ISLAMTODAY ID— Masjid Agung, Surakarta memiliki riwayat penting dalam sejarah Kota Solo. Eksistensi masjid bersamaan dengan eksistensi Keraton Surakarta.
Masjid pada periode awal kota Solo telah memegang peranan penting di masyarakat. Masjid menjadi sumber ilmu pengetahuan hingga penyelesaiaan hukum.
Era Mataram Islam
Tafsir Anom Kasunanan Surakarta, Kiai Muhtarom menjelaskan bahwa keberadaan masjid memainkan peran penting dalam sejarah ketatanegaraan di wilayah Mataram Islam. Masjid menjadi pusat kegiatan keagamaan yang saat itu dibawah pimpinan seorang raja.
“Eksistensi masjid tidak bisa lepas dari keraton, raja sebagai penguasa politik dan sebagai penata agama. Dua peran penting, peran tokoh politik dan peran penata agama, Khalifatullah Sayiddin Panatagama,” kata Kiai Muhtarom kepada ITD pada Sabtu, 12 Februari 2022.
Peran keagamaan ini membuat Paku Buwana II selaku raja mengangkat seorang pejabat khusus agama, reh pengulu. Ia bertanggungjawab terhadap sejumlah masalah keagamaan baik itu soal pendidikan, ilmu pengetahuan, pernikahan, talak maupun waris.
“Dia (raja) punya wewenang untuk mengatur karena dia panata agama, didelegasikan kepada Penghulu Tafsir Anom,” ungkap Kiai Muhtarom.
Penghulu tafsir anom memiliki keudukan yang setingkat dengan seorang adipati atau penguasa daerah. Hanya saja yang satu ranah politik dan pemerintahan sementara tafsir anom berkaitan dengan masalah keagamaan.
“Setingkat dengan adipati maka di Kauman ini namanya kadipaten Yogiswara,” tutur Kiai Muhtarom.
“Reh pengulu membawahi kehidupan keagamaan di berbagai wailayah kadipaten yang ada di Mataram, imbuhnya.
Era Kasunanan Surakarta
Dinamika politik pada dasawarsa awal kota Solo (1745-1755), membuat pembangunan masjid hingga perluasan masjid tertunda. Perhatian raja kepada kegiatan pembangunan infrastruktur perkotaan baru dilakukan pada masa PB III.
“Mulai bergerak penataan baik itu pemerintahannya, penataan kota, penataan kehidupan politik, kemudian membangun pendidikan, ilmu pengetahuan itu mulai dari PB III, termasuk membangun Masjid Agung,” tutur Kiai Muhtarom.
“Membesarkan, merenovasi lebih besar lagi itu PB III, tahun 1757,” terangnya.
PB III tidak hanya mulai membangun tata kota kerajaan namun juga mulai mempersiapkan pendidikan khusus untuk putra mahkota. Putra mahkotanya, PB IV diserahkan pendidikannya kepada para ulama.
Era kasunanan awal sudah mulai menempatkan Masjid Agung sebagai pusat pelaksanaan hukum-hukum Islam. Segala permasalahan keadilan baik di bidang perdata dan pidana diselenggarakan di Peradilan Surambi.
“Dulu Masjid Agung menjadi pusat Peradilan Surambi. Peradilan Surambi pada zaman PB IV itu tidak hanya menangani masalah-masalah perdata, pidana pun diselesaikan di sini,” jelas Kiai Muhtarom.
Berkecamuknya Perang Diponegoro yang didukung oleh PB VI berdampak pada intervensi Belanda terhadap sistem hukum Islam. Belanda membatasi wewenang Peradilan Surambi di Masjid Agung.
“PB VII ditekan oleh Belanda, yang semula Peradilan Surambi menangani pidana dan perdata waktu itu diputus hanya menanganai masalah perdata saja,” tutur Kiai Muhtarom.
“Pidana diselenggarakan di Pengadilan Belanda,” pungkasnya.
Penulis: Kukuh Subekti