ISLAMTODAY ID– Berakhirnya kekuasaan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) pada 31 Desember 1799 tidak membuat penderitaan rakyat Indonesia (Hindia-Belanda) berakhir. Hal ini disebabkan oleh dengan hadirnya sejumlah perlawanan dari rakyat kepada pemerintah kolonial, termasuk rakyat Banten.
Penderitaan rakyat Banten justru kian bertambah. Hal ini dilakukan oleh Belanda dibawah pimpinan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda pertama, Herman Willem Daendels (1808-1811).
Ia dikenal sebagai sosok yang diktator, kejam dalam menindas rakyat demi kepentingan pemerintah kolonial.
Setibanya di Banten pada 1 Januari 1808, Daendels mendesak Kesultanan Banten untuk menyediakan tenaga kerja untuk proyek besar bernama jalan raya Anyer-Panarukan.
Di tengah jalan mega proyek kolonial itu muncullah wabah penyakit mematikan dan berbahaya, malaria di Banten. Rakyat Banten mengalami krisis multidimensi yang akut.
Di tengah penyebaran wabah malaria, ancaman kelaparan, rakyat dipaksa melakukan kerja paksa membangun jalan 1000 kilometer.
Belanda bahkan memaksa Kesultanan Banten untuk menyediakan tenaga kerja tambahan. Padahal sebelumnya, 1.500 orang rakyat Banten yang dipaksa kerja itu hampir semuanya meninggal.
Permintaan Daendels yang ditolak oleh Sultan Banten, Sultan Abdul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin atau Sultan Aliuddin II atau Aliyudin II, Sultan Banten ke-18 (1803-1808) ini berakibat pada makin tersudutnya Kesultanan Banten.
Daendels bahkan memberikan batas ultimatum hingga 15 November 1808. Dalam ultimatumnya Daendels mendesak agar Sultan Banten mengirimkan 1000 orang pekerja per harinya.
Selain itu Belanda juga memaksa Banten untuk tunduk pada Belanda dengan mendesak sultan untuk merobohkan istana dan pindah ke Anyer. Permintaan tersebut pun ditolak, istana dihancurkan, dan Sultan Aliudin II pun ditangkap lalu dibuang ke Ambon.
Pajak Era Kolonial di Banten
Sepeninggal sang sultan, Banten memasuki babak baru dalam sejarahnya. Ia tidak lagi berbentuk kerajaan yang berdaulat, sebab raja bekerja di bawah pemerintah kolonial yang bahkan menerima gaji dari mereka.
Selain itu secara administrasi Banten pun telah berubah menjadi kabupaten atau karisidenan. Tidak hanya itu rakyat Banten kini pun harus dibebani dengan kewajiban membayar pajak, terutama pasca penarikan pajak era kolonialisme Inggris.
Sebelum Belanda kembali ke Indonesia (1819), Inggris melalui Gubernur Jenderal Thomas Stamford Rafles (1811-1816) lebih dulu menerapkan kebijakan sewa tanah atau land rent. Semenjak itulah kewajiban membayar atas tanah dipaksakan kepada rakyat di Hindia Belanda, Banten khususnya.
Salah satu kewajiban membayar pajak yang pernah terjadi dalam sejarah rakyat Banten ialah pajak perdagangan perahu. Bahkan kebijakan ini tetap berjalan meskipun protes dan perlawanan telah dilakukan oleh para pemilik perahu.
Pada tahun 1887, Johan Hendrik Hubert Gubbels, seorang Asisten Residen Cilegon, Banten menolak memenuhi permintaan 35 pemilik perahu. Mereka menuntut pemerintah kolonial Belanda menurunkan tarif pajak baru yang diberlakukan untuk mauatan kapal.
Setiap perahu dibebani oleh tarif pajak sebesar 10 gulden untuk setiap tonase, tanpa memperhatikan besar kecil perahi dan tujuan perahu.
Pasca dihapuskannya kebijakan tanam paksa pada 1870, Belanda mulai mengeluarkan kebijakan ekonomi lain di bidang pajak. Meskipun kebijakan penarikan pajak ini dikeluarkan secara bertahap seperti pajak pertanian (1885), pajak pasar (1878), pajak kepala (1882).
Namun dalam situasi krisis akibat wabah, lalu bencana alam membuat kebijakan penarikan pajak ini terlihat sangat kejam dan tidak manusiawi.
Setiap pedagang dipaksa membayar pajak 1 gulden per pedagang, jika mereka melanggar pedagang akan dikenai denda kurungan hingga harus membayar 15 gulden.
Api Jihad Ulama Banten 1888
Jauh sebelum perlawanan ulama terhadap kebijakan belasting (pajak) di Minangkabau dan Kesultanan Bima pada 1908. Para ulama di Banten telah lebih dulu memimpin perlawanan terhadap kolonial.
Mereka melawan kebiadaban penguasa yang tega menyengsarakan rakyat dengan penetapan beban pajak. Mereka menentang kedzaliman dan berbagai kebijakan pajak yang memebebani rakyat, baik itu, pajak pasar (1878), pajak kepala (1882) maupun pajak pertanian (1885).
Para ulama Banten lebih dulu melakukan perjuangan jihad melawan kedzaliman pemerintah kolonial pada tahun 1888. Sejak awal keberadaan Belanda (VOC) telah mendapat perhatian serius dari para ulama Banten, terutama semasa Syekh Yusuf Al-Makassari pada tahun 1680-an.
Pada tahun 1888 aksi heroik melawan penjajah Belanda dibawah komando Kiai Haji Wasyid bin Muhammad Abbas, ia seorang Penasihat di Mahkamah Agung di Cilegon.
Banten merupakan kawasan ekonomi agraris yang sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani. Fakta tersebut pun membuat penulisan sejarah tentang peran ulama dalam perang Banten 1888 dianaktirikan dan diganti dengan aksi perlawanan petani.
Padahal beberapa bulan sebelum pertempuran itu terjadi (1888), para ulama dengan tekun menggembleng masyarakat Banten dengan ilmu bela diri, tepatnya pada Desember 1887.
Peristiwa perang jihad rakyat dan ulama Banten ini terjadi pada tanggal 9 Juli 1888. Selain dipimpin oleh Kiai Haji Wasyid, pada pertempuran tersebut juga hadir dua ulama Banten lainnya yakni Syekh Abdul Karim, dan Kiai Haji Tubagus Ismail.
Serangan dimulai usai shalat subuh dan bergerak dari Cilegon menuju Serang, Banten. Kiai Wasyid selaku pemimpin jalannya peperangan lebih dulu membagi pasukan ke dalam beberapa titik penjuru kota Cilegon.
Pada peperangan ini Belanda berupaya keras menangkap para ulama Banten yang terlibat dalam peperangan. Akhirnya dengan berbagai taktik dan intrik Belanda berhasil menangkap Kiai Wasyid.
Pada tanggal 23 Juli 1888, Ki Wasyid pun akhirnya gugur sebagai seorang syuhada.
Penulis: Kukuh Subekti