ISLAMTODAY ID — Umat Islam di Indonesia, terutama di Yogyakarta tidak akan melupakan insiden serangan militer Belanda yang berlangsung sejak 21 Juli 1947 hingga 5 Agustus 1947. Peristiwa ini terjadi di tengah-tengah bulan puasa Ramadhan, umat Islam dipaksa untuk selalu siap siaga melakukan perang melawan Belanda.
Peristiwa mencekam bagi umat Islam tersebut mengundang keprihatian para ulama di Yogyakarta, khususnya dari kalangan Muhammadiyah. Sebelumnya jauh sebelum Agresi Militer Belanda I, Muhammadiyah telah mengeluarkan ‘Komando Muhammadiyah’ atau ‘Amanat Jihad Muhammadiyah’ , yakni pada 28 Mei 1946.
Gerakan tersebut diikuti dengan gerakan mobilisasi santri Muhammadiyah oleh para ulama di Yogyakarta.
Inisiasi Laskar ‘APS’
Semangat jihad makin menggelora semenjak pasukan Belanda melakukan serangan membabi buta ke Yogyakarta. Sejumlah ulama dan tokoh Muhammadiyah terlibat dalam pembentukan APS diantaranya Ki Bagus Hadikusumo, K.R.H. Hadjid, K.H. Juraimi, K.H. Mahfudz Siradj, K.H. Abdul Azis, K.H. Djohar, K.H. Amin, K.H. Daim, K.H. Ahmad Badawi, Bakri Syahid, Abdullah Mabrur dan M. Sarbini.
Mereka berinisiatif mengaktifkan kembali laskar-laskar umat Islam yang sempat vakum pasca peresmian Tentara Nasional Indonesia (TNI) oleh Presiden Sukarno pada 3 Juni 1947.
Pasukan militer mantan anggota Hizbullah dan Sabilillah yang tidak terekrut menjadi anggota tentara nasional dinilai bisa menjadi sumber kekuatan baru bagi bangsa Indonesia. Oleh karenanya para ulama dari Kauman Yogyakarta berinisiatif melakukan konsolidasi dan bermusayawarah.
Musyawarah berlangsung pada 17 Ramadhan 1367H atau 23 Juli 1947. Para ulama Muhammadiyah sepakat membentuk Angkatan Perang Sabil (APS) yang kemudian dirubah menjadi Askar Perang Sabil (APS).
Perubahan nama tersebut untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman dengan angkatan perang resmi milik negara (TNI). Sebab APS bergerak di bawah komando TNI. Askar secara bahasa juga memiliki makna yang sama dengan kata laskar.
Musyawarah yang berlangsung di Masjid Taqwa, Kampung Suronatan Yogyakarta tersebut, Ki Bagus Hadikusumo yang juga Ketua PB (PP) Muhammadiyah ditetapkan menjadi Penasihat APS.
Selain menetapkan Ki Bagus Hadikusumo musyawarah juga menentukan nama-nama yang akan diutus menyampaikan hasil musyawarah pembentukan laskar APS kepada Sultan Hamengku Buwono IX. Mereka adalah Ki Bagus Hadikusumo, KH. Mahfudz, dan KH. Badawi.
Selain membentuk APS, para ulama juga membentuk Markas Ulama Askar Perang Sabil (MUAPS) sebagai wadah untuk mengorganisir mereka. Pasukan laskar umat Islam inilah yang nantinya membantu pemerintah Indonesia dalam menghalau serangan agresi militer Belanda II, pada Desember 1948.
Laskar APS Kebumen
Salah satu contoh mobilisasi barisan ulama dan santri di luar kota Yogyakarta terjadi di perbatasan Kebumen dan Purworejo. Hal ini sesuai dengan hasil rapat para ulama di Yogyakarta.
Tashadi dkk. dalam bukunya berjudul ‘Keterlibatan Ulama DIY Pada Masa Perang Kemerdekaan Periode 1945-1949’ menjelaskan bahwa pasca musyawarah tersebut mereka mengirim surat ke kabupaten-kabupaten.
“MUAPS pusat segera mengirim surat perintah ke daerah kabupaten supaya menyimak anggota APS yang bersedia diberangkatkan ke medan pertempuran membantu tentara resmi,” ungkapnya.
Salah satu peristiwa penting yang melibatkan laskar APS terjadi perbatasan Kebumen. Tepat pada 31 Juli 1947 disebutkan bahwa pasukan bersenjata APS ditempatkan di perbatasan Kebumen, tepatnya di Kecamatan Grabag (Purworejo).
Bahkan pasukan APS dibawah komando Kolonel Sarbini di Grabag ini mampu memukul mundur pasukan Belanda. Mereka mundur hingga ke Ambarawa.
Pasukan di perbatasan Kebumen tersebut dikabarkan bertahan hingga Desember 1948.
Pasukan MUAPS juga membuat benteng pertahanan di luar Yogyakarta yakni di pegunungan Ngrancak Ambarawa ke timur sampai desa Tirto. Serta melakukan penjagaan di tiga pintu perbatasan di Salatiga, Magelang dan Kebumen.
Monumen APS
Untuk mengenang peristiwa besar tersebut dibangunlah Monumen Askar Perang Sabil yang terletak di kompleks Masjid Gedhe Kauman, di sebelah barat alun-alun utara Keraton Yogyakarta.
Dikutip dari laman iqraid (14/9/2019) pada masa Agresi Militer Masjid Gedhe Kauman menjadi saksi berbagai kegiatan rapat konsolidasi umat Islam. Termasuk juga pembuatan senjata dan Latihan fisik anggota laskar APS.
Sebagai pusat dari koordinasi MUAPS, keberadaan Masjid Gedhe sempat tercium oleh pihak Belanda. Sehingga ketika seruan gerilya dari Panglima Sudirman dengan nama Perintah Kilat No. 1/PB/1948 itu sampai mereka harus memindahkan lokasi koordinasi.
Penulis: Kukuh Subekti