ISLAMTODAY ID— Menelusuri jejak dakwah KH Muhammad Manshur, ulama kharismatik era Kasunanan Surakarta. Pengaruh ajaran sufinya diyakini hingga kalangan pejabat keraton pada masa kekuasaan Paku Buwono (PB) X.
Ia diasuh langsung oleh sang ayah, Syaikh Muhammad Hadi Gurukusumo pendiri Pesantren Giri Kusumo, Mranggen, Demak. Ia lalu mondok di Pesantren Jamsaren, Solo yang diasuh oleh Kiai Idris.
KH Manshur memiliki nasab keturunan hingga Sunan Tembayat. Hal ini dilihat dari nasab ayahnya yang merupakan putra dari Thohir bin Shodiq Jago bin Ghozali (Klaten) bin Abu Wasijan (Medono Pekalongan) bin Abdul Karim (Paesan Batang) bin Abdurrasyid Batang bin Saifudin Tsani (Ki Ageng Pandanaran II Semarang) bin Saifudin Awwal (Ki Ageng Pandanaran I, Sunan Tembayat Klaten).
Mengikuti jejak sang ayah, ia juga dikenal sebagai ulama tarekat Naqsabandiyah-Khalidiyah. Ajaran tarekat tersebut diperoleh sang ayah sewaktu belajar di Makkah kepada Syaikh Sulaiman Zuhdi.
Ajaran tarekat tersebut lantas diajarkan di Pesantren Popongan yang didirikannya sejak tahun 1926. Ajaran tersebut menyebar luas dari Wonosari, Klaten ke berbagai penjuru di Pulau Jawa.
Ia banyak mengutus muridnya sebagai badal (pengganti atau wakil). Mereka adalah Kiai Arwani (Kudus), Kiai Salman (Popongan), Kiai Abdul Mi’raj (Demak), Kiai Abdullah Hafidz (Rembang), Kiai Hamam dan Guz Multazam.
“Mbah Kiai Manshur juga mengangkat badal dari kaum hawa, yaitu Nyai Muharromah (Nyai Soelomo Resoatmodjo),” ungkap Syamsul Bakri dalam Menelusuri Jejak Enam Kiai di Solo Raya.
Nyai Muharromah itu mendapatkan mandat khusus. Ia dipercaya mengajarkan ilmu tarekat di Masjid Kauman, Surakarta.
Pondok Popongan yang didirikannya itu mengalami pergantian nama pada masa kepemimpinan cucunya, Kiai Salman Dahlawi. Pesantren tersebut berganti nama menjadi Ponpes Al-Mansur Popongan pada tahun 1980.
Nama KH Manshur namanya popular di tengah-tengah masyarakat terutama di wilayah Klaten, Surakarta, Semarang dan Yogyakarta.
Ia juga memiliki relasi yang baik dengan sejumlah kiai di Jawa. Sebut saja KH Siradj, Panularan, Surakarta dan KH Ahmad Umar bin Abdul Mannan, Mangkuyudan.
“Kedekatan dengan Kiai Ahmad Umar ditunjukkan dengan pemberian nama Al-Muayyad oleh Mbah Manshur untuk nama pondok pesantren di Mangkuyudan yang dirintis Mbah Kiai Abdul Mannan pada tahun 1930,” ujar
KH Manshur yang wafat pada tahun 1955 itu juga merupakan salah satu guru dari pendiri Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA). Ia adalah KH Abdullah Thufail.
Mushaf Popongan
Pesantren Popongan juga memiliki peninggalan sejarah berupa mushaf Al-Qur’an. Mushaf ini lebih dikenal dengan Mushaf Popongan.
Mushaf tersebut termasuk salah satu mushaf kuno di Nusantara. Mushaf itu juga menjadi saksi relasi yang kuat antara pesantren dan keraton Surakarta pada era Paku Buwana X.
Pemilik awal mushaf bahkan adalah kalangan keraton, Raden Mas Tumenggung (RMT) Wiryadiningrat. Ia adalah salah seorang pejabat di lingkungan keraton Kasunanan Surakarta.
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Islah Gusmian dari IAIN Surakarta (UIN Raden Mas Said Surakarta-sekarang) terhadap Mushaf Popongan dapat ditarik sejumlah kesimpulan yang menarik. Mushaf ini hanya bisa dimiliki oleh kalangan tertentu saja.
Keistimewaan mushaf ini ditandai dengan adanya pewarnaan yang khas pada iluminasi atau hiasan mushaf. Iluminasi Mushaf yang menggunakan warna sepuh emas sangat langka dan hanya lingkungan istana saja yang bisa memilikinya.
“Warna bersepuh emas ini merupakan karakter visual bermakna kemuliaan dan keunggulan. Model iluminasi mushaf semacam ini banyak dimiliki dan berada di kalangan istana atau pejabat,” kata Gusmian dalam jurnalnya berjudul Relasi Kiai dan Penguasa di Surakarta Kajian Sejarah Sosial atas Mushaf Al-Qur’an Koleksi Pesantren Al-Mansur, Popongan, Klaten, Surakarta.
Keistimewaan mushaf yang diperkirakan menggunakn kertas Eropa edisi tahun 1800-an itu ialah karakter iluminasinya. Model khat (kaligrafi)-nya lebih indah.
“Kesimpulan ini diacukan dari sisi karakter iluminasi dan khat yang digunakan. Mushaf Popongan ditulis dengan model khat yang indah, halus, dan stabil,” jelasnya.
Gaya khat tersebut lebih mirip dengan model mushaf dari Trengganu, Malaysia. Mushaf Tregganu di Indonesia tersimpan di Masjid Istiqlal, Jakarta.
“Salah satu mushaf asal Terengganu yang menjadi koleksi Bayt Al-Qur’an & Museum Istiqlal, sumbanganseorang keturunan keluarga kerajaan Pontianak,” terang Gusmian.
Penulis: Kukuh Subekti