IslamToday ID –Pembubaran Dewan Konstituante dan jiwa Piagam Djakarta menjadi penting dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Sebelumnya, Dewan Konstituante dibentuk dengan tujuan menyusun konstitusi baru. Sebab, Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 dinilai belum sempurna, bahkan menimbulkan polemik.
Misalnya terkait redaksional alinea ketiga dalam UUDS menghapus Allah dan menggantinya dengan Tuhan. Menjadi: ‘Dengan berkat dan rahmat Tuhan tercapailah tingkatan sejarah yang berbahagia dan luhur.’
Menurut Ketua Umum DDII, Uatadz Adian Husaini, perubahan tersebut sangat jauh dari subtansi pembukaan UUD 1945.
“Ini substansinya jauh banget kalau kita lihat dengan pembukaan UUD 1945. Karena konsep atas berkat Rahmat Allah yang mahakuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur adalah konsep Ahlus Sunnah wal Jamaah,” kata Ustadz Adian dalam Pidato Ketua Umum DDII dan Diskusi Kebangsaan yang berlangsung via zoom pada Senin (5/7/2021).
“Rumusannya sudah beda menunjukkan kualitas yang menyusun. Pembukaan UUD 1945 yang sebetulnya Piagam Djakarta itu jelas beda sekali (dengan UUDS 1950),” jelasnya.
Berikit ini teks lengkap dekrit Presiden 5 Juli 1959:
Dekrit Presiden
Dengan Rachmat Tuhan Yang Maha Esa
Kami Presiden Republik Indonesia
Panglima Tertinggi Angkatan Perang
Dengan ini menyatakan dengan khidmat: Bahwa anjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 yang disampaikan kepada segenap rakyat Indonesia dengan amanat Presiden pada tanggal 22 April 1959 tidak memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Sementara
Bahwa berhubung dengan pernyataan sebagian besar anggota-anggota Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar untuk tidak lagi menghadiri siding. Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh rakyat kepadanya;
Bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan Negara, Nusa, dan Bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang adil makmur;
Bahwa dengan dukungan bagian terbesar rakyat Indonesia dan didorong oleh keyakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Negara Proklamasi; Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adlah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut,
Maka atas dasar-dasar tersebut di atas, KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG, Menetapkan pembubaran Konstituante, Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia terhitung mulai hari tanggal penetapan dekrit ini dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara.
Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara akan diselenggarakan dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Ditetapkan di: Jakarta, pada tanggal 5 Juli 1959.
Atas nama Rakyat Indonesia
Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang
Soekarno
Umat Islam Kalah Lagi
Adian mengungkapkan, salah satu tema perdebatan sengit dalam tubuh Badan Konstituante ialah tentang persoalan apakahIslam akan dijadikan dasar negara.
Persoalan ini sebenarnya telah berlangsung pada forum Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Saat itu, Soekarno akhirnya berinisiatif membentuk tim perumus dasar negara.
“Topiknya ini saja (Islam jadi dasar negara) yang divoting sampai nanti ke 18 Agustus (1945) hingga peristiwa Dekrit Presiden 5 Juli (1959),” kata Ustadz Adian.
Lanjut Adian, situasi perdebatan di Kostituante yang berjalan alot. Bahkan, berujung hilangnya tradisi musyawarah dan menggantinya dengan voting (pemungutan suara).
Mekanisme voting pun berjalan sangat alot, dua kali voting terbuka dan satu kali voting tertutup belum mampu mengakhiri perdebatan di sidang konstituante.
Mekanisme voting ini membuat wakil-wakil Islam (Masyumi, Perti, PSII dan NU) kalah. Kelompok sekuler nasionalis berkoalisi dengan Partai Komunis Indonesia. Perolehan suara mereka berhasil menjegal wakil wakil islam.
Pada voting pertama, pertama wakil Islam hanya memperoleh 199 suara sedangkan partai Nasionalis Sekuler Bersama PKI berhasil meraup 269 suara.
Pada voting yang kedua wakil islam kembali kalah, dengan perolehan 204 suara sedangkan kelompok nasionalis Bersama PKI berhasil mengantongi 264 suara,
Begitu pula pada pemungutan suara yang ketiga. Wakil-wakil islam hanya mampu mengangtongi 203 suara sedangkan partai nasionalis sekuler dan PKI mendapat 263 suara.
“Yang menarik dari 263 ini, 80 kursi itu dari PKI… Kalau suara PKI dikeluarkan, suaranya (nasionalis sekuler) njomplang,” jelas Ustadz Adian.
Jiwa Piagam Djakarta
Ustadz Adian mengemukakan ada fakta sejarah yang sering dilewatkan dalam memahami Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Fakta sejarah itu ialah ketetapan sidang kabinet pada 19 Februari 1959.
Ketetapan dalam sidang kabinet 19 Februari 1959 inilah yang nantinya menjadi solusi akhir dari polemik di Konstituante. Yakni dengan menambahkan klausul ‘Bahwa Piagam Djakarta tanggal 22 Juni 1945 yang ditandatangani oleh (tim sembilan). Sebagai dokumen historis dan yang menjiwai penyusunan UUD 1945.’
“Jadi sebelum Dekrit (5 Juli 1959) pemerintah sudah menawarkan agar kita masuk demokrasi terpimpin dan kembali UUD 1945,” ungkap Ustadz Adian.
“Pada alinea keempat pembukaan UUD 1945, ditambahkan: “Bahwa Piagam Djakarta tanggal 22 Juni 1945 yang ditandatangani oleh (tim sembilan). Sebagai dokumen historis dan yang menjiwai penyusunan UUD 1945 yang menjadi bagian dari kosntitusi proklamasi tersebut,” imbuhnya
Menurut Adian, makna menjiwai dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 berarti sebuah pernyataan pemerintah dan negara, bahwa UUD 1945 akan gersang dan mati tanpa Piagam Djakarta.
“Makna jiwa kalau nggak ada jiwanya ya seperti mayat hidup, gersang, kering. Nah ini kalau Piagam Djakarta dikeluarkan dari UUD 1945,” jelasnya.
Mengutip pendapat dari Buya Syafii Maarif dalam Islam dan Masalah Kenegaraan edisi 1987, tercantumnya Piagam Djakarta dalam dekrit 5 juli 1959 bisa diartikan merupakan kompromi politik antara pendukung dasar Islam dan pendukung dasar Pancasila.
“Menurut pertimbangan kita, bilamana konsideransi itu mempunyai makna secara konstitusional, dan memang seharusnya demikian, maka sekalipun hanya secara implisit, namun gagasan untuk melaksanakan syariah bagi pemeluk agama Islam tidaklah dimatikan. Inilah barang kali tafsiran yang akurat dan adil terhadap kaitan dekrit 5 Juli dan Piagam Djakarta,” pungkas Ustadz Adian.
Penulis: Kukuh Subekti