ISLAMTODAY ID— Mural dan poster menjadi bagian penting dalam revolusi kemerdekaan Indonesia. Keduanya merupakan media propaganda paling efektif di tengah lumpuhnya berbagai media massa, seperti radio dan koran.
Mural atau lukisan dinding menjadi ajang bagi para seniman mengekspresikan berbagai kegelisahan atas fenomena sosial. Bung Karno bahkan pernah memanfaatkan jasa para seniman, pelukis untuk membuat poster-poster perjuangan. Ketika itu pelukis ternama Affandi membuat poster bertuliskan Boeng Ajo Boeng.
Senjata Perjuangan
Abdurrozaq dalam artikel ilimiahnya berjudul Kajian Ikonologi Poster Perjuangan ‘Boeng Ajo Boeng’ Karya Affandi Tahun 1945 menjelaskan tentang peran besar di balik poster itu. Poster tersebut berisi ajakan untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah.
Keberadaan poster perjuangan pada masa revolusi kemerdekaan menunjukkan bahwa seni dan politik tidak bisa dipisahkan. Para pendiri bangsa memanfaatkan para seniman untuk membantu mereka melakukan komunikasi visual kepada seluruh rakyat Indonesia.
“Hal ini terlihat dari usaha Soekarno dalam menggandeng para seniman ternama guna menciptakan media komunikasi visual untuk menyampaikan pesan kemerdekaan bagi rakyat Indonesia melalui poster perjuangan ‘Boeng Ajo Boeng’,” kata Abdurrozaq dalam Jurnal Ekpresi Seni ISI Padangpanjang Edisi Juni 2017.
Peran poster pada masa revolusi kemerdekaan (1945-1949) juga pernah dimuat dalam jurnal Journal of Indonesian History Universitas Negeri Semarang (UNNES) Edisi Tahun 2018. Jurnal yang ditulis oleh Hutri Limah dkk itu menyatakan bahwa, poster menjadi solusi alternatif di tengah pelumpuhan berbagai alat komunikasi seperti radio dan surat kabar.
Mural: Perlawanan Dari Dinding
Dalam Poster dan Upaya Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia di Yogyakarta Tahun 1945-1949, para seniman Yogyakarta memiliki andil besar dalam mempertahankan kemerdekaan. Peran itu semakin menonjol saat ibukota negara pindah ke Yogyakarta. Pada momen itulah, poster menjadi menjadi senjata untuk menghadapi penyebaran hoaks oleh kolonial Belanda.
“Peranan poster bahkan menjadi lebih vital lagi ketika di kalangan masyarakat banyak ditemui orang-orang Belanda yang menyiarkan kabar-kabar bohong dan cenderung mengadu domba,” ungkap Hutri Limah dkk dalam artikelnya yang berjudul Poster dan Upaya Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia di Yogyakarta Tahun 1945-1949.
Pada masa revolusi tersebut pula di Yogyakarta banyak berdiri sangar kesenian yang mendukung propaganda perjuangan kemerdekaan. Setidaknya ada beberapa sanggar ternama pada masa itu seperti Pusat Tenaga Pelukis Indonesia (PTPI), Seniman Indonesia Muda (SIM), Sanggar Pelukis Rakyat.
Lasarus Universitas Sanata Dharma, Yogykarta Tahun 2009 juga telah melakukan penelitian tentang fenomena coretan dinding perjuangan pada masa revolusi kemerdekaan. Ia mengutip pendapat dari Tashadi dalam Partisipasi Seniman Dalam Perjuangan Kemerdekaan, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tashadi mengungkapkan bagaimana para seniman Indonesia saat itu turut serta melakukan propaganda kemerdekaan dengan membuat coretan-coretan di tempat-tempat terbuka. Mereka mendorong semangat perjuangan anti kolonial dengan berbagai coretan yang isinya berupa slogan-slogan pro kemerdekaan.
“….PTPI mengadakan aksi coret-coret di gedung Kantor Pos Besar, tembok-tembok sepanjang jalan Malioboro, pagar hotel Garuda. Coretan tersebut diantaranya ‘Sekali Merdeka Tetap Merdeka, Merdeka atau Mati, Lebih baik Mati Daripada dijajah Lagi, Pertahankan Bendera Kita,” Tashadi.
Para seniman dalam coretannya tidak hanya menuliskan selogan dalam bahasa Indonesia. Mereka juga menggunakan slogan-slogan bahasa asing seperti: ‘Away with NICA’, ‘Once Free, Forever Free’, ‘We Fight For Democracy’, ‘We Have Only to Win’, ‘Indonesia Never Again the Life Blood of Any Action’, ‘Life Liberty And Persuit of Happines’.
Pada tahun 1947, seniman Yogyakarta menggantungkan sebuah spanduk di Jalan Maliobro untuk memprotes kedatangan Belanda. Sebuah kritik pedas mereka sampaikan dengan menuliskan ‘We Demand Complete Withdrawal of Dutch Troops’.
Maraknya aksi para seniman ini membuat pihak Belanda melakukan pengawasan ketat di jalan-jalan Yogyakarta, terutama pada periode Agresi Militer Belanda II di bulan Desember 1948. Pada masa itu para seniman memilih meninggalkan kota dan mengikuti perang gerilya, diantaranya Dullah.
“Seniman-seniman banyak yang menuju gunung memanggul senjata, salah seorang seniman yaitu Dullah bersama keluarga meninggalkan kota menuju selatan hanya untuk membuat sketsa-sketsa pengungsian penduduk kota ke desa,” tulis Lasarus.
Penulis: Kukuh Subekti