ISLAMTODAY ID — Islam mendorong umatnya untuk mencintai ilmu. Semangat inilah yang membuat para ilmuwan Islam seperti Abu Rayhan Muhammad ibn Ahmad al-Biruni (973-1050M) mempelajari naskah-naskah Hindu kuno.
Al Biruni berhasil mempelajari dengan baik beberapa naskah-naskah Hindu kuno yang bergenre sastra. Dari naskah-naskah kuno yang ditulis dengan bahasa Sanskerta itu ia berhasil mengemukakan tentang fenomena pasang surut air laut.
Perjalanan Al-Biruni di India selama 13 tahun (1017-1030) menghasilkan sebuah karya monumental, Kitab Al-Hind atau Kitab Ul-Hind. Salah satu bagian menarik dalam karya tersebut ialah mengenai fenomena pasang surut air laut di Samudera Hindia.
Upaya Al-Biruni dalam mempelajari manuskrip-manuskrip klasik di India ini diungkapkan kembali oleh NK Panikkar seorang sejarawan dari Institut Nasional Oseanografi (NIO), India.
“Al-Biruni menyediakan bab tersendiri dalam karyanya yang terkenal ‘Kitab Al-Hind’ untuk menjelaskan fenomena, bagaimana pasang surut air mengikuti satu sama lain di Samudera, yaitu Samudera Hindia,” ungkap Panikkar dalam jurnalnya berjudul Al-Biruni And The Theory of Tides.
Panikkar mengakui jika Al-Biruni adalah ilmuwan muslim pertama yang secara konsisten mempelajari manuskrip Hindu periode awal. Manuskrip kuno tersebut diantaranya ialah Matsya Purana, Vinu (Wisnu) Purana, Vayu dan Lingga.
Purana merupakan teks Hindu kuno yang berisi karya sastra Hindu seperti legenda, mitologi dan kisah-kisah zaman dahulu. Sehingga kejelian sosok Al-Biruni ialah pada saat menguraikan kisah-kisah yang penus mitos menjadi ilmiah dan rasional.
Salah satu poin dari penjelasan Al-Biruni dari muatan di sastra Hindu adalah tentang siklus hidrologi. Yakni siklus air yang mengalami perubahan bentuk dan kembali ke bentuk aslinya.
“Di bagian pengantar bab karyanya, al-Biruni membahas pertanyaan mengapa air laut selalu konstan. Untuk menjelaskan fenomena keteguhan volume air laut, ia mengutip dari Matsya Purana sebuah kisah legendaris non-sejarah,” ungkap Panikkar.
Berikut kutipan Al-Biruni seperti yang kutip oleh Panikkar:
“Pada awalnya ada enam belas gunung, yang memiliki sayap dan ‘ bisa terbang dan naik ke udara. Namun, sinar Indra, penguasa, membakar sayapnya, sehingga jatuh, merampasnya, di suatu tempat di sekitar lautan, empat dari mereka di setiap titik kompas – di timur, Rsabha, Balahaka, Cakra, Mainaka; di utara, Candra, Kanka, Drona, Suhma; di barat, Vakra, Vadhra, Narada, Parvata; di selatan, Jimuta, Dravina, Mainaka, Mahasaila (?). Di antara gunung ketiga dan keempat di timur ada api Samvartaka, yang meminum air laut. Tetapi untuk ini lautan menjadi sesak, karena sungai-sungai terus mengalir ke sana”. Dia lebih lanjut mengatakan bahwa api itu adalah api dari salah satu raja bernama Aurva yang melemparkannya ke laut, ‘Api inilah yang menyerap air laut.”
Panikkar menambahkan bagaimana Al-Biruni kemudian mencoba menjelaskannya secara ilmiah dengan sejumlah keterangan tambahan.
“Air sungai tidak menambah lautan, karena Indra, penguasa, mengambil lautan dalam bentuk awan, dan menurunkannya sebagai hujan” tuturnya.
Panikkar meyakini dari kutipan tersebut, yang di dalamnya menyebut nama ‘Indra’ bersumber dari teks-teks Weda periode awal. Sebab banyak memuat kalimat pujian untuk Indra.
Selanjutnya, Al Biruni memberikan penjelasan ilmiah sebagaimana keterangan yang sudah tercantum dalam kitab Weda. Dalam hal ini berkaitan dengan siklus hidrologi dari mulai pembentukan awan, turunnya hujan, pengaruh angin hingga mengalir sebagai air laut.
Teori Pasang Surut
Mengenai teori pasang surut air laut di Samudera Hindia, Al-Biruni membaca manusrkip Hindu lainnya yakni Taittiriya Samhita. Yakni sebuah kitab Hindu yang banyak dipelajari di India Selatan.
“Dia menggunakan dua istilah bharna dan vuhara untuk menandakan ‘pasang surut’ dan ‘aliran’,” ucap Panikkar.
“(Dalam) Taittiriya Samhita, kita menemukan bahwa istilah ‘pinva’ digunakan untuk berarti ‘menyebabkan membengkak’ atau ‘meluap’ dalam konteks fenomena pasang surut: samudramabhita; pinvamanam” imbuhnya.
Panikkar mengatakan jika dirinya tidak menemukan padanan kata yang tepat untuk menyebut kata surut.
“Ketika ‘pinva’ berarti membengkak, seharusnya ada juga beberapa istilah khusus untuk menggambarkan kebalikannya, yaitu, ‘surut’; tetapi kami belum dapat melacak kata-kata ini,” terangnya.
“Perlu dicatat di sini bahwa dalam bahasa Arab tidak ada satu kata untuk pasang surut, tetapi ada kata untuk ‘fluks’ dan ‘refluks’ atau ‘aliran’ dan ‘pasang surut’ dan kata Madd sering digunakan untuk menunjukkan ‘aliran’ sampai abad keenam belas,” ujar Panikkar.
Panikkar juga menyebutkan sumber lain dari kalangan intelektual muslim yang hidup pada abad ke-10 Masehi. Kitab Hudud al-‘ Alam (372H/ 982 M) menggunakan dua kata untuk menjelaskan fenomena pasan surut yakni madd dan jazg.
Panikkar menyebut jika dalam catatannya Al-Biruni mengatakan bahwa para ilmuwan Hindu adalah orang yang pada awalnya mengembangkan teori pasang surut air laut. Hal ini terlihat ketika mereka menyebutkan tentang pengaruh fase terbitnya bulan terhadap air laut.
“Bahwa mereka (ilmuwan Hindu) ‘menentukan fase harian pasang surut dengan terbit dan terbenamnya bulan, fase bulanan dengan naik dan turunnya bulan,’” ujar Panikkar mengutip ucapan Al-Biruni.
Ia juga mengemukakan pendapat dan penilaian dari Al-Biruni kepada ilmuwan Hindu dalam memahami korelasi antara dua fenomena alam tersebut.
“Sambil menekankan teori pasang surut Hindu, ia (Al-Biruni) menyatakan bahwa “penyebab fisik dari kedua fenomena tersebut tidak dipahami oleh keduanya (ilmuwan Hindu dan kitab Hudud al-‘ Alam)” tutur Panikkar.
Penulis: Kukuh Subekti