ISLAMTODAY ID — Memahami peristiwa dan setting historis Islamisasi Jawa, dan Nusantara adalah sesuatu hal yang penting dan mendasar, untuk mengetahui bagaimana peran Islam di dalam membentuk sebuah peradaban baru yang lebih baik.
Pulau Jawa sebelum datangnya Islam bukanlah pulau yang kosong tanpa peradaban dan tanpa agama sama sekali. Justru ketika para ulama mulai secara masif berdakwah ke Jawa pada akhir Abad 15 M, masyarakat Jawa secara umum memiliki suatu sistem kepercayaan yang disebut Tantrisme atau Bhairawa Tantra. Dengan tradisi ritual yang sangat mengerikan dan menjijikan, seperti praktik kanibalisme dan minum darah segar seorang perawan.
“Nah ulama kita dulu ketika mereka datang ke Nusantara, datang ke Pulau Jawa terutama di wilayah-wilayah pedalaman, maka yang mereka dakwahi di antaranya adalah para pengikut agama Bhairawa Tantra. Nah oleh karena itu ulama-ulama yang datang ke negeri kita mereka adalah orang-orang yang hebat, orang-orang yang ketika datang ke sini berani berkorban bukan hanya harta, bahkan jiwa dan raga pun mereka korbankan,” Kata Dr. Muh Isa Anshory, dalam sebuah kajian virtualnya, (24/4/2020).
Bhairawa Tantra, Legitimasi Kekuasaan Raja Pra Islam
Salah satu bukti adanya pengaruh ajaran Bhairawa Tantra dalam masyarakat Jawa terutama kalangan bangsawan Jawa saat itu dapat kita ketahui melalui bangunan Candi Sukuh dan Candi Cetho yang terletak di Kabupaten Karanganyar.
Kemungkinan besar kedua candi ini dibangun pada masa akhir Majapahit. Candi ini dibangun ketika Majapahit dalam situasi kekacauan karena perebutan kekuasaan setelah wafatnya Hayam Wuruk. Ritual Bhairawa Tantra merupakan salah satu cara untuk memperoleh legitimasi kekuasaan seorang raja ketika itu.
Setting peristiwa yang terjadi saat itu, terekam dengan sangat jelas dalam relief candi serta patung-patungnya yang sangat porno, contohnya adalah keberadaan patung alat kelamin. Para pemeluk ajaran Bhairawa Tantra menganggap bahwa hubungan badan secara beramai-ramai merupakan bagian dari ritual ibadah yang mereka yakini. Ritual ibadah tersebut menurut penganut aliran Bhairawa Tantra adalah bagian dari ajaran Ma Li Ma atau Panca Makara Puja.
Ajaran Panca Makara Puja itu terdiri atas Ma Li Ma (dalam dialek Jawa dibaca ‘o’ Mo Li Mo-RED), yakni Matsya yang artinya ikan, Mamsya artinya daging, Madhya artinya minuman, Mudra artinya tarian dan Maithuna artinya upacara seksual. Panca Makara Puja adalah praktik ibadah dari kepercayaan Bhairawa Tantra yang bertujuan untuk mencapai moksa atau kebebasan dengan cara yang singkat dan sebanyak-banyaknya.
Sebagai kepercayaan hasil dari sinkretisme ajaran lokal Jawa dengan kepercayaan yang datang dari India banyak pihak di luar sekte mereka menganggap apa yang mereka lakukan adalah perbuatan dosa dan terlarang.
“Hal ini sebagai usaha agar manusia bisa secepatnya meniadakan dirinya sendiri dan mempersatukan dirinya dengan dewanya yang tertinggi. Ritual mereka bersifat rahasia dan sangat mengerikan yaitu menjalankan lima Ma, atau Mo Li Mo atau sering disebut Panca Makara Puja” jelasnya.
Menurut Isa Anshory, untuk melaksanakan ritual Ma Li Ma para pengikut aliran Bhairawa Tantra akan berkumpul di sebuah lapangan. Lapangan tersebut merupakan tempat yang biasanya digunakan untuk melakukan persembahan kepada dewa dengan melakukan penyembelihan seorang perawan.
Ritual menjijikan sebelum pembakaran mayit adalah minum darah segar perawan yang disembelih dengan menggunakan cawan yang terbuat dari tengkorak manusia. Setelah itu mereka melakukan makan dan minum tuak bersama-sama sembari menari mengelilingi api pembakaran mayit, dan ritual ini pun disudahi dengan melakukan persetubuhan massal yang diikuti dengan semedi.
