Penderitaan rakyat Palestina dalam beberapa pekan terakhir akibat bombardir roket Israel menggugah kembali simpati dunia internasional, termasuk Indonesia. Jauh sebelum Indonesia merdeka, para ulama dan umat Islam Indonesia telah memberikan perhatian serius kepada rakyat Palestina.
Seolah mengulang sejarah, Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) kembali menyerukan agar umat Islam di Indonesia membaca qunut nazilah untuk rakyat Palestina (16/5/2021). Imbauan serupa, sebelumnya pernah diserukan kepada umat Islam di Indonesia.
Seruan dan imbauan yang dilakukan PBNU tahun 1938 silam membuat Belanda merasa gusar. Mereka bahkan memanggil pimpinan PBNU untuk memberitahukan mengenai larangan qunut nazilah.
Fatwa Qunut Nazilah
Salah satu fakta sejarah yang menunjukan kepedulian dan solidaritas umat Islam Indonesia ditunjukan langsung oleh Pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari. Semasa hidupnya ia mengeluarkan fatwa khusus tentang qunut nazilah.
Qunut nazilah menurut Kementerian Agama (Kemenag) dalam situs resminya ialah doa yang disampaikan khusus ketika mengalami musibah besar. Salah satu contohnya datangnya wabah penyakit atau bencana alam yang menimbulkan banyak korban.
Qunut secara bahasa berarti taat, diam atau berdoa. Sementara nazilah artinya musibah yang besar. Oleh karenannya qunut nazilah berarti doa yang diucapkn saat i’tidal dalam shalat ketika terjadi musibah besar.
Fatwa seruan pembacaan qunut nazilah untuk Palestina tersebut dimuat dalam Majalah “Berita Nahdlatoel Oelama” edisi tahun 1938.
“Dalam Majalah ‘Berita Nahdlatoel Oelama’ (BNO) edisi No. 22, tahun ke-7 (20 Redjeb 1357 H/ 15 September 1938 M) termuat fatwa Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari yang menyerukan dibacakannya do’a qunut nazilah sebagai bentuk solidaritas sesama umat Muslim atas peristiwa yang terjadi di Palestina,” tulis Dosen Pascasarjana Fakultas Islam Nusantara, Universitas Nahdlatul Ulama (UNU), Ahmad Ginanjar Sya’ban di laman facebooknya pada Sabtu (15/5/2021).
Belanda Takut
Fatwa yang disampaikan oleh Kiai Hasyim Asy’ari itu lantas ditindaklanjuti oleh Ketua PBNU, Mahfudz Shiddiq. Dilansir dari nuorid (30/6/2020) PBNU pada 19 Ramadhan 1357/12 November 1938 melakukan seruan untuk melawan kejahatan zionis Israel di bumi Palestina.
Seruan ini sebagaimana dimuat dalam buku ‘Berangkat dari Pesantren’ karya Kiai Haji Saifuddin Zuhri berisi ajakan kepada seluruh elemen bangsa Indonesia untuk bersikap tegas terhadap Israel. NU pada waktu itu menyerukan agar umat Islam bahu membahu memperjuangkan kemerdekaan bagi rakyat Palestina.
Rupanya seruan bela perjuangan Palestina yang digaungkan oleh PBNU tidak disenangi pemerintah Belanda. Pada 27 Januari 1939, Kiai Mahfudz Shiddiq dipanggil oleh Bupati Surabaya (saat itu pimpinan pusat NU masih di Jawa Timur).
Pada undangan tersebut diberitahukan jika pemerintah Belanda melalui Hoofd Parket (setingkat Jaksa Agung) melarang anjuran qunut nazilah, aksi galang dana serta kegiatan Pekan Rajabiyah.
Mendengar hal itu Haji Agus Salim dari Partai Sarekat Islam Indonesia tidak terima dan membela PBNU. Ia menuliskan belaanya dalam surat kabar Tjahaja Timoer.
Kiai Hasyim Asy’ari pun tidak tinggal diam dengan larangan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda. Dilansir dari Hidayatullah (7/6/2014), ia dalam pidatonya dalam forum Muktamar NU ke-14 di Magelang pada 14 Jumadil Ula 1358 H/ 1 Juli 1939 M membantah tuduhan Belanda.
Saat itu sang kiai dalam pidato bahasa Arabnya mengungkapkan bahwa qunut nazilah bukan untuk menghina golongan lain sebagaimana yang dituduhkan pemerintah Belanda. Do’a qunut nazilah adalah wujud solidaritas yang ditujukan kepada sesame muslim.
“Tetapi para pembesar pemerintah melihatnya tidak seperti yang dilihat Nahdlatul Ulama, sebab itu melarang kita mengerjakan hal-hal yang telah lalu, yang telah kita lewati selama ini,” (Kiai Haji Saifuddin Zuhri-2013).
