ISLAMTODAY ID — Jenderal Sudirman adalah sosok berintegritas dan memiliki prinsip kuat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. sejak awal sangat memahami bahwa sebagai prajurit sejati, tidak diperkenankan untuk berpolitik.
Hal ini diungkapkan oleh Roeslan Abdulgani dalam “Tingkah Laku Politik Panglima Besar Soedirman”, menyitir pernyataan sang jenderal, “Tentara adalah alat Negara. Tentara tidak berpolitik. Politik Tentara adalah Politik Negara.”
Roeslan menambahkan meskipun secara politik ia sepakat dengan gagasan merdeka 100% yang diusung oleh Tan Malaka dan teman-temannya. Namun kesetiaanya tetap ditujukan kepada pemerintah Indonesia.
“Sebagai alat revolusi dan alat negara kepemimpinan kemiliteran Jenderal Soedirman selalu bersikap loyal, sekalipun selalu bersikap kritis dan tidak tanpa protes ke dalam. Inilah yang kemudian menjadi ciri sikap politik Panglima Besar Soedirman,” jelas Roeslan.
Roeslan juga menjelaskan mengapa nama Jenderal Sudirman akhirnya dikaitkan dalam peristiwa 3 Juli 1946. Sepanjang masa revolusi itu sang jenderal kerap terlibat satu forum dengan pihak oposisi.
Pertama ketika Jenderal Sudirman menghadiri Kongres Pertama Persatuan Perjuangan di Purwokerto pada 3-5 Januari 1946. Lalu pawai peringatan enam bulan kemerdekaan di Solo pada 17 Februari 1946.
Selain menghadiri forum Persatuan Perjuangan, Jenderal Sudirman juga hadir dalam forum Laskar Rakyat di Magelang pada 25 Februari 1946. Dimana Tan Malaka pun hadir dalam forum tersebut.
Sebenarnya fokus dukungan sang jenderal dalam berbagai forum tersebut adalah sikap mereka yang ingin agar pemerintah bisa bersikap tegas kepada Belanda. Termasuk kemungkinan menempuh jalur perang.
Sikap politik sang jenderal juga diungkapkan oleh Sastrosatomo, Soebadio dalam Perjuangan Revolusi tahun 1987. Menurutnya yang menjadi ciri khas sikap politik Jenderal Sudirman ialah anti terhadap politik perundingan yang dilakukan oleh pemerintah.
“Anti kepada politik perundingan, itulah yang menjadi ciri sikap politik Panglima Besar Soedirman,” tulis Sastrosatomo.
Selain itu kesuksesan tantara Indonesia dalam mengalahkan tantara sekutu di berbagai pertempuran juga menjadi faktor pendukung.
“Pengalaman di Ambarawa-Semarang dan pasukan BKR atau TKR daerah Banyumas dibawah pimpinan Jenderal Soedirman yang berhasil merebut persenjataan dari Jepang (dan dengan demikian perlengkapan perang sudah agak memadai) maka pandangan dan sikap tidak mau berunding dengan Sekutu atau sikap tidak mau menempuh jalan diplomasi mempengaruhi sekali sikap Jenderal Soedirman yang pada waktu itu,” tegas Sastrosatomo.
Tuduhan Terlibat Kudeta
Peristiwa penting dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia ialah kudeta pertama, 3 Juli 1946. Peristiwa ini tidak lepas dari berbagai bentuk konfrontasi pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Sepanjang bulan September hingga Desember 1945, pasukan Indonesia kerap terlibat baku tembak dengan pasukan tentara sekutu dan Belanda. Aksi perlawanan yang terjadi di Jawa Barat, Ambarawa dan Surabaya berhasil membuat pasukan sekutu kewalahan.
Sekutu akhirnya harus menawarkan jalur perundingan kepada Indonesia.
“Kekalahan yang dialami tentara Inggris (sekutu) ini, akhirannya membuat mereka terpojok. Untuk itu mereka mengajak damai, berunding” kata sejarawan Universitas Indonesia (UI) Rusdhy Hoesein dikutip dari kanal youtube tv one (25/10/2019).
Jalur perundingan pun ditempuh, pertama kali pada 10 Februari 1946. Saat itu Indonesia telah mengalami perubahan sistem pemerintahan dari presidensial menjadi parlementer, dengan Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri.
Langkah politik dan kebijakan yang diambil Sutan Syahrir ini rupanya menuai polemik. Puncaknya terjadi pada 3 Juli 1946, dimana disebut-sebut telah terjadi upaya mengkudeta pemerintahan Presiden Soekarno.
Nama Jenderal Sudirman pun dikait-kaitkan dengan upaya kudeta yang dilakukan oleh kelompok oposisi, Persatuan Perjuangan. Sang jenderal memang memiliki pandangan politik yang sama dengan pihak oposisi bahwa Indonesia harus merdeka 100%.
“Saudara-saudara yang siap sedia membela kemerdekaan 100%! Saya sangat gembira akan dibentuknya volksfront. Tentara timbul tenggelam dengan negara. Pemimpin negara boleh berganti, kabinet pun boleh berganti tiga bulan sekali. Namun tentara tetap berjuang terus bersama rakyat sampai kemerdekaan tercapai 100%. Lebih baik di-atoom sama sekali daripada tak merdeka 100%.” (Kedaulatan Rakyat, 6 Januari 1946).
Pencatutan nama Jenderal Sudirman dalam konflik politik di republik ini ditandai dengan munculnya sebuah sebuah maklumat. Sebuah surat yang dibawa oleh Panglima Divisi Yogyakarta, Mayor Jenderal (Mayjend) Sudarsono.
Surat tersebut diklaim telah mendapat persetujuan darinya selaku Panglima Besar Tentara Republik Indonesia (TRI). Namun demikian keabsahan surat maklumat yang ditunjukkan kepada Presiden Sukarno itu diragukan kebenarannya oleh Mohammad Hatta.
Untuk membuktikan hal itu Bung Hatta pun meminta sejumlah keterangan dari lingkaran terdekat Sudirman, Jenderal Urip Sumoharjo dan Sukiman.
Mayjend Sudarsono pun dipecat dari keanggotaan TRI, sementara Sutan Syahrir dihentikan dari posisinya selaku Perdana Menteri. Selanjutnya Presiden Sukarno dibantu Dewan Pertahanan Negara menjalankan roda pemerintahan hingga situasi politik stabil.
Penulis: Kukuh Subekti