Bhairawa Tantra merupakan sekte agama yang banyak diikuti oleh para bangsawan, terutama ketika kondisi suatu negeri, kerajaan sedang mengalami kekacauan. Misalnya di masa-masa akhir Kerajaan Singasari dan di masa-masa akhir Kerajaan Majapahit.
Dalam cerita terdapat kisah Raja Kertanegara, yakni Raja Singasari yang terakhir ketika diserbu oleh Raja Jayakatwang dari Kediri, saat itu ia sedang dalam keadaan mabuk-mabukan.
“Sebenarnya mabuknya Kertanegera pada waktu itu, itu bukan mabuk biasa tetapi mabuknya Kertanegara adalah bagian daripada ritual Bhairawa Tantra yang ia kerjakan,” terangnya.
Peradaban Jawa Pra Islam
Menurut Isa Anshory, para leluhur, nenek moyang orang Jawa sudah lama menjalin relasi dengan bangsa dan peradaban luar Jawa jauh sebelum Islam datang. Hal ini terbukti dengan nama Jawa yang sudah dikenal oleh bangsa Mesir, Arab, India, dan China. Contohnya orang-orang India dalam Kitab Ramayana, akan menyebut Jawa dengan nama Jawadwipa. Jawa artinya jawawut atau jenis tanaman seperti gandum, padi dan dwipa artinya pulau, pulau penghasil padi.
“Ini menunjukan bahwa sejak sekian abad lalu di Jawa sudah ada peradaban. Karena kalau kita bicara tentang bagaimana mengembangkan tanaman padi, tanaman padi tidak bisa berkembang sendiri tapi harus dikembangkan dalam sebuah teknologi pertanian,” tuturnya.
Sementara bangsa Mesir mengenal Jawa melalui ahli geografi Mesir bernama Claudius Ptolomeus menyebut Jawa dengan nama Iabadiu atau pulau padi. Pada masa lalu penyebutan Jawa itu juga diberlakukan untuk menyebut wilayah Asia Tenggara secara umum.
Sementara untuk bangsa Arab, bahkan sebelum tahun Masehi, mereka telah sampai ke wilayah Kepulauan Melayu ini dengan membangun sebuah koloni di pantai Barat Sumatera.
Di abad ke-9 M, ketika Islam telah muncul di jazirah Arab, Islam menjadi kekuatan politik, muncul tulisan-tulisan dalam bahasa Arab baik oleh orang Arab maupun oleh bangsa Islam yang lain sudah mulai banyak. Dan di dalam literatur tersebut, Jawa disebut dengan Bilad Jawah artinya Negeri Jawa.
“Bahkan hingga abad ke-19 komunitas orang Nusantara yang ada di jazirah Arab sering disebut orang Jawi, alias orang yang berasal dari Asia Tenggara,” jelasnya.
Fakta-fakta di atas menunjukan bahwa, leluhur kita telah berinteraksi dengan bangsa lain jauh sebelum Islam datang. Bahkan mereka telah berlayar ke berbagai penjuru dunia, kea rah Barat mereka berlayar hingga Afrika Timur, dan Madagaskar, sementara ke arah timur orang Nusantara telah sampai ke China.
Bahkan dalam hal perdagangan mereka telah berinteraksi dengan Bangsa Yaman jauh sebelum Islam datang ke Indonesia. Di Jawa juga telah muncul kerajaan, artinya bangsa leluhur Jawa telah memiliki peradaban termasuk dalam hal agama dan kepercayaan.
“Jadi ketika Islam datang, jadi ketika para da’i kita datang ke Jawa, mereka tidak berhadapan dengan orang-orang yang sama sekali tidak memiliki peradaban. Tapi yang mereka dakwahi, yang mereka hadapi ini adalah orang yang punya peradaban tersendiri,” ungkap Isa Anshory.
Sebagai sebuah peradaban orang-orang Jawa telah memiliki agama dan kepercayaan. Agama dan kepercayaan orang Jawa itu adalah kepercayaan terhadap roh leluhur atau animisme. Adapula kepercayaan terhadap benda-benda mati yang memiliki kekuatan atau jimat, selanjutnya adalah agama Hindu dan Budha yang datang dari India.
Penulis: Kukuh Subekti