Dalam sejarahnya seruan qunut nazilah juga pernah diserukan kembali setelah Indonesia merdeka yakni pada 1948.
Dilansir dari nuonline (25/7/2017) pembacaan do’a qunut nazilah dibacakan berturut-turut selama setahun. Tepatnya setelah PBB secara sepihak meresmikan berdirinya negara Israel pada tahun 1948.
Palestina 1938
Peristiwa mencekam pada tahun 1938 di Palestina inilah yang akhirnya memantik keluarnya fatwa qunut nazilah. Bermula dari serangkaian pendudukan Israel pada tahun tersebut yang juga disertai dengan pada munculnya korban jiwa.
Pendudukan Israel di Palestina pada tahun 1938 banyak menimbulkan korban jiwa, peristiwa tersebut juga berlangsung dengan intensitas yang cukup sering. Dilansir dari berbagai sumber saat itu rakyat Palestina mengalami pembantaian secara terus menerus mulai dari insiden di Desa Sa’sa (14/2) menghancurkan 20 rumah warga dan menyebabkan 60 orang meninggal.
Beberapa bulan kemudian di bulan Juli, pembantaian di Pasar Haifa (6/7) dengan 21 orang meninggal dan 52 orang luka-luka. Terjadi pelemparan granat di area masjid Al-Quds (15/7) yang merenggut 10 nyawa dan melukai 30 orang.
Masih di bulan Juli, dengan meledakan dua bom di pasar (25/7), Israel hilangkan nyawa 62 warga Palestina dan melukai ratusan warga lainnya. Selang sebulan kemudian tepatnya (26/8) ledakan terjadi di pasar Al-Quds yang menewaskan 34 orang dan melukai 35 orang lainnya.
Dukungan Pers
Kondisi yang mencekam di tanah suci Palestina saat itu pun terdengar hingga ke Indonesia. Meskipun pada saat yang sama Indonesia masih dalam jajahan Belanda, namun tidak menyurutkan rasa solidaritas sesama muslim.
Seruan PBNU untuk membela perjuangan Palestina tidak terbatas pada kalangan ormas Islam dan partai Islam saja. Elemen lain di luar ormas seperti organisasi wartawan seperti Warmusi (Wartawan Muslimin Indonesia) juga diminta mengikuti anjuran tersebut (nuonline, 25/7/2017).
Salah satu pers yang vokal membela Palestina ialah Majalah BNO. BNO (1931) merupakan majalah ketiga milik NU setelah Swara Nahdlatoel Oelama yang terbit pada 1927 dan Oetoesan Nahdlatoel Oelama (1928).
Isu terkait Palestina mulai ramai diperbincangkan di tanah air setelah majalah BNO menyerukan dukungan atas perlawanan rakyat Palestina. Dilansir dari majalah Mimbar Ulama edisi No.2/1440H/2019, majalah BNO merupakan majalah berbahasa Indonesia yang juga memiliki rubrik berita berbahasa Arab dan Arab Pegon.
Pada tahun 1936, BNO menyerukan seruan dukungan perlawanan Palestina. Seruan ini dilakukan setelah syahidnya ulama pejuang Palestina, Syaikh Izuddin Al-Qasam pada tahun 1935.
BNO menuliskan bentuk dukungan mereka terhadap Palestina dalam medianya. Tidak hanya menyatakan dukungan pada perjuangan Palestina mereka juga mengajak umat Islam di Indonesia untuk terlibat dalam aksi penggalangan dana.
“BNO menulis tentang pembelaan itu dengan mengajak serta semua ormas Islam yang ada dengan pengumpulan dana dan ajakan qunut nazilah,” dikutip dari majalah Mimbar Ulama edisi No.2/1440H/2019 halaman 23.
Rupanya seruan BNO belum mendapatkan sambutan yang signifikan dari ormas-ormas Islam lainnya di Indonesia. Saat itu seruan yang berisi dukungan terhadap Palestina ini hanya disambut oleh Sarekat Islam (SI) dan NU selaku organisasi tempat BNO bernaung.
Demi respon yang semakin positif maka seruan BNO dibawa ke dalam forum Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI). Forum tersebut terdiri dari unsur ormas dan partai Islam seperti NU, Muhammadiyah, PERSIS, Jong Islamieten Bond, Partai Islam Indonesia, Partai Arab Indonesia dll.
Kongres MIAI tahun 1939 pun mewajibkan seluruh anggotanya, ormas Islam di Indonesia bersama-sama melakukan penggalangan dana untuk Palestina. Peristiwa ini diabadikan dalam Berita NU No.24 tanggal 2 Ramadhan 1358 H/ 15 Oktober 1939.
Penulis: Kukuh Subekti