“…Kamu akan jadi pahlawan di hati rakyat, bila kamu memulai perang, hubungi banyak ulama, karena ulamalah yang akan membelamu.”
Pangeran Mangkubumi
ISLAMTODAY ID— Kutipan di atas merupakan pesan Pangeran Mangkubumi kepada Pangeran Diponegoro sebelum meletusnya Perang Jawa (1825-1830). Intervensi Belanda di Kesultanan Yogyakarta membuat peperangan besar itu tak terelakkan.
Sesuai nasihat Pangeran Mangkubumi, Pangeran Diponegoro mulai menjalin komunikasi dengan para ulama di Jawa. Ia menemui Kyai Abdani dan Kyai Anom di daerah Tembayat, Klaten.
Dukungan Solo
Pangeran Diponegoro akhirnya datang menemui seorang ulama Solo, Kyai Modjo. Melalui Kyai Modjo, ia mulai menemui sejumlah tokoh Islam di Solo termasuk Pakubuwono (PB) VI.
Sebelum bertemu langsung dengan PB VI, Kyai Modjo lebih dulu membawa Pangeran Diponegoro bertemu Raden Mas Prawirodigdoyo, penguasa Boyolali.
Ia merupakan bangsawan yang terkenal anti kolonial, dan siap mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro. Salah satunya dengan cara mengirim 6000 pasukan pendukung Pangeran Diponegoro.
“Dukungan ini bisa aku lakukan asal ada perintah dari Sinuwun Pakubuwono VI,” kata Raden Mas Prawirodigdoyo dikutip dari Jejaring Ulama Diponegoro.
Ikhtiar untuk menemui PB VI ini lantas diupayakan oleh Pangeran Mangkubumi. Ia menemui Pangeran Djojokusumo, salah seorang kerabatnya dari trah Mangkunegaran Solo yang juga sebagai Penasihat PB VI.
Zainul Milal Bizawie dalam karyanya Jejaring Ulama Diponegoro mengungkapkan jika pada pertemuan kedua tokoh itu hadir pula Pangeran Jungut Mandurareja yang juga Paman PB VI.
Gayung pun bersambut, Pangeran Djojokusumo dan Pangeran Jungut pun bersedia mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro. Dukungan tersebut tentu diambil dengan berbagai pertimbangan dan strategi.
“Aku mendukung dimas Pangeran Diponegoro, sebagai pemimpinku untuk melawan Belanda, tapi kita harus bermain strategis, kalau keponakanku Pakubuwono VI ketahuan mendukung Pangeran Diponegoro maka Solo akan dihantam habis, dibikin crah, dibuat huru-hara, itu malah memperlemah barisan perlawanan, ada baiknya perjanjian dukungan dengan Pangeran Diponegoro dibuat diam-diam,” ujar Zainul mengutip pernyataan Pangeran Djojokusumo.
Pertemuan-pertemuan Rahasia
Pertemuan rahasia antara Pangeran Djojokusumo dan PB VI pun terjadi di Desa Paras, Boyolali. Para tokoh-tokoh keraton Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta sepakat bekerjasama melawan Belanda.
Pertemuan rahasia selanjutnya ialah pertemuan di hutan Krendowahono, Karanganyar. Saat itu PB VI harus berpura-pura hendak berburu hanya demi menemui Pangeran Diponegoro, Kyai Mojo dan Sentot Alibasyah.
Mereka pun membuat kesepakatan untuk mengelabui pihak Belanda. Apa bila Kasunanan diminta membantu Belanda, maka akan diberikan kode khusus hingga melakukan perang sandiwara antara Kasunanan dan Kasultanan Yogyakarta.
Peristiwa ini diungkapkan juga oleh Ronggowarsito, ia turut hadir dalam pertemuan rahasia Pangeran Diponegoro dan PB VI di alas Krendowahono, Karanganyar. Pertemuan yang terjadi setelah kesepakatan Paras, Boyolali.
“Ronggowarsito mencatat peristiwa ini sebagai bentuk rasa kebangkitan harga diri orang Jawa,” ujar Zainul.
Pertemuan rahasia lainnya yang dilakukan oleh PB VI dan Pangeran Diponegoro berlangsung pada November 1829. Pertemuan yang berlangsung di Jatinom, Klaten itu membicarakan tentang rencana serangan bersamaan di Jawa Tengah.
Selain di luar keraton, pertemuan rahasia juga berlangsung di dalam keraton, Panggung Sanggabuana. Panggung setinggi 30meter dan bertingkat empat itu biasanya digunakan untuk menara pengintai.
Seluruh pertemuan rahasia PB VI dan Pangeran Diponegoro ini diperoleh berkat keterangan salah satu abdi PB VI, Ki Rono Setiko. Ia juga orang yang nantinya bertugas mengawal perang gerilya, Nyai Ageng Serang.
Perang Diponegoro memang berakhir dengan tragedy penangkapan Pangeran Diponegoro dan Kyai Mojo. Bahkan atas laporan Residen Semarang, PB VI turut serta ditangkap dan diasingkan.
Gerakan ulama dan santri yang bergerak serempak ini membuat Belanda ketakutan. Sikap Islamophobia Belanda yang berlebihan ini terus berlanjut hingga tahun 1848, dengan mengasingkan Pangeran Aryo Danupoyo, anak PB IV ke Tondano.
Sementara Pangeran Djojokusumo penasihat PB VI berhasil melarikan diri dari Begelen ke Sukabumi. Demi terbebas dari kejaran Belanda, ia pun terpaksa melakukan penyamaran sebagai petani.
Penulis: Kukuh Subekti