ISLAMTODAY ID—Moehammad Roem adalah pejuang dan diplomat yang pernah dimiliki. Ia adalah sosok yang berintegritas yang disegani kawan dan ditakuti lawan-lawannya.
Roem lahir di Temanggung, Jawa Tengah pada 16 Mei 1908.
Roem termasuk putera bangsa yang cerdas. Ia adalah mahasiswa pada Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta (Rechtshoogeschool) tahun 1939.
Sejak muda ia bergelut sebagai aktivis Islam. Ia mengasah wawasan keislaman dan kenegaraannya mulai dari Jong Islamieten Bond (JIB) (1925).
Politik dan dakwah tampaknya menjadi jalan perjuangan Roem. Ia bergabung dengan partai Masyumi dan menjadi anggota Masyumi Pusat (1945-1950).
Kiprah Roem dalam politik terus bersinar. Di tahun 1968 ia memimpin Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Sebelumnya di tahun 1967, ia bersama-sama dengan Mohammad Natsiri mendirikan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII).
Dalam pemerintahan, kiprahnya terlihat ketika ia terlibat dalam beberapa kabinet era Bung Karno sejumlah jabatan penting pernah diembannya, mulai dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri) (1946-1948), Menteri Luar Negeri (Menlu) tahun 1950 hingga 1951 kemudian Wakil Perdana Menteri (1956-1957).
Kematangan Roem dalam bidang politik, hukum dan pemerintahan membuatnya dipercaya untuk berjuang di meja-meja diplomasi dalam rangka menjaga kedaulatan negara.
Berikut deretan perjuangan diplomatik Indonesia yang pernah dilakukan Roem sejak 1946 hingga tahun 1949. Ia mengawali pengalaman berdiplomasinya pada perundingan Linggarjati (1946), Perjanjian Renvile (1948), Perjanjian Roem Royen (1949) dan perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949.
PDRI dan Kontroversi Roem
Banyak tokoh pejuang Indonesia mengakui Roem sebagai sosok yang berintegritas meskipun pada saat yang sama ia adalah sosok yang juga menuai kontroversi. Salah satunya diungkapkan oleh Mantan Presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), Mr. Syafruddin Prawiranegara dalam tulisannya.
Syafruddin sempat menyayangkan sikap Roem yang dinilai lalai dengan tidak mengakui keberadaan PDRI sebagai suatu pemerintahan yang sah. Peristiwa tersebut terjadi ketika Roem memilih untuk menaati perintah Bung Karno yang saat itu berstatus tahanan politik Belanda.
Keputusan Roem dengan melakukan perundingan Roem-Royen dinilai telah mengabaikan status tahanan politik Bung Karno. Seharusnya Roem lebih dulu meminta pertimbangan Syafruddin selaku pemilik mandate pemerintahan yang sah dalam mengambil keputusan di perjanjian Roem-Royen.
“Roem-Royen menimbulkan masalah di kalangan pejuang. Pak Syafruddin misalnya merasa PDRI ditinggalkan. Dalam 70 tahun Pak Roem, Pak Syafruddin itu menulis hanya satu kali katanya Roem pernah ‘menyeleweng’, yaitu ketika dia mau melaksanakan perintah Soekarno yang bukan lagi presiden karena dalam tahanan Belanda yang melahirkan Roem-Royen,” kata Lukman Hakiem seorang peminat sejarah yang juga mantan sekretaris pribadi Mohammad Natsir dalam kajian virtual Pesantren Budi Mulia pada 3 Mei 2021.
“Roem bertindak seolah-olah tidak ada PDRI, padahal PDRI yang waktu itu berkuasa secara sah, pemerintahan yang sah di Republik ini. Tetapi kata Syafruddin karena kami percaya kepada integritas Roem maka kami tetap bersatu,” jelas Lukman.
Lukman menambahkan pernyataan Syafruddin yang mempercayai sisi integritas Roem tersebut diikuti oleh sejumlah tokoh bangsa. Salah satunya Jenderal Soedirman.
Roem Dalam Kabinet Natsir
Kiprah Roem dalam dunia diplomasi terus berlanjut hingga era parlementer dibawah kepemimpinan Perdana Menteri Mohammad Natsir. Pada kabinet Natsir, Roem diamanahi sebagai Menlu.
Salah satu tugas berat Roem selama menjadi Menlu ialah mendukung Natsir memperjuangkan status Irian Barat. Natsir merupakan satu dari dua tokoh Indonesia, bersama Haji Agus Salim yang menentang hasil KMB, terutama terkait masalah Irian Barat.
Kabinet Natsir mendapat amanah dari Bung Karno untuk menyelesaikan masalah Irian Barat hingga 1 Januari 1951. Roem merupakan salah satu tokoh yang turut andil dalam hasil konferensi KMB yang berlangsung sejak 23 Agustus hingga 2 November 1949 itu harus berjuang keras dalam melaksanakan program kabinet Natsir.
“Memperjuangkan penyelesaian soal Irian Barat dalam tahun ini,” demikian bunyi program Natsir yang baru mendapat persetujuan parlemen pada 25 Oktober 1950 yang dikutip oleh Nuura Nurida Fasa dari Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya (UNESA).
Farida dalam artikelnya berjudul Perjuangan M. Natsir Dalam Merebut Irian Barat 1950-1951 mengemukakan tentang kontribusi dan perjuangan Roem dalam merebut Irian Barat. Roem ditunjuk Natsir sebagai ketua delegasi Indonesia dalam konferensi di Den Haag pada 4 Desember 1950.
Tugas Roem sanat berat, pasalnya baik konferensi I pada 4 Desember 1950 dan konferensi II pada 15 Desember 1950 di Den Haag tak menemui titik terang. Salah satu konsekuensi yang harus ditanggung oleh Natsir ialah pidato pertanggungjawabannya pada Januari 1951 mendapat penolakan dari parlemen.
Puncaknya pada Maret 1951 di tengah desakan politik, Natsir mundur dari pemerintahan. Meskipun kecewa Natsir tetap menghormati Roem terutama ketokohannya di dalam Masyumi.
“Kata Mohammad Natsir, Roem itu tetaplah Roem…. Kata Pak Natsir kalau ada sesuatu pembicaraan yang penting maka Roem tidak bisa ditinggalkan, Roem harus diajak,” tutur Lukman.
Integritas Roem juga diakui oleh lawan politiknya dari Partai Nasional Indonesia (PNI), Ali Sastroamidjojo. Salah satunya ketika Roem ditolak oleh beberapa orang PNI bergabung dalam kabinet pemerintahan tahun 1955.
“Sesudah pemilu 1955 diajukan oleh Masyumi untuk menjadi Wakil Perdana Menteri, PNI keberatan kepada Roem itu tapi lagi-lagi Mr. Ali Sastroamidjojo meyakinkan partainya tidak ada masalah dengan Roem,” ucap Lukman.
“Roem ini orang baik, saya bisa bekerjasama dengan Roem,” terangnya.
Murid Haji Agus Salim
Roem banyak belajar dunia diplomasi dari Haji Agus Salim. Seorang diplomat ulung Indonesia yang disegani oleh dunia internasional. Hubungan keduanya bahkan sudah akrab sejak masa Roem masih muda.
Haji Agus Salim merupakan figur teladan bagi Roem, keduanya saling mengenal sejak ia dan teman-temannya di Jong Java merasa curhat tentang bagaimana aspirasi anggota muslim Jong Java tidak mendapatkan tempat. Berkat dukungan Haji Agus Salim para pemuda itu berani membentuk suatu organisasi baru bernama Jong Islamieten Bond (JIB) atau Perkumpulan Pemuda Islam pada 1 Januari 1925.
“Haji Agus Salim dengan sungguh-sungguh dia membina, dia membimbing para pemuda (Roem dkk) itu,” ungkap Lukman Hakiem dalam sesi kajian virtual Pondok Pesantren Budi Mulia yang berlangsung pada 18 Januari 2021.
Lukman menambahakan bahwa pada (3/5) Haji Agus Salim adalah tokoh yang berjasa meyakinkan Roem untuk menerima amanah sebagai diplomat. Bung Hatta pada suatu ketika meminta Roem terlibat aktif dalam diplomasi Indonesia-Belanda sempat enggan menerimanya, namun Haji Agus Salim berusaha meyakinkannya.
“Haji Agus Salim meyakinkan nggak ada masalah Roem, terima!,” ujar Lukman, maka sejak Linggarjati Roem adalah tokoh yang aktif dalam berbagai perundingan diplomasi.
Penulis: Kukuh Subekti