ISLAMTODAY ID — Pesantren Takeran menjadi korban kekejaman pasukan PKI pada Pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948. Kala itu PKI menggunakan intrik keji berupa jebakan perundingan yang berujung pembantain.
Mengapa Takeran Diincar?
Pesantren Takeran atau Pesantren Sabilil Mutaqien (PSM), Magetan merupakan incaran utama PKI pada tahun 1948. Pasukan PKI menjadikan pimpinan dan tokoh-tokohnya sebagai musuh utama.
Pesantren Takeran merupakan pondok yang ditakuti PKI. Pondok yang dipimpin oleh Kiai Imam Mursyid itu rupanya memiliki sejumlah riwayat penting dalam sejarahnya.
Pertama, pondok itu didirikan oleh ulama keturunan dari panglima perang Kesultanan Yogyakarta, Kiai Hasan Ulama. Ayah Kiai Hasan Ulama, Kiai Khalifah merupakan pengikut setia dari Pangeran Diponegoro.
Pada masa Perang Diponegoro (1825-1830), banyak ulama yang ikut terjun berperang melawan Belanda. Mereka masing-masing memimpin perang gerilya, termasuk di daerah Takeran, Magetan.
Selanjutnya pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia, Pesantren Takeran berkembang menjadi basis pergerakan Islam. Pesantren Takeran menjadi tempat penggodogan partai umat Islam, Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
“…penculikan kiai dan pengepungan pesantren kami bukanlah aksi biasa yang tanpa tujuan…. pesantren kami adalah pusat gerakan Islam kala itu,” ungkap Pengasuh Pondok Takeran, K.H. Zakaria dilansir dari republika 17 Juni 2020.
“Mereka pasti tahu di sinilah rapat-rapat awal Masyumi diselenggarakan,” jelasnya.
K.H. Zakaria juga menambahkan sebelum meletusnya pemberontakan Madiun di willayah Takeran terdapat banyak sekali slebaran pamflet Muso.
“Sebelum meledak, di sekitar Takeran beterbaran aneka pamflet tentang Muso yang baru pulang dari Moskow. Pesantren Takeran dipilih untuk diserbu karena saat itu menjadi tempat atau basis pergerakan Islam. Kiai Mursyid mau diajak berunding karena sudah tahu pesantrennya terancam akan dibakar,” jelasnya.
Selain memiliki riwayat historis penting Pesantren Takeran juga memiliki jaringan intelektual ulama yang luas. Para santri dan ulama yang mengajarnya datang dari berbagai penjuru Nusantara hingga dunia.
Agus Sunyoto, Peneliti Sejarah Nahdlatul Ulama (NU), Lubang-lubang Pembantaian: Petualangan PKI di Madiun mengungkapkan salah satu guru, ulama yang mengajar di Pesantren Takeran adalah syaikh dari Al-Azhar, Mesir.
“Hadi Addaba’ adalah guru pesantren yang didatangkan dari Al-Azhar, Kairo, (Mesir),” ungkap Agus.
Agus menjelaskan pula tentang pembelajaran yang diajarkan di pesantren khusus Tarekat Syatariah itu. Para santri diajarkan pula tentang ilmu kanuragan atau bela diri.
“Di antara sejumlah pesantren yang ada di kawasan Magetan, tampaknya Pesantren Takeran memang aktif melakukan gemblengan fisik dan spiritual terhadap para santri. Untuk melatih ilmu kanuragan misalnya Kiai Imam Mursyid dibantu oleh para kiai dari kawasan Tulungagung, Ponorogo, dan Jombang,” ujar Agus.
Kesaksian Santri Takeran 1948
Kesaksian mengenai peristiwa memilukan di Pesantren Takeran diungkapkan oleh dua orang santrinya. Pertama, Muhammad Kamil (62) misalnya ia mengingat peristiwa itu dengan diawali oleh adanya kunjungan dua orang kiai.
Hari itu tepat pada tanggal 17 September 1948, Kiai Imam Mursyid menerima kunjungan dari Tulungagung dan Tegal Rejo. Keduanya datang untuk meminta ijin mengajar di Takeran.
menjelaskan tentang kunjungan dua orang kiai dari dua.
“Pada tanggal 17 September 1948, tepatnya hari Jum’at Pon Kiai Hamzah (Tulungagung) dan Kiai Nurun (Tegal Rejo) berpamitan kepada Kiai Imam Mursyid,” ungkap Agus.
“(Mereka) meminta izin untuk mengajar di Pesantren Burikan, di Desa Banjarejo yang merupakan cabang Pesantren Takeran,” jelasnya.
Esoknya tanggal 18 September 1948, PKI menyerbu Pesantren Burikan. Seluruh penghuni pondok baik santri maupun kiainya diseret dan dibantai oleh PKI.
“Kiai Hamzah dan Kiai Nurun termasuk di antara para korban yang dibantai oleh PKI di lubang pembantaian Batokan,” ungkap Agus.
Penculikan Kiai & Intrik PKI
Pada hari yang sama dengan kepergian Kiai Hamzah dan Kiai Nurun ke Pesantren Burikan, Kiai Imam Mursyid juga pergi meninggalkan pondok Takeran untuk selama-lamanya. Ia diculik oleh PKI pada hari Jum’at siang, ba’da Jum’atan.
