ISLAMTODAY — Lebaran Idul Fitri di Indonesia terutama di masyarakat Jawa identik dengan tradisi sungkeman. Sungkeman dalam istilah sederhana dimaknai dengan aktivitas berjabat tangan sambil bersimpuh kepada orang tua atau yang dituakan.
Tradisi sungkeman di Indonesia sejauh penelusuran yang dilakukan memang belum ada riwayat yang pasti. Namun istilah sungkeman sangat lekat dengan masyarakat Jawa, terutama dari sisi kebahasaan.
Sungkeman berasal dari kata sungkem (bahasa-Jawa) yang bermakna bersimpuh seraya mencium tangan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sungkem berarti sujud, tanda bakti dan hormat.
Deretan Makna Sungkeman
Budaya sungkeman setidaknya memiliki sederet makna yang berkonotasi baik, antara lain sebagai sarana melatih kerendahan hati, lantaran membawa seseorang untuk menghilangkan sikap egoisme, melalui gestur merendah dan menyembah kepada orang yang lebih tua.
Makna kedua adalah wujud terima kasih seorang calon pengantin, kepada orang tua dan para pini sepuh, atas perlindungan, pengayoman serta bimbingan dan nasihat yang diberikan, sedari mula lahir hingga jelang pernikahan.
Ketiga, sungkeman dilakukan sebagai wujud rasa sesal dan permintaan maaf atas segala dosa yang pernah dilakukan, baik sengaja maupun tidak sengaja. Sebuah jalinan yang telah rusak lantaran sakit hati, diharapkan bisa pulih kembali lewat ritual sungkeman.
Makna keempat dari sungkeman adalah sebagai ritual penyadaran diri. Anak-anak muda diajak dan diingatkan kembali tentang bagaimana seharusnya memperlakukan orang tua, terutama kepada ayah dan ibunda, dilansir dari faktual co.
Berikut ini penjelasan mengenai tradisi sungkeman yang berlangsung di masyarakat muslim di Jawa. Penjelasan ini tidak bisa dilepaskan dari sisi historis tradisi sungkeman yang akhirnya banyak dipraktikkan oleh masyarakat umum di Indonesia bahkan di tengah pandemi Covid-19.
Akulturasi Islam dan Budaya Jawa, Kearifan Para Ulama
Almarhum Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, Umar Kayam menyebut tradisi sungkeman sebagai bagian dari akulturasi kebudayaan. Akulturasi budaya yang dimaksud adalah Islam dan budaya Jawa.
Jika ditelusuri sejarahnya, tidak diketahui pasti kapan dan di mana tradisi sungkeman lebaran bermula. Namun, seorang budayawan senior dari Universitas Gadjah Mada Dr. Umar Khayam (alm) pernah memberikan pandangan akademiknya perihal awal mula prosesi yang lekat di masyarakat Jawa ini.
Prosesi sungkeman merupakan bagian dari akulturasi budaya Jawa dan Islam, sama seperti budaya mudik dan perayaan lebaran. Kearifan para ulama di Jawa mampu memadukan kedua budaya demi kerukunan dan kesejahteraan masyarakat saat itu.
Sedari awal sungkem telah dilakukan anak-anak Jawa kepada orang yang lebih tua, sebagai bentuk penghormatan kepada orang yang lebih tua atau dituakan.
Sementara para ulama yang ingin agar tujuan puasa Ramadan tercapai, memantik budaya saling memaafkan secara massal, dengan harapan dosa-dosa dan kesalahan yang mungkin dilakukan antar manusia, dapat terhapus dan berguguran.
Ide tersebut kemudian dijalankan secara kolektif, hingga menjadi sebuah kebudayaan di masyarakat Nusantara, seiring berkembangnya Islam ke segala penjuru waktu itu.
Pendapat Umar Kayam yang notabenenya adalah bagian dari priyayi Jawa tersebut kemudian banyak dikutip oleh berbagai pihak dan media. Salah satu pihak yang mengutip pendapat tersebut adalah Guru Besar Filsafat Jawa yang sekaligus Mantan Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Sutrisna Wibawa.
