengikutnya yang enggan memeluk agama Islam.
Setelah berhasil mengalahkan Prabu Pucuk Umun, maka Maulana Hassanuddin secara sah menjadi Penguasa Kerajaan Islam Banten yang pertama. Adapun kebijakan pertama dalam menyelenggarakan pemerintahannya adalah memindahkan pusat kerajaan dari Banten Girang ke Banten Lama. Pemindahan pusat pemerintahan Banten dari pedalaman ke pesisir merupakan petunjuk dari Sunan Gunung Jati kepada Maulana Hasanuddin.
Strategi Poros Maritim
Pusat pemerintahan, yang tadinya berada di pedalaman Banten yakni Banten Girang, dipindahkan ke dekat Pelabuhan Banten. Sunan Gunung Jati menentukan posisi dalem (Istana), benteng, pasar, dan alun-alun yang harus dibangun. Tempat ini kemudian diberi nama Surosowan dan menjadi Ibukota Kerajaan Islam Banten, setelah penaklukan Banten Girang oleh Islam.
Sejumlah pertimbangan ini didasarkan pada filosofi konsep bahwa Kesultanan Islam yang mula-mula di tanah Jawa selalu berorientasi kepada laut. Dimana dengan menjadi penguasa di jalur perdagangan internasional, sebuah wilayah akan cepat tumbuh dan tidak terasing dengan pergaulan dunia. Di sisi lain, hal ini juga akan memudahkan jaringan komunikasi antar ulama yang telah sejak lama menggunakan jalur laut sebagai akses dakwah penyebaran Islam di Nusantara.
Sementara itu alasan taktis lain juga diungkap Lukman Hakim melalui bukunya Banten dalam Perjalanan Jurnalistik bahwasanya, alasan pemilihan Surosowan sebagai pusat administrasi politik Kesultanan Islam, nampaknya didasarkan atas pertimbangan antara lokasi Surosowan yang dianggap lebih mudah dikembangkan sebagai bandar pusat perdagangan. Letaknya yang strategis memudahkan hubungan antara pesisir utara Jawa dengan pesisir Sumatera sebelah barat melalui Selat Sunda dan Selat Malaka. Hal ini didasari fakta bahwa pada saat itu dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis, maka para pedagang lebih memilih jalur barat pulau Sumatra dan melewati Selat Sunda sehingga dengan demikian makin banyak kapal-kapal dagang yang datang ke Banten.
Pemindahan ibukota Banten dari Banten Girang ke Surosowan terjadi pada tanggal 1 Muharram 933 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 8 Oktober 1526 Masehi. Setelah berjalan sekian tahun Banten yang tadinya hanya sebuah kadipaten kecil, kemudian atas persetujuan Sunan Gunung Jati masuk menjadi negara bagian (vassal state) Kesultanan Demak dengan dinobatkannya Maulana Hasanuddin sebagai Raja di Kesultanan Banten pada tahun 1552.
Gelar yang diberikan pada Maulana Hasanuddin saat itu adalah Maulana Hasanuddin Panembahan Surosowan. Akan tetapi, pada saat Demak mengalami kekacauan politik dan kekuasaan berpindah ke Pajang, pada tahun 1568, Banten memerdekakan diri dan Maulana Hasanuddin menjadi Sultan pertama di Kesultanan Banten.
Penulis: Muh Sidiq HM, Tori Nuariza