ISLAMTODAY ID— Muhammadiyah sejak awal selalu menempatkan dirinya sebagai pembela umat dan bangsanya. Di tengah-tengah situasi perang revolusi kemerdekaan, Muhammadiyah berinisiatif mengeluarkan Fatwa Jihad perang mempertahankan kemerdekaan.
Kehadiran Amanat Jihad Muhammadiyah menjadi babak baru dalam perjuangan pergerakan umat Islam Indonesia. Kala itu sebagian rakyat Indonesia dibuat skeptis, ragu dan bingung, dalam memaknai kemerdekaan akibat dari masih banyaknya tentara asing bersliweran.
“Pada fase awal masih banyak orang Indonesia yang tidak percaya bahwa Indonesia itu telah merdeka. Karena mereka masih melihat di Jakarta, di Sumatera, di bagian Jawa lainnya mereka melihat bahwa ya memang kita sudah merdeka, tapi kok di jalan-jalan juga masih ada tentara Jepang,” ungkap sejarawan UNY, Muhammad Yuanda Zara dalam forum Bedah Karya Sejarah Muhammadiyah #1 yang berlangsung secara virtual pada Jum’at 6 Agustus 2021.
Kehadiran amanat jihad tertanggal 28 Mei 1946 pada era kepemimpinan Ki Bagus Hadikusumo memiliki arti penting sebagai penegasan bahwa kemerdekaan Indonesia itu benar adanya. Gerakan Muhammadiyah ini untuk meyakinkan dan memotivasi umat agar berpartisipasi aktif dalam perang mempertahankan kemerdekaan.
“Karena hanya dengan keyakinan (Indonesia telah merdeka-RED) semacam itu orang akan tergerak untuk mempertahankan kemerdekaanya,” tegas Yuanda.
Upaya meyakinkan ini terlihat dari cara Muhammadiyah menyebut Indonesia di dalam teks Amanat Jihad Muhammadiyah. Indonesia disebut dengan beberapa penyebutan mulai dari Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia, Bangsa Indonesia hingga negeri kita.
Amanat jihad Muhammadiyah juga mengingatkan kembali kepada umat Islam akan kewajibannya untuk membela negara. Bagi Muhammadiyah mempertahankan kemerdekaan negara itu bagian dari pengamalan agama setiap muslim, artinya tidak bisa dengan cara pandang sekuler.
“Jadi dalam amanat (Jihad Muhammadiyah) ini, bahwa usaha untuk mempertahankan negara, mempertahankan bangsa dari penjajahan asing bukan hanya sebuah tugas dari warga negara tapi juga tugas sebagai muslim,” ujar Yuanda.
Yuanda juga menjelaskan tentang porsi pembagian tugas bela negara bagi setiap muslim dalam Fatwa Jihad Muhammadiyah. Misalnya kaum perempuan diberikan kesempatan untuk bergabung dengan Aisyiyah dan Nasyiatul Aisyiyah mendukung perjuangan dengan mempersiapkan perlengkapan medis serta obat-obatan.
“Inilah yang memberikan gambaran kepada kita tentang bagaimana Amanat Jihad itu mendorong agar ada usaha untuk mempertahankan kemerdekaan dari kalangan warga Muhammadiyah dan tentu saja dari masyarakat Indonesia secara umumnya,” tuturnya.
Sebab Musabab Fatwa Jihad
Yuanda menjelaskan lebih lanjut mengenai latar belakang keluarnya Fatwa Jihad Muhammadiyah pada Mei 1946. Hal yang paling utama ialah makin meruncingnya perseteruan Indonesia dan Belanda pasca perjanjian Hooge-Veluwe pada 14-24 April 1946 di Belanda.
Sikap angkuh pemerintah kolonial Belanda menjadi fokus perhatian Muhammadiyah seiring dengan berbagai aksi militernya di Indonesia. Mulai dari insiden perpindahan ibukota dari Jakarta ke Yogyakarta hingga aksi pendudukan kota-kota lainnya di Indonesia oleh Belanda.
“Jadi pada bulan April tahun 1946 itu situasi meruncing karena tidak ada titik temu antara keinginan Belanda dan keinginan Indonesia. Situasi mulai memanas, dua-duanya kukuh dengan pendiriannya,” ungkap Yuanda.
Yuanda memaparkan tentang kegentingan yang terjadi di Indonesia sepanjang bulan April dan Mei 1946. Pasukan Belanda dibantu oleh pasukan Inggris semakin merangsek masuk ke wilayah Indonesia.
“Situasinya adalah bulan April, terutama bulan Mei situasi sangat genting di Indonesia karena perang itu bisa pecah kapapun, mempertimbangkan bahwa sudah tidak ada lagi perundingan atau pertemuan diplomasi yang sifatnya damai antara Indonesia dan Belanda,” ujar Yuanda.
“Karena situasi semacam itulah kemudian fatwa ini muncul sebagai antisipasi terhadap situasi Indonesia yang sudah sangat memburuk tahun 46 itu,” jelasnya.
Kehadiran Fatwa Jihad Muhammadiyah bagi kita menjadi sumber pengetahuan tentang perspektif perang di dalam Muhammadiyah. Perang merupakan fenomena sejarah yang mungkin langka terjadi, dan perspektif sebuah organisasi keagamaan menjadi perlu untuk diperhatikan.
“Karena selama ini kajian tentang perang terutama era revolusi kebanyakan membahas dari segi perspektif kalangan nasionalis, umum, pemuda, militer,” ucapnya.
Yuanda juga memantik para peserta dan sejarawan untuk mengkaji lebih lanjut tentang bagaimana penafsiran Fatwa Jihad Muhammadiyah di berbagai daerah di Indonesia. Misalnya di kawasan Sumatera Barat yang dikenal kuatnya pergerakan Islamnya, kemudian berlanjut ke daerah lainnya seperti Bengkulu, Kalimantan, Lombok hingga Sulawesi.
Penulis: Kukuh Subekti