“Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat.”
HOS Tjokroaminoto
ISLAMTODAY ID— Pernyataan di atas sebenarnya telah mewakili kedalaman ilmu Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto. Namun ironisnya hal tersebut justru diragukan
Hal ini terjadi ketika ia berupaya menerjemahkan The Holy Quran karya Maulana Muhammad Ali dari Pakistan. Meskipun pada akhirnya keraguan tersebut justru dinilai kental nuansa politik.
Pasca wafatnya pada 17 Desember 1934, tepatnya pada tahun 1935 banyak pihak tak lagi menolak keberadaan The Holy Quran. Bahkan keberadaanya diterima secara akademis.
Berawal Dari Keprihatinan
Penerjemahan The Holy Quran ke dalam bahasa Indonesia pada masa itu merupakan wujud keprihatinan Tjokroaminoto. Penerjemahan itu juga salah satu ikhtiarnya memperkaya khazanah pemahaman Al-Qur’an umat Islam Hindia Belanda.
Pada awal abad ke-20, Al-Qur’an terjemahan adalah barang langka yang sangat dibutuhkan oleh umat Islam di Hindia Belanda. Fenomena tersebut membuat Tjokroaminoto merasa terpanggil untuk menerjemahkan tafsir Al-Qur’an yang berbahasa Inggris itu.
“Hal ini yang membuat HOS Tjokroaminoto melestarikan terjemah tafsir agar masyarakat Indonesia dapat lebih membaca dan memahami Alquran serta isinya,” kata Ketua Aktivis Peneleh, Ahmad Tsiqqif Asyiqulloh dalam Qoer’an Soetji Sumbangan Terjemah Tafsir Al-Qur’an dari HOS Tjokroaminoto.
Tjokroaminoto yang ingin membuat umat Islam Indonesia bisa memahami Al-Qur’an secara utuh itu lantas memberi judul Qoer’an Soetji.
“Sehingga lahirlah Qoer-an Soetji,” jelas Ahmad Tsiqqif.
Proyek terjemahan Qoer-an Soetji yang dimulai pada tahun 1925 itu sebenarnya telah disepakati oleh semua kalangan. Namun pada tahun 1927, proyek terjemahan terpaksa dihentikan akibat munculnya fitnah yang dialamatkan pada Tjokroaminoto.
“Berbagai fitnah dituduhkan padanya, hingga keluarganya pun tak terlepas dari tuduhan negatif. Tuduhan-tuduhan negatif ini cukup membuat luka yang amat dalam pada HOS Tjokroaminoto. Qoer-an Soetji pun tidak dilanjutkan prosesnya,” tutur Ahmad Tsiqqif.
Di sisi lain dari intern anggota SI dari kalangan Muhammadiyah merasa khawatir dengan muatan yang ada dalam Qoer-an Soetji. Para kalangan Muhammadiyah saat itu menilai pemahaman Islam yang diusung oleh Ahmadiyah bertentangan dengan Islam yang dipahami umat Islam Indonesia.
“Ideologi Ahmadiyah yang dinilai berlawanan dengan Islam sehingga berdampak pada kualitas karya yang berbau Ahmadiyah tidak direkomendasikan untuk disebar luaskan di berbagai kalangan,” jelas Ahmad Tsiqqif.
Ahmad Tsiqqif juga mengatakan pada saat itu upaya penerjamahan yang dilakukan oleh Tjokroaminoto dinilai sesat. Meskipun pada akhirnya hal tersebut dibantah oleh Haji Agus Salim.
Menurut Haji Agus Salim tuduhan yang menyebut jika Qoeran Soetji berbahaya bagi teologi tidak benar. Hal ini berdasarkan kesimpulannya setelah membaca versi aslinya yang berjudul The Holy Quran.
“Dia berpendapat bahwa tafsir ini cocok untuk dikonsumsi berbagai kalangan masyarakat khususnya pemuda,” ungkap Ahmad Tsiqqif.
Bahkan pada tahun 1935 dari kalangan Muhammadiyah, Sadewo menerjemahkannya ke dalam Bahasa Belanda dengan judul De Heilege Qoern.
“Terbukti juga pada masa diterbitkannya terjemah tersebut menjadi rujukan akademis oleh berbagai tokoh bangsa, khususnya presiden Soekarno,” pungkas Ahmad Tsiqqif.
Penulis: Kukuh Subekti