IslamToday ID — Sejak masa awal peradaban Islam, lembaga peradilan bersifat independen dan merdeka. Bahkan, perwujudan prinsip keadilan pada masa Islam tersebut mampu memberikan pencerahan kepada seluruh umat manusia.
Para hakim saat itu berhak menghadirkan para khalifah dan pejabat negara dalam persidangan untuk kepentingan-kepentingan peradilan. Dan para penguasa wajib patuh terhadap segala ketentuan yang diputuskan oleh hakim.
Kekuatan Lembaga Peradilan
Salah satu kisah yang termasyhur ialah kisah Amirul Mukminin, Ali bin Abu Thalib dengan seorang yang beragama Nasrani. Dikisahkan oleh Ibnu Katsir, bahwa Ali bin Abu Thalib mengadu kepada seorang hakim bernama Syuraih.
Ia mengadukan bahwa baju besi miliknya di tangan seorang Nasrani, ia berkata, “Baju besi ini adalah bajuku. Aku tidak pernah menjualnya dan tidak pernah menghibahkannya.” Syuraih pun bertanya kepada Nasrani tersebut, “Apa tanggapanmu terhadap perkataan Amirul Mukminin?” Orang Nasrani pun berkata, “Baju besi itu tidak lain adalah milikku, walaupun Amirul Mukminin itu bukan orang yang pendusta.”
Berikutnya Syuraih pun menoleh kepada Khalifah Ali. Ia berkata, “Wahai Amirul Mukminin, apakah anda memiliki bukti dalam kaitan masalah ini?” Ali pun tersenyum lalu berkata, “Syuraih benar, aku tidak memiliki bukti.” Maka Syuraih memutuskan bahwa baju besi tersebut menjadi milik orang Nasrani tersebut.
Orang Nasrani lantas mengambil baju besi tersebut, dan maju melangkah, lalu ia kembali. Dan ia pun berkata, “Ketahuilah, aku bersaksi bahwa ini adalah hukum para Nabi (benar-benar adil). Amirul Mukminin menggugatku kepada hakimnya (bawahannya) dan hakimnya memenangkanku atasnya. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah. Demi Allah, baju besi itu adalah milikmu wahai Amirul Mukminin.”
“Kekuatan yang dimiliki lembaga peradilan Islam dan keadilan yang dirasakan oleh orang Nasrani tersebut membuatnya takjub dengan hukum yang diputuskan oleh hakim Syuraih, walaupun keputusan ini merugikan Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib. Setelah meyakini keagungan peradaban Islam dan keadilannya, ia segera kembali lagi dan menyatakan bergabung dengan agama yang mulia dan peradaban yang agung ini,” demikian ungkap Prof. Raghib As-Sirjani dalam bukunya, Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia.
Sengketa Masa Abbasiyah
Pada masa Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur berkuasa pernah terjadi persengketaan tanah antara sang khalifah dengan seorang rakyat yang berprofesi sebagai pedagang. Peristiwa ini terdokumentasi melalui suratnya kepada hakim kota Bashrah yang bernama Sawar bin Abdillah.
Khalifah berkata dalam suratnya, “Lihatlah tanah yang disengketakan antara fulan sang pemimpin dan fulan sang pedagang. Lalu menangkanlah sang pemimpin atas sang pedagang.” Sawar yang merupakan seorang hakim dia menjawab, “Sesungguhnya bukti yang aku temukan harus membuatku memenangkan pedagang. Karena itu, aku tidak akan menyita tanah dari pedagang kecuali dengan adanya bukti.”
Khalifah Al-Manshur pun menulis dalam suratnya lagi, “Demi Allah yang tidak ada tuhan selain Dia, kamu harus menyerahkannya kepada sang pemimpin!” Sawar lantas membalasnya kembali dengan mengatakan, “Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia, aku tidak akan mengambilnya dari tangan pedagang kecuali dengan hak.” Ketika balasan tersebut sampai, sang Khalifah berkata, “Demi Allah, aku akan mematuhinya demi keadilan dan para hakimku mengembalikanku kepada kebenaran.”
Persengketaan antara rakyat dan penguasa tidak hanya itu saja, dalam Tarikh Al-Khulafa, karya As-Suyuthi ketika Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur memerintahkan para petugasnya untuk mengangkut barang-barang ke negeri Syam. Namun, para petugas merasa keberatan dengan tugas tersebut. Akhirnya, petugas tersebut menyampaikan keluhannya kepada hakim Muhammad bin Imran.
Khalifah Al-Manshur pun dipanggil ke pengadilan. Sebelum datang, ia berpesan kepada sekretarisnya agar ia tidak memanggilnya dengan sebutan khalifah, akan tetapi nama aslinya saja. Ia pun memenuhi panggilan sang hakim. Ketika tiba di pengadilan, sang hakim memperlakukannya sama seperti memperlakukan orang lain. Ia tidak berdiri untuk menyambutnya. Setelah melakukan persidangan, hakim memutuskan memenangkan para pengangkut barang-barang.
Setelah persidangan selesai, hakim berdiri untuk memberikan ucapan salam kepada Khalifah Abu Jafar Al-Manshur sebagai khalifah dan Amirul Mukminin. Dan khalifah pun mendukung semua tindakan hakim, mendoakan keberkahan terhadapnya, dan memberikan hadiah sepuluh ribu dinar kepadanya.
Adilnya seorang hakim dalam memutus suatu perkara membuat para khalifah sangat hormat dan segan terhadap hakim. Para khalifah pun tidak menunjukan sikap arogan terhadap hukum-hukum peradilan. Mereka patuh dan taat terhadap hukum formal tentang aturan-aturan dalam beracara di persidangan.
Sikap ini ditunjukan pula generasi setelahnya, khalifah ketiga Dinasti Abbasiyah, Khalifah Al-Mahdi yang wafat pada tahun 169 H. Suatu ketika khalifah bersengketa dengan lawan-lawannya di Kota Bashrah. Lawan-lawan khalifah ini mengadukan persoalannya kepada hakim di Kota Bashrah yang bernama Abdullah bin Al-Hasan bin Al-Anbari.
Ketika khalifah Al-Mahdi datang ke persidangan, Hakim Abdullah bin Al-Hasan hanya menundukan kepalanya ke tanah, lawan-lawan khalifah duduk di majelis persidangan. Seusai persidangan, sang hakim berdiri untuk menuju sang khalifah Al-Mahdi. Sang khalifah berkata, “Demi Allah, jika kamu berdiri ketika aku datang kepadamu, pasti aku akan memecatmu dan jika kamu tidak berdiri ketika persidangan selesai, pasti aku akan memecatmu.”
Hakim dan Ancaman Pemakzulan
Lantas, bagaimana kalau ada khalifah atau pejabat yang mangkir dari panggilan pengadilan? Para hakim memiliki wewenang penuh dalam menegakan keadilan, tak jarang mereka bisa mengancam mereka dengan pemakzulan. Atau mereka akan melemparkan masalah ini kepada rakyat umum secara terbuka.
Kisah ini ditulis oleh Prof. Raghib, terjadi pada masa Dinasti Abbasiyah. Ketika seorang hakim di Baghdad menyurati Khalifah Abbasiyah dan mengancamnya dengan pemecatan. Ancaman ini diberikan untuk memperingatkan kepada khalifah jika ia tidak taat terhadap hukum-hukum peradilan syara’.
Surat tersebut sangat keras pesannya, “Ketauhilah, sesungguhnya kamu tidak mampu untuk memecatku dari kekuasaan yang telah diberikan Allah kepadaku. Sedangkan, aku mampu menulis surat ke Khurasan dengan dua atau tiga kata untuk memecatmu dari jabatan khalifah.”
Dari kisah-kisah yang terjadi di atas, kita bisa menarik beberapa kesimpulan.
Pertama, dalam peradilan Islam saat itu telah dikenal dengan pemanggilan terhadap pihak-pihak yang berperkara.
Kedua, menunjukkan bahwa lembaga peradilan memiliki kekuatan dan kebebasan yang jelas.
Ketiga, bahwa semua orang sama di hadapan hukum tidak ada perbedaan antara orang kuat, lemah, kaya dan miskin.
Keempat, menunjukan bahwa proses penyelesaian suatu perkara dan pengambilan keputusan berlangsung cepat.
Berbagai kisah di atas sekaligus menunjukan kepada kita semua bahwa masyarakat Islam telah menikmati keadilan dalam naungan peradilan yang mulia. Suasana keadilan yang ada mendorong peradaban Islam mengalami suatu kemajuan pesat.
Penulis: Kukuh Subekti
Redaktur: Tori Nuariza