ISLAMTODAY ID— Kesultanan Banjar pada masanya memegang peranan penting dalam dunia perdagangan di Kalimantan. Para pedagang dari berbagai bangsa termasuk bangsa Eropa singgah di Banjar.
Para pedagang Banjar juga memiliki rute perdagangangan yang luas meliputi Semenanjung Malaysia, Brunei, Thailand dan Filipina di utara. Sementara itu rute pelayaran di selatan meliputi Nusa Tenggara, Jawa, Bali hingga Australia.
Lada, cengkih dan karet menjadi komoditas dagang andalan para pedagang Banjar. Tiga komoditas perdagangan yang banyak dicari dan dibutuhkan oleh berbagai bangsa di dunia.
Selain tiga komoditas dagang di atas, Kesultanan Banjar juga merupakan pusat daerah pertambangan. Barang pertambangan tersebut diantaranya batu bara, dan emas.
Praktik perdagangan tidak hanya dilakukan oleh rakyat biasa. Tidak sedikit keluarga bangsawan Banjar juga terlibat dalam perdagangan.
Kegiatan perdagangan di Banjar juga didukung dengan majunya industri pembuatan kapal di Banjar. Mereka membuat kapal dagang dari kayu ulin yang digunakan untuk memasarkan berbagai komoditas dagang asal Banjar.
Perdagangan di Kesultanan Banjar mencapai puncak keemasannya pada abad ke-17. Para pedagang dari berbagai bangsa seperti Arab, China, India, Portugis, Inggris dan Belanda.
VOC misalnya salah satu perusahaan dagang Belanda yang datang pada tahun 1607 sangat berhasrat untuk memonopoli perdagangan di Kesultanan Banjar. Dalam sejarahnya sejumlah daerah penghasil utama rempah seperti Banten, Makassar, Palembang hingga Jambi berhasil dikuasai VOC.
Puncaknya pada abad ke-19 ketika VOC telah bubar, Belanda berhasil memonopoli perdagangan Kesultanan Banjar. Belanda mengeluarkan sejumlah aturan yang merugikan para pedagang Banjar.
“(Aturan) Belanda tidak hanya menyangkut masalah barang-barang yang diperdagangkan, akan tetapi juga berkaitan dengan jalur perdagangan yang harus dilewati oleh para pedagang, penentuan nilai tukar barang yang diperdagangkan, sumber atau asal tempat daerah barang didatangkan, izin dan prosedur perdagangan yang dikeluarkan,” ungkap Hendraswati dan Zulfa Jamalie dalam Pedagang dan Gerakan Perlawanan Terhadap Kolonial Belanda Pada Masa Perang Banjar.
Aturan semena-mena itu berlaku untuk semua pedagang. Baik untuk sesama kerajaan Islam maupun kepada para pedagang asing asal Inggris, China, Arab dan India.
Belanda juga membuat peraturan yang sangat merugikan rakyat Banjar. Para pedagang Banjar dipaksa patuh terhadap peraturan dagang yang dibuat oleh Belanda.
“Belanda mengatur harga beli dan kewajiban pedagang untuk menjual komoditas tertentu hanya kepada Belanda, sebaliknya para pedagang Banjar juga harus membeli komoditi tertentu kepada Belanda dengan harga yang telah ditetapkan oleh Belanda,” ujar Hendraswati.
Pangeran Antasari
Penguasaan tanah Banjar, monopoli perdagangan, politik pecah belah hingga penghapusan Kesultanan Banjar merupakan tindakan keji Belanda yang memantik kemarahan rakyat Banjar.
Tindakan dzalim penjajah Belanda itu mengundang kemarahan rakyat Banjar. Rakyat Banjar yang kebanyakan berprofesi sebagai pedagang bersatu dalam Perang Banjar (1859-1905).
“Perang Banjar, menjadi periode yang sangat penting bagi kelompok pedagang Banjar dengan berbagai latar belakang dan di antaranya juga ada dari kalangan bangsawan bahkan Sultan Banjar sendiri, untuk menunjukkan kekuatan dan perlawanan mereka terhadap kolonialisme Belanda,” jelas Hendraswati.
Tokoh utama dalam Perang Banjar ialah Pangeran Antasari. Seorang pewaris sah Kesultanan Banjar yang lahir di tengah polemik perebutan kekuasaan di istana.
Ia sejak lahir hidup di luar istana dan menjalani pekerjaan sebagai mana rakyat biasa. Aksi culas Belanda yang mengintervensi istana demi monopoli dagang membuatnya kian marah.
Pangeran Antasari pun melakukan penyerbuan ke benteng Orangje Nessau pada 28 April 1859. Peristiwa tersebut menjadi penanda dimulainya Perang Banjar.
Keberanian Pangeran Antasari membuat rakyat dan ulama mendaulatnya menjadi Sultan Banjar. Ia dilantik selama periode perang gerilya, tepatnya pada pada 14 Maret 1862.
Aksi heroik Pangeran Antasari dalam memimpin perlawanan terhadap Belanda diikuti oleh para ulama. Haji Nasrun dan Kiai Demang Leman misalnya, ia memimpin penyerangan terhadap Belanda di Martapura pada 30 Juni 1859.
Pada tahun 1859 berbagai perlawanan rakyat Banjar terus bergejolak. Selain dua pertempuran itu, masih ada dua pertempuran, di benteng Tabanio dan benteng dan benteng Gunung Lawak.
Perlawanan rakyat Banjar terus berlanjut pasca meninggalnya Pangeran Antasari pada tahun 1862. Anak dan cucu dari Pangeran Antasari terus melakukan perlawanan dengan basis kekuatan mereka di pedalaman Sungai Barito.
Perang Banjar berakhir pasca wafatnya Sultan Muhammad Seman pada 25 Januari 1905. Ia syahid dalam pertempuran melawan pasukan Marsose Belanda di Benteng Beras Kuning, Sungai Menawing.
Periode Perang Banjar disebut-sebut memiliki pola yang sama dengan Perang Jawa. Perang antara Pangeran Diponegoro dan pihak keraton.
“Sebab dan polanya mirip dengan sebab dan pola yang terjadi dalam Perang Jawa. Pola dari kedua perang ini sama-sama dimulai dari dominasi dan intervensi Belanda di dalam kesultanan yang sedang bertikai dan munculnya tokoh bangsawan yang ingin mengembalikan kondisi kesultanan seperti keadaan semula,” ucap Hendraswati.
Penulis: Kukuh Subekti