ISLAMTODAY ID— Kesuksesan Perang Diponegoro yang membuat Belanda kewalahan tak bisa dilepaskan dari sosok Nyi Ageng Serang. Ia merupakan penasihat panglima perang yang disegani dan ditakuti Belanda.
Muslimah hebat itu memiliki nama asli Kustiah Wulaningsih Retno Edi atau lebih dikenal dengan nama Nyi Ageng Serang. Seorang putri dari Panglima Perang Kesultanan Yogyakarta, Panembahan Natapraja.
Panembahan Natapraja merupakan penguasa di daerah Serang sebuah kawasan strategis di antara Yogyakarta, Semarang dan Solo. Sebuah daerah yang menjadi basis kekuatan militer Kesultanan Yogyakarta pada masa Sultan Hamengku Bhuwono I dan II.
Sama seperti sang ayah, Nyi Ageng juga merupakan panglima perang yang hebat pada saat Perang Diponegoro. Ia memimpin pasukan Gula Kelapa, seledang berwarna merah-putih dengan gagah berani.
Usianya pada saat Perang Diponegoro terjadi (1825-1830) telah senja. Ia syahid pada tahun 1828 dalam usia 76 tahun.
Bukti bahwa kiprah perjuangannya tak luntur meskipun usia telah uzur. Ia justru makin gigih berjuang melawan penjajahan bersama-sama dengan Pangeran Diponegoro, Tom Alap-alap, Joyokusumo, Hadiwijoyo, dan Diposono.
Panglima Perang Utara
Nyi Ageng Serang merupakan panglima perang Kesultanan Yogyakarta yang medan jihadnya di wilayah utara. Keberaniannya dalam menggempur pasukan Belanda membuatnya lantas mendapat julukan Lonjong Mimis dan Diraja Meta yang berarti mata peluru dan dentuman senjata.
Pada saat Perang Diponegoro dimulai, Nyi Ageng Serang dan pasukannya menggunakan taktik perang gerilya. Mereka terus bergerak ke utara dari Desa Serang (Sragen) menuju ke Gundih, Gambringan, Purwodadi, Grobogan hingga Demak.
Kemenangan Nyi Ageng Serang yang paling menentukan ialah keberhasilannya merebut Purwodadi dari tangan Belanda. Setelah Purwodadi berhasil dikuasai pasukan Nyi Ageng Serang makin gagah berani menyerang ke berbagai daerah di Pantura, Jawa Tengah.
“Ia menyerang daerah-daerah perbukitan Grobogan – Jakenan – Juwono – Pati – Jekulo Lor – Kudus-Gajah dan akhirnya dapat menguasai Demak,” kata Putu Lasminah dalam Nyi Ageng Serang.
Gerakan pasukan Nyi Ageng Serang sangat ditakuti Belanda. Benteng Belanda di Grobogan dirobohkan, tewasnya Kapten Silver hingga berhasil melucuti persenjataan modern milik Belanda.
“Arus gerakan pasukannya bagaikan debut angin topan sehingga benteng VOC di Grobogan dapat dihancurkan dan mengakibatkan matinya Kapten Silver. Seraya hancurnya benteng VOC di Grobogan ini, pasukan Nyi Ageng Serang berhasil merampas meriam, senapan, amunisi yang cukup banyak,” ungkap Putu.
Keberhasilannya menaklukkan Grobogan dilanjutkan dengan melakukan serangan ke Demak. Ia memimpin 5000 prajurit untuk menyerbu pasukan Belanda di Demak.
Pertempuran di Demak menjadi sangat mendebarkan sebab pasukan Belanda mendapat bocoran informasi dari Bupati Demak, Tumenggung Tjandranegoro. Penjajah Belanda pun dibantu oleh penguasa lokal seperti Demak, Jepara, Madura dan Mangkunegara.
Nyi Ageng Serang yang mendapatkan bala bantuan dari pasukan rakyat yang dipimpin oleh pasukan Brahnatapraja, Ki Hanggamerta dan Djayapramudja akhirnya menang.
“Peperangan berjalan demikian gencar dan dalam tembak menembak selama lima jam, akhimya pasukan Kompeni berantakan dan mengundurkan diri. Persenjataan Kompeni dirampas oleh pasukan rakyat,” ucap Putu.
Dari Demak, pasukan Nyi Ageng Serang terus bergerak menuju ke Selatan. Mereka melewati Salatiga daerah Salatiga, Boyolali, Sragen dan Klaten.
“Dari sini pasukan Nyi Ageng Serang melengkung ke arah selatan menuju ke Magelang, lewat Salatiga, Boyolali, Sragen dan Klaten, setelah membumi hanguskan Rembang dan menghancurkan pos-pos militer di sepanjang sungai Progo,” tutur Putu.
Nyi Ageng Serang dan pasukannya memutuskan untuk bertahan di Prambanan, Klaten. Hingga ditemui oleh Pangeran Dipongoro.
Bergerilya dari Atas Tandu
Selama kurang lebih tiga tahun lamanya ia memimpin pasukan melakukan perang gerilya di hutan-hutan. Keterlibatannya dalam perang itulah yang memotivasi para pejuang lainnya untuk berjuang melawan penjajah Belanda.
Putu mengungkapkan pada pertemuan di Prambanan, Nyi Ageng Serang dan Pangeran Diponegoro bersepakat untuk melanjutkan perang melawan Belanda. Meskipun pada saat itu tubunya mulai melemah.
“Saya tetap, memihak perang ” kata Nyi Ageng Serang. ” Soal keluarga soal pribadi, perang soal nasib rakyat”. Maka dianjurkan, agar Diponegoro meningkatkan perang gerilyanya. Hanya dengan demikian musuh akan kehilangan banyak biaya, tenaga dan senjata,” ujar Putu.
Nyi Ageng Serang kembali memimpin perang hingga menjelang akhir hayatnya. Aksi perlawanannya tetap lanjut meskipun ia harus memimpin perang dari atas tandu.
Banyak pihak kerabat Kesultanan Yogyakarta yang membujuknya untuk segera kembali ke dalam keraton, termasuk Pangeran Diponegoro. Sebab pada saat itu Sultan Hamengku Bhuwono II atau Sultan Sepuh telah kembali dari pengasingan.
Saran dari Pangeran Diponegoro ditolaknya. Ia bertekad keras berjuang berperang bersama dengan Pangeran Diponegoro.
Melihat fisiknya yang makin lemah, para pengikut Nyi Ageng Serang tak sampai hati. Mereka akhirnya mengantarkan Nyi Ageng Serang kembali pulang ke Notoprajan.
Nyi Ageng Serang merupakan sosok muslimah tangguh dan hebat pada masanya. Ia adalah penasihat perang yang disegani dan dihormati oleh Pangeran Diponegoro.
Penulis: Kukuh Subekti