“Kedudukan tradisi sungkeman tidak memperlihatkan rendahnya derajat seorang manusia di antara sesama. Namun, menyimbolkan kemuliaan akhlak dalam hubungan sosial. Tujuan utama tradisi ini sebetulnya bukan hanya permohonan maaf atas kesalahan dan kelalaian. Melainkan juga tanda penghormatan kepada orang lain yang telah memberikan teladan dan hikmah kehidupan,” ujar Sutrisna sebagaimana dimuat dalam rubrik Analisis Kedaulatan Rakyat (KR) Senin (10/5/2021).
Sutrisna mengibaratkan lebaran Idul Fitri tanpa disertai dengan sungkeman bagaikan sayur tanpa garam. Menurutnya dalam alam pikiran manusia Jawa sungkeman pada perayaan Idul Fitri itu mengingatkan mereka terhadap asal usul mereka.
“Sungkeman bagi alam pikiran tradisi dan budaya Jawa itu…wujud penghayatan orang Jawa atas realitas sangkan paraning dumadi (asal-usul kehidupan). Fenomena tersebut membuktikan khazanah kebudayaan Jawa yang bersifat konstruktif, teoritis, dan filosofis,” jelas Sutrisna.
Ia menambahkan pemahaman yang utuh akan hakikat diri ini membuat masyarakat muslim di Jawa menunjukan adanya ikatan kultural yang kuat. Tradisi sungkeman tersebut sekaligus menjadi bukti bahwa mereka ingin menunjukan sisi keseimbangan, keselarasan dan keserasian dalam hidup sehari-hari.
“Ikatan kultural yang mewujudkan tradisi sungkeman sesungguh-nya menunjukkan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian kehidupan sehari-hari. Itulah sebabnya, orang harus mudik karena keterikatan budaya yang telah menjadi prinsip hidup,” ujarnya.
Tradisi Sungkeman dan Walisongo
Sementara itu almarhum Guru Besar Sejarah Politik Islam UNS, Hermanu Joebagio pada tahun 2016 silam juga telah menjelaskan tentang tradisi sungkeman. Menurutnya tradisi sungkeman bagi orang Islam di Jawa memiliki makna yang sangat penting.
Ia menambahkan momentum setahun sekali yang dilakukan setiap Idul Fitri tiba ini juga diwajibkan oleh salah satu walisongo.
“Salah satu di antara walisongo meminta agar orang Islam pulang ke rumah orang tua untuk ‘sungkem’ pada saat hari lebaran tiba,” ungkap Hermanu yang dikutip dari republika (6/7/2016).
Sungkem kepada orang tua sebagai wujud permintaan maaf dan ucapan terima kasih seorang anak kepada orang tua. Pada momentum tersebut juga biasanya dilakukan sebagai bentuk permintaan doa restu.
Tradisi sungkeman di kalangan masyarakat muslim Jawa sekaligus menjadi kearifan lokal umat Islam di Jawa. Sebab di jazirah Arab, perayaan terbesarnya jatuh pada hari raya Idul Adha bukan Idul Fitri.
“Perayaan Idul Fitri dengan mudik dan sungkem memang tak dilakukan di Arab. Di sana yang dirayakan secara besar-besaran adaah Idul Adha,” tuturnya.
Prof. Hermanu pada waktu itu juga memberikan penjelasan tentang sungkem. Sungkem artinya silaturahmi dengan datang berkunjung ke rumah orang tua untuk minta maaf dan minta doa restu.
Bahkan tradisi sungkem tidak hanya berlaku kepada orang tua yang masih hidup. Bagi orang tua mereka yang telah tiada, anak-anaknya akan datang mengunjungi makam orang tuanya untuk melakukan tradisi sungkem.
“Bila salah satu di antara mereka sudah ada yang meninggal dunia, maka para anak yang mudik itu kemudian pergi ke makam mereka. Di sana mereka mengucapkan doa agar orang tua yang di makamkan tersebut mendapat ampunan dan lindungan dari Allah Swt,” jelasnya.
Penulis: Kukuh Subekti
Redaktur: Tori Nuariza