ISLAMTODAY ID — Indonesia dalam sejarahnya pernah mengalami masa dimana buruh menjadi sumber basis massa yang diperhitungkan. Terutama pada awal-awal kemerdekaan, 1940-an hingga 1960-an.
Kaum buruh keberadaannya bahkan dipandang penting oleh partai-partai politik saat itu. Baik partai yang berhaluan Islam maupun berhaluan Komunis.
Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) sangat khawatir dengan kuatnya dominasi Partai Komunisme Indonesia (PKI) dalam dunia perburuhan masa itu. Tidak jarang para buruh muslim pun bergabung dalam organisasi buruh mereka yang bernama Sentral Organisasi Buruh Indonesia (SOBSI) sejak 1945.
Musyawarah Masyumi tahun 1948 mulai memandang serius masalah ini. Saat itu para tokoh Masyumi, ulama-ulama dan buruh bersama-sama membahas perlu tidaknya buruh organisasi buruh muslim untuk mengcounter gerakan komunis di Indonesia.
“Tokoh-tokoh Ulama dan tokoh-tokoh serikat buruh pada tahun 1948 di sekitar sebelum pendirian SBII (Serikat Buruh Islam Indonesia). (Membahas) perlu tidaknya berdiri serikat buruh Islam,” kata Alumni Ilmu Sejarah UNS, Agfa Adityo Satriyo Kuncoro dalam tulisannya yang dimuat dalam wartamuslimin pada (1/5/2018).
Ia menambahkan para tokoh Partai Masyumi semakin tersadarkan ketika menjelang Pemilu 1955. Dimana sikap politik mereka tidak akan sempurna tanpa melibatkan kalangan buruh.
Mereka khawatir dengan fenomena buruh yang bekerja pada majikan muslim tapi justru bergabung dengan organisasi serikat buruh milik PKI. Bahkan yang lebih menyedihkan mereka lebih mematuhi komando PKI daripada Masyumi yang partai Islam.
“Pemimpin Masyumi (sadar) betapa kurang lengkapnya politik Masyumi dengan menelantarkan organisasi buruh dan tani,” terang Agfa.
Agfa menjelaskan gerakan SBII sebagai upaya perlawanan terhadap gerakan komunisme tidak bisa dilepaskan dari aktualisasi nilai-nilai dalam Al-Qur’an. Misalnya pandangan Al-Qur’an terhadap kapitalisme dalam surat At-Takatsur 1-2 dan surat Al-Baqarah ayat 193 tentang solidaritas sesama buruh.
Kiprah SBII (Serikat Buruh Islam Indonesia)
Serikat buruh muslim pertama ini resmi didirikan di Solo pada 27 November 1948. Organisasi ini diprakarsai oleh tokoh Masyumi yang juga mantan aktivis buruh pada era pra kemerdekaan yang bernama Soekiman Wirjosandjojo.
SBII mungkin umurnya hanya seumur jagung, namun kepeduliannya terhadap nasib para buruh terus diupayakan. Mereka dalam perjuangannya melakukan aksi langsung dan tidak langsung.
Aksi langsung yang dilakukan oleh SBII ini terjadi dalam beberapa peristiwa penting di dunia perburuhan Indonesia. Misalnya ketika mereka yang dikenal sebagai organisasi anti mogok kerja terpaksa melakukan mogok kerja.
“Misalnya, pada Oktober 1951, SBII Kring Super Motor Jakarta melakukan aksi mogok untuk menuntut premi beras dan libur tahunan,” ujar Agfa.
Aksi mereka lainnya ialah kemampuan mereka dalam membangun narasi lewat media massa. SBII termasuk organisasi buruh yang beruntung karena bisa memanfaatkan jaringan media yang dimiliki oleh Masyumi.
Beberapa artikel tokoh-tokoh SBII seperti Muhammad Dalyono (ketua umum kedua SBII) dan S. Narto (Sekretaris Jenderal SBII) dimuat dalam Majalah Hikmah edisi tahun 1952. Bahkan sang Sekjen SBII mampu menguasai dua media sekaligus yakni Suara Politik Masyumi.
“(S. Narto) juga menulis seri ilmu perburuhan di Suara Partai Masyumi hingga 7 jilid,” jelas Agfa.
Lewat Majalah Hikmah, kedua tokoh tersebut banyak mengangkat aspirasi para buruh. Dari mulai menjabarkan sejumlah permasalahan para buruh hingga gagasan mereka dalam mengatasi suatu permasalahan.
S. Narto misalnya dalam Majalah Hikmah edisi tahun 1952 No.24 mengangkat isu tentang perlunya pemberian hadiah lebaran (THR). Wacana ini tidak bisa dilepaskan dari maraknya aksi mogok kerja yang terjadi setiap jelang lebaran.
“Agar tidak setiap menjelang lebaran terjadi pemogokan yang merugikan banyak pihak, S. Narto merekomendasikan agar dari pengusaha yang kaya dibagikan zakat fitrah kepada buruh yang dapat dimasukkan ke dalam golongan penerima zakat,” ujar Agfa.
SBII juga melakukan sejumlah upaya untuk menggalang dukungan dari organisasi lain, terutama dari kalangan muslim. Pada tahun 1957, SBII menjalin kerjasama dengan organisasi internasional seperti International Confederation of Free Trade Unions (ICFTU) yang bertentangan dengan organisasi komunis internasional.
“SBII juga aktif mengadakan hubungan-hubungan dengan gerakan-gerakan serikat buruh di negeri-negeri muslim lainnya,” jelasnya.
Kiprah Serikat Buruh Muslimin Indonesia (SARBUMUSI)
Organisasi buruh yang satu ini berdiri di Kota Sidoarjo, Jawa Timur pada 19 Shafar 1375 H, bertepatan dengan 27 September 1955 M. Organisasi yang dirintis oleh para ulama dan kiai Nahdlatul Ulama (NU) ini juga sama menaruh kepedulian terhadap para kaum buruh.
Dilansir dari NU online edisi 1 Mei 2016, dijelaskan jika kelahiran Sarbumusi tidak bisa dilepaskan dari maraknya kelahiran organisasi buruh di bawah partai politik. Mulai dari Sentral Organisasi Boeroeh Indonesia (SOBSI) oleh PKI pada 1945, SBII oleh Masyumi pada 1948 dan Kesatoean Boeroeh Kerakjatan Indonesia (KBKI) oleh Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 1952.
Kehadiran Sarbumusi sendiri yang tidak kalah penting ialah untuk mengurangi pengaruh komunis di Indonesia yang saat itu kian meresahkan. Sebab hingga tahun 1950-an, sebanyak 60% anggota serikat buruh Indonesia berasal dari SOBSI milik PKI.
Pada masanya, Sarbumusi juga kerap melakukan kritik kepada pemerintahan Orde Baru yang dinilai mirip Orde Lama. Salah satunya ialah masalah pemutusan hubungan kerja bagi para buruh di BUMN.
Sementara itu dikutip dari laman resmi sarbumusi pada Sabtu (1/5/2021), Sarbumusi sempat mengalami kevakuman pasca politik represif orde baru. Organisasi buruh yang sempat berjaya pada 1973 silam ini akhirnya aktif kembali pasca 1998.
Sarbumusi berusaha untuk bisa mengembalikan kejayaannya di masa silam. Salah satu upaya yang mereka lakukan ialah dengan melakukan Kongres Akbar ke V pada 2016.
“Sarbumusi lewat Musyawarah Pimpinan Nasional (Muspimnas) di Lembang Bandung mendeklarasikan sebagai Konfederasi Sarbumusi. Deklarasi Konfederasi Sarbumusi ini kemudian dikukuhkan pada Kongres Akbar ke V Mei 2016,” tulis mereka dalam laman resminya.
Federasi buruh dalam Sarbumusi ini ialah gabungan dari buru-buruh di berbagai sektor di Indonesia. Mulai dari sektor migas, tambang, kimia, kesehatan dan farmasi hingga para tenaga kerja Indonesia di luar negeri.
Hingga kini Sarbumusi telah tersebar di 14 provinsi se-Indonesia dan 213 kabupaten/ kota.
Penulis: Kukuh Subekti