Peristiwa penculikan tersebut dilakukan oleh mantan santrinya yang menjadi PKI, Ilyas alias Sipit. Ia datang bersama dengan pimpinan pasukan PKI, Suhud.
Keduanya mendatangi Kiai Imam Mursyid dengan dalih ajakan untuk berunding tentang ‘Republik Soviet Indonesia’. Sebenarnya ajakan tersebut telah dicurigai oleh Kiai Imam Mursyid, ia tak lagi mempercayai bekas santrinya itu.
Keraguan Imam Mursyid terhadap maksud Sipit ini terjadi ketika ia mempertanyakan sosok Sipit kepada Kamil. Saat itu Kamil mengungkapkan bahwa Sipit sudah tidak bisa dipercaya lagi sebab ia tak lagi menjalankan ibadah shalat.
Namun dengan intrik akal bulus Suhud dan Sipit, Kiai Imam Mursyid akhirnya bersedia untuk berunding dengan PKI. Terutama setelah Suhud mengutip ayat Al-Qur’an.
“Suhud waktu itu malah mendalilkan innalloha la yughoyyiru bi qoumin, hatta yughoyyiru maa bi anfusihhim (Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu mengubah nasibnya sendiri),” ucap Agus.
Setelah itu Kiai Imam Mursyid pun diajak naik ke mobil bersama dengan saudara sepupunya, Imam Faham. Rupanya mobil tersebut telah dua kali memasuki Pondok Takeran dengan tujuan untuk menculik Kiai Imam Mursyid.
Santri kedua, Iskan (84) ia mengisahkan mengenai situasi di sekitar Pesantren Takeran. Pada hari itu bersamaan dengan penculikkan sang kiai, pesantren telah dikepung oleh ratusan loyalis PKI.
Para gerombolan PKI itu berseragam hitam, pengikat kepala berwarna merah dan bersenjata tajam berdiri melingkari pondok.
Berdasarkan kesaksian Iskan ternyata PKI sengaja mengeluarkan sebuah ancaman serius kepada Kiai Imam Mursyid. Jika Kiai melawan maka Pesantren Takeran bisa dibakar habis.
“…jika Kiai Mursyid tidak mau menyerah dan mendukung mereka maka pesantren akan dibumihanguskan,” tutur Agus.
Dalih Penjemputan
PKI kembali melakukan intrik jahat lainnya setelah berhasil menculik Kiai Imam Mursyid. Pasukan PKI tercatat dua kali mendatangi Pondok Takeran.
Pertama, hari Sabtu Wage, 18 September 1948 mereka datang meminta sejumlah barang pribadi milik Kiai Imam Mursyid, seperti pakaian, pistol vickers dan buku.
Kedatangan kedua, pada hari Ahad Kliwon, 19 September 1948. Sama seperti kedatangan pertama, utusan PKI kembali mengatakan bahwa Kiai Imam Mursyid belum bisa pulang dan harus ‘dijemput’ oleh Kiai Muhammad Noer, sepupu Kiai Imam Mursyid sekaligus pengasuh Pesantren Takeran .
“Waktu itu mereka mengatakan bahwa (Kiai) Imam Mursyid baru bisa pulang kalau Kiai Muhammad Noer datang menjemput,” ucap Agus.
Intrik PKI ‘datang menjemput’ itu membuat Kiai Muhammad Noer akhirnya berinisiatif datang. Ia diam-diam datang ke Gorang Gareng, yang lokasinya berjarak enam kilo meter dari Pesantren Takeran.
Kiai Muhammad Noer akhirnya ditangkap PKI. Pasukan PKI kembali mendatangi Pesantren Takeran dan berjanji akan membebaskan para kiai.
PKI kembali menggunakan dalih penjemputan, mereka datang ke pondok dan mencari Kiai Muhammad Tarmudji, adik ipar dari Kiai Imam Mursyid. PKI memintanya untuk datang berunding ke Gorang Gareng.
Penangkapan Kiai Muhammad Tarmudji gagal dilakukan oleh PKI, yang bersangkutan sedang di luar Pesantren Takeran. Karena kesal PKI akhirnya menangkap dan membantai pengasuh lainnya . seperti Ahmad Baidawy, Muhammad Maidjo, Rofi’i Tjiptomartono, Kadimin, Reksosiswojo, Husein, Hartono dan Hadi Addaba.
“Mereka itu akhirnya memang tidak pernah kembali. Bahkan sebagian besar ditemukan sudah menjadi mayat di lubang-lubang pembantaian PKI yang tersebar di berbagai tempat di Magetan,” ujar Agus.
Adapun jumlah kiai Pesantren Takeran yang menjadi korban kekejaman PKI mencapai 14 orang. Mereka digiring ke sumur pembantaian dengan cara diikat memakai tali bambu yang menyayat kulit mereka.
“(Herannya)….tempat Kiai Imam Mursyid dibantai tidak pernah diketahui karena mayatnya tidak ditemukan sampai sekarang,” pungkas Agus.
Penulis: Kukuh Subekti