Pakar Hukum Tata Negara, Prof. Aidul Fitriciada Azhari mengemukakan tiga makna penting di balik keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Hal ini dilihat dari aspek sosio historis dan yuridis (hukum).
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) tersebut menjelaskan lebih rinci mengenai makna dari dekrit tersebut. Mulai dari latarbelakang situasi politik dan keamanan Indonesia hingga masuknya dekrit dalam lembar negara.
Integrasi Bangsa
Pertama-tama memaknai dekrit sebagai sarana yang mampu mengintegrasi bangsa. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari perjalanan bangsa Indonesia sejak tahun 1945 hingga tahun 1959.
Keluarnya dekrit presiden bisa dimaknai sebagai jalan tengah dari berbagai polemik saat itu. Hari-hari sebelum dekrit, Indonesia diwarnai dengan berbagai situasi politik dan keamanan yang kurang stabil.
“Dekrit presiden bertujuan menjaga integrasi bangsa, ini yang paling penting. Pada saat dekrit presiden ini diumumkan ada latar belakang situasi politik dan keamanan pada waktu itu,” kata Prof. Aidul dalam forum webinar 5 Juli 2020.
Prof. Aidul menyebutkan beberapa contoh situasi politik yang muncul sebelum keluarnya dekrit. Situasi politik yang cukup serius ini ditandai dengan munculnya berbagai aksi pemberontakan di sejumlah daerah.
Pemberontakan yang dimaksud diantaranya munculnya Gerakan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Sulawesi Selatan pada 2 Maret 1957. Selanjutnya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat pada 15 Februari 1958.
Jauh sebelum itu pemerintahan Presiden Soekarno sudah harus menghadapi Gerakan Darul Islam (DI) Tentara Islam Indonesia (TII) yang dipimpin oleh Kartosuwiryo. Tepatnya sejak tahun 1948, yakni munculnya Perjanjian Renvile 8 Desember 1947 yang dinilai mengecewakan.
Prof. Aidul mengungkapkan keluarnya dekrit menjadi memiliki arti penting dalam integrasi bangsa Indonesia dari berbagai perpecahan yang terjadi. Baik itu perpecahan politik maupun ideologis.
“Ada pemberontakan PRRI, Permesta, kemudian ada pemberontakan DI TII, lalu persoalan lain adalah soal integrasi Papua atau Irian Barat pada waktu itu. Lalu ditambah lagi dengan konflik, perdebatan- perdebatan ideologi di (Dewan) Konstituante” ungkap Prof. Aidul.
“Atas dasar situasi politik dan keamanan seperti ini maka Presiden (Soekarno) mengambil langkah drastis yaitu dengan memberlakukan dekrit presiden,” terangnya.
Keluarnya dekrit yang di dalamnya terdapat pernyataan presiden tentang Piagam Djakarta sebagai sesuatu yang menjiwai Undang-undang Dasar 1945. Mampu melegakan seluruh wakil-wakil rakyat baik kalangan Islam maupun nasionalis.
Prof. Aidul mengemukakan hasil luar biasa dari keluarnya dekrit diantaranya terwujudnya proses integrasi bangsa, tuntasnya berbagai pemberontakan. Peredaman PRRI, Permesta pada tahun 1961 maupun pemberontakan DI TII pada tahun 1962.
“Lalu pada tahun 1962 juga, Papua atau Irian Barat berhasil diintegrasikan kepada Republik Indonesia,” tutur Prof. Aidul.
Maka sejak saat itu kesatuan wilayah RI untuk pertama kalinya utuh, dari Sabang di Daerah Istimewa Aceh sampai Merauka di Papua.
Pemerintahan Efektif dan Dekolonisasi Ekonomi
Berlakunya UUD 1945 yang dijiwai Piagam Djakarta dinilai semakin membuat pemerintahan berjalan lebih efektif. Hal ini sangat berbeda dengan masa parlementer yang kerap diwarnai oleh pergantian kabinet.
“Karena sejak tahun 1950 setelah kita kembali kepada NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) pada tanggal 17 Agustus 1950 praktis pemerintahan kita itu bergonta-ganti yang disebabkan karena sistem parlementer waktu itu,” ujar Prof. Aidul.
“Yang mudah sekali dijatuhkan hanya dengan mosi tidak percaya. Apalagi multi partai yang luar biasa kompleksnya akibatnya pemerintahan tidak efektif tentu saja tidak mampu menangani masalah-masalah krusial termasuk masalah pemberontakan,” terang Prof. Aidul.
Pasca dekrit berbagai situasi yang kurang stabil baik di bidang politik maupun ekonomi menjadi mudah untuk dikondisikan. Salah satunya ialah jaminan dari UUD 1945 tentang wewenang presiden untuk mengendalikan berbagai bidang.
“Jadi presiden memegang semua kekuasaan. Sistem pemerintahan menurut Undang-undang 1945 itu sangat kuat posisinya,” terang Prof. Aidul.
“Dengan demikian presiden bisa mengendalikan terutama kekuatan-kekuatan militer sekaligus kekuatan politik,” jelasnya.
Sebenarnya masuknya presiden ini sudah terlihat sejak tahun 1957. Ketika Presiden Soekarno Ir. Haji Djuanda sebagai Perdana Menteri.
Padahal sebelumnya wewenang tersebut hanya boleh dilakukan oleh parlemen.
“Ini yang kita kenal sebagai semi presidensial atau quasi presidensialisme yang berlaku di Perancis pada tahun itu juga,” ungkap Prof. Aidul.
Prof. Aidul menjelaskan jika fokus Bung Karno pada masa itu tidak hanya dalam hal politik saja, melainkan pada persoalan ekonomi.
Salah satu fokus di bidang ekonomi adalah melakukan dekolonisasi ekonomi. Mengubah sistem ekonomi liberal era Hindia-Belanda menuju ekonomi Pancasila.
Hal ini dengan melaksanakan amanah konstitusi Pasal 33 UUD 1945. Pasal ini salah satu pasal yang redaksionalnya tidak pernah berubah sejak disahkan pada 18 Agustus 1945.
“Harus diingat bahwa pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 itu tidak pernah berubah. Meskipun ada undang-undang sementara tahun 1950. Jadi pasal 33 Undang-undang dasar 1945 diadopsi oleh undang-undang dasar sementara tahun 1950 menjadi pasal 38, isinya sama,” jelas Prof. Aidul.
Langkah yang diambil oleh Presiden Soekarno pasca keluarnya dekrit Presiden tersebut sebenarnya sudah dilakukan Mohammad Natsir pada tahun 1950. Yaitu menyusun undang-undang pembangunan lima tahunan, namun sayang baru disahkan pada tahun 1958.
Prof. Aidul menyebutkan secara yuridis, dekrit presiden tercantum dalam Keputusan Presiden (Kepres) No.150 tahun 1959. Selanjutnya dimuat dalam lembar negara No. 75 tahun 1959.
Pemberlakuan hasil dekrit tahun 1959 secara yuridis masih berlaku hingga saat ini. Hal ini terdapat dalam konsideran di perubahan keempat UUD 1945 pada tahun 2002.
“Ada satu konsideran di dalam perubahan keempat (UUD 1945). Disebutkan bahwa undang-undang dasar yang dimaksud di dalam perubahan ini adalah undang-undang dasar yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945 dimuat dalam berita negara tahun dua nomor 7 tanggal 15 Februari tahun 1946. Dan kemudian diberlakukan kembali dengan dekrit presiden serta dikukuhkan oleh DPRS. Jadi secara yuridis ini masih berlaku,” tandasnya.
Penulis: Kukuh